Sebuah desa terpencil di Jawa Tengah berubah menjadi ladang teror setelah tambang batu bara ilegal tanpa sengaja membebaskan roh jahat yang telah tersegel berabad-abad. Nyai Rante Mayit, seorang dukun kelam yang dulu dibunuh karena praktik korban bayi, bangkit kembali sebagai makhluk setengah manusia, setengah iblis. Dengan kekuatan untuk mengendalikan roh-roh terperangkap, ia menebar kutukan dan mengancam menyatukan dunia manusia dengan alam arwah dalam kekacauan abadi.
Dikirim untuk menghentikan bencana supranatural ini, Mystic Guard—tim pahlawan dengan keterikatan mistis—harus menghadapi bukan hanya teror makhluk gaib dan jiwa-jiwa gentayangan, tetapi juga dosa masa lalu mereka sendiri. Dalam kegelapan tambang, batas antara kenyataan dan dunia gaib makin kabur.
Pertarungan mereka bukan sekadar soal menang atau kalah—melainkan soal siapa yang sanggup menghadapi dirinya sendiri… sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Serangan balik yang gagal
Angin hutan Borneo berembus pelan melewati dedaunan tinggi, seolah menahan napas menanti keputusan yang baru saja dilahirkan.
Taki berdiri di tengah ruangan kuil Asvara yang sunyi. Pena emasnya—ikon yang selama ini menjadi simbol kekuatannya menulis ulang realitas—berputar perlahan di udara sebelum ia tangkap kembali dengan tangan kanan. Sekejap kemudian, cahaya emas meledak samar dari tubuh pena itu... berubah wujud menjadi pedang cahaya berkilauan, ramping tapi kokoh, dengan bilah yang memancarkan aura panas keadilan.
“Pedang ini,” ucap Taki pelan namun dalam, “aku sebut Luminous Judgement. Ia bukan hanya senjata. Tapi manifestasi kehendak kita bersama. Dan senjata ini—” ia mengangkatnya setinggi dada, “—akan menembus inti jantung Bondowoso.”
Sasmita berdiri dari duduknya, wajahnya bersinar oleh kilatan cahaya dari pedang itu.
“Kalau begitu aku akan jadi pelindungmu saat kau mendekat. Apapun yang terjadi, dia gak akan bisa menyentuhmu sebelum kau tusukkan itu.”
Hellhowl mengangguk, menggenggam kembali neck-gitar miliknya yang kini muncul dari bayangan—gitar neraka itu mengeluarkan dengung samar.
“Aku akan buka jalan lewat kekacauan. Kalau perlu, aku jeritkan nada kiamat sampai telinganya pecah.”
Yama, yang sebelumnya hanya menunduk menatap peralatan kimianya yang tersisa, kini berdiri.
“Dan aku akan mengacaukan komposisi frekuensi elektromagnetik tubuh Bondowoso. Setidaknya, membuat dia... rentan beberapa detik. Itu saja sudah cukup buatmu, kan?”
Taki menatapnya sebentar, lalu tersenyum kecil.
“Cukup.”
Asvara berdiri paling belakang. Aura hijaunya kini bersinar tenang. Ia mengangkat tangannya ke udara, dan dari telapak tangannya, portal sihir hijau mulai terbuka perlahan seperti kelopak bunga. Angin dari dimensi lain berhembus, membawa aroma tanah Gunung Jati yang hangus dan hening oleh ketakutan.
“Asvara,” Taki memanggil, “kita semua yakin akan ini?”
Asvara menatap semua yang ada di ruangan.
“Tak ada waktu lebih baik. Kalau kita tunggu lebih lama, desa itu akan jadi gerbang kebangkitan Ibu Iblis Jahanam.”
Semuanya menatap ke portal, lalu secara berurutan mereka melangkah masuk.
Sebelum langkah terakhir, Ningsih berhenti sejenak di ambang sihir yang bergoyang seperti tirai dunia. Ia menoleh ke belakang, melihat kuil Asvara. Damai. Aneh. Tapi juga... tempat ini membuatnya merasa terlindungi.
Lalu ia melangkah maju, menyusul para penjaga barunya—kelima sosok ganjil namun tak tergantikan.
Mystic Guard kembali ke Gunung Jati.
Dan kali ini... mereka datang dengan satu tujuan.
Mengakhiri mimpi buruk.
Begitu kaki mereka menginjak tanah desa Gunung Jati lagi—udara terasa berbeda. Lebih tebal. Lebih berat. Seperti masuk ke paru-paru dunia yang penuh asap kutukan.
Langit masih hitam pekat, namun tak menunjukkan tanda malam. Tidak ada bintang. Tidak ada bulan. Hanya langit hitam... seperti ampas dupa terbakar.
