Sabrina rela meninggalkan status dan kekayaannya demi menikah dengan Zidan. Dia ikut suaminya tinggal di desa setelah keduanya berhenti bekerja di kantor perusahaan milik keluarga Sabrina.
Sabrina mengira hidup di desa akan menyenangkan, ternyata mertuanya sangat benci wanita yang berasal dari kota karena dahulu suaminya selingkuh dengan wanita kota. Belum lagi punya tetangga yang julid dan suka pamer, membuat Sabrina sering berseteru dengan mereka.
Tanpa Sabrina dan Zidan sadari ada rahasia dibalik pernikahan mereka. Rahasia apakah itu? Cus, kepoin ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Sabrina mengernyitkan dahi saat melihat Niken melenggang masuk ke toko. Sepatu hak tingginya berdetak nyaring di lantai keramik. Di belakang meja kasir, Bu Maryam langsung memasang wajah seperti singa kelaparan melihat tikus lewat.
“Zidan, bapakmu sakit! Harus dibawa ke dokter,” kata Niken panik, rambutnya terurai acak-acakan seperti habis lari maraton.
Bu Maryam menyilangkan tangan di dada. “Heh, kalau sakit, kenapa enggak langsung dibawa aja ke dokter? Ngapain malah datang ke sini?”
“Aku enggak punya uang,” sahut Niken dengan nada tinggi dan alis naik sebelah. “Makanya aku mau kasih uang ke Zidan, biar dia yang bawa bapaknya ke dokter.”
Zidan mendecak pelan. “Lho, masa Bapak enggak punya duit? Kan, udah jualan pentol, harusnya ada.”
“Itu uang modal, tau!” Niken mendongak, bersikap angkuh. “Kalau dipakai buat berobat, terus besok dagang pake apa?”
“Bawa aja ke puskesmas,” sahut Bu Maryam ketus. “Bayar lima ribu sudah dapat pemeriksaan dan obat, kalau punya BPJS malah gratis.”
Wajah Niken langsung berubah cemberut. Sebenarnya uang yang diminta dari Zidan itu niatnya untuk buat beli skincare, bukan buat berobat. Lagipula, Pak Yadi juga enggak minta diantar ke dokter.
“Ih, ini, kan … wanita pelakor!” Tiba-tiba terdengar suara lantang dari arah belakang. Wa Eneng datang sambil membawa kantong belanja.
Niken langsung melotot. Komentar itu menyulut api lamanya. Di kampung tempat tinggal Pak Yadi dulu, ia sering dipanggil pelakor oleh kebanyakan ibu-ibu. Makanya dia malas balik ke sana. Lalu, sekarang? Ternyata masih kena semprot juga di toko!
“Tuh, Wa Eneng aja masih ingat sama muka kamu,” komentar Bu Maryam, nyaris tertawa.
“Ya iyalah. Siapa juga yang bisa lupa muka cantik kayak aku,” balas Niken sambil menunjuk wajahnya yang memang kinclong. “Beda sama muka kamu yang udah keriputan!”
Bu Maryam mendesis. Kalau bukan karena ingat ini