Desa itu telah berubah. Rumah-rumah yang masih berdiri tampak menunduk seperti takut. Pohon-pohon meranggas dan menggeliat seperti patah, dan tanahnya... bukan lagi tanah. Tapi campuran darah dan lumpur, basah dan hangat. Di kejauhan, genderang gamelan berdentum pelan seperti jantung dunia yang rusak.
Asvara menggenggam erat tongkat sihirnya, bola matanya berkabut hijau.
“Ini... bukan tempat yang sama seperti tadi pagi.”
Tiba-tiba, kabut merah menggulung dari celah-celah semak, disertai suara-suara lirih... seolah ribuan jiwa yang tersesat sedang berbisik dalam bahasa yang terlupakan. Dari kabut itulah, muncul sosok tinggi, besar, dengan kulit legam, mata merah, dan tubuh seperti patung batu hidup—
Bondowoso.
Ia berdiri seperti raja kegelapan. Di belakangnya, lima Pawang Tanah Merah membentuk formasi lingkaran, tubuh mereka mengeluarkan cahaya merah dari ukiran tubuh. Di depan mereka, tampak tanah berdenyut, seperti ada sesuatu yang terus tumbuh dari bawah—makam hidup tempat Nyai Rante Mayit tertidur belum sempurna.
Bondowoso tertawa, suaranya berat seperti dua batu nisan yang saling bertabrakan.
“Kalian kembali... dengan harapan? Atau hanya untuk mati bersama kutukan?”
Taki melangkah ke depan. Pedang emasnya bersinar. Suara gamelan langsung berdentum kencang seolah terganggu oleh cahaya itu.
“Kami kembali untuk mengakhiri semua ini.”
Pawang perempuan yang berdiri di sisi kiri Bondowoso mengangkat tangan, menunjuk ke arah Ningsih.
“Dia milik Nyai Rante Mayit. Serahkan—sekarang juga, atau kalian akan melihat desa ini jadi kuburan abadi.”
Sasmita menembakkan pistol ke tanah di depan mereka.
“Kalau mau Ningsih, kalian harus melewati kami semua dulu.”
Ketegangan memuncak.
Kabut makin pekat. Gamelan makin cepat. Dan dari tanah yang berdenyut itu, terdengar suara desahan wanita tua... dan tawa mengerikan.
Ledakan cahaya hijau dari tongkat Asvara membuka serangan pertama.
Akar-akar raksasa mencuat dari bawah tanah, melilit kaki Bondowoso dan para Pawang Merah. Tanah merintih, udara bergemuruh. Asvara bergerak cepat memecah konsentrasi formasi sihir musuh, sementara dari sisi kiri—
Sasmita sudah melompat ke atap rumah, menodongkan senjata kalibernya, kali ini dengan peluru diberkahi mantra Banaspati. Ia menembak dalam irama cepat dan teratur, tiap peluru meledak membentuk lambang mandala di udara, menghantam perisai gaib milik Pawang.
“Fokus ke si tua itu!” teriak Sasmita. “Bondowoso belum bergerak, itu kesempatan kita!”
Hellhowl berdiri di tengah jalan utama desa, gitar neraka di tangannya menyala merah. Dia menghentakkan satu chord—dan gelombang sonik seperti badai menghantam pusat formasi musuh. Pawang keempat langsung terpental, tubuhnya berdarah dari telinga dan hidung.
“Yama! Sekarang!” teriak Taki.
The Chemist melemparkan vial logam dari balik parit tanah. Botol itu pecah di udara dan menyebarkan kabut ungu yang menyelimuti Bondowoso. Zat itu berisi senyawa penyerap energi spiritual, hasil analisa kilat dari pertarungan sebelumnya. Bondowoso tampak terguncang, kekuatannya menurun sesaat.
Taki melesat.
Pedang emas di tangannya bersinar seperti matahari kecil di tengah malam kelam. Dia melompat tepat di atas Bondowoso, mengincar dada kiri—tempat inti kekuatan iblis itu bersemayam.
Namun...
“TING!”
Sebuah tameng tanah memantul dari tubuh Bondowoso. Salah satu Pawang tersisa berhasil membuat perisai gaib tepat waktu.
Bondowoso kini bergerak. Kakinya menghantam tanah, menciptakan gelombang kejut mematikan. Asvara dan Sasmita terlempar, akar dan atap rumah hancur seketika.
Yama terkena pecahan batu dan roboh, tapi tetap bangkit meski lututnya berdarah.
Taki menggertakkan gigi.
“Dia belajar dari serangan kita tadi…”
Ningsih berlari ke arah mereka, mata panik.
“Pecah formasi mereka! Jangan serang satu titik! Mereka kuat kalau bareng-bareng!”
Mendengar itu, Hellhowl menghentakkan nada tinggi ke arah sisi kanan, membelah suara para Pawang. Suara mereka goyah—ritual mereka terputus.
Asvara kembali berdiri, darah menetes di keningnya, tapi dia tersenyum.
“Bagus, pecah dulu barisan mereka... lalu kita habisi satu per satu.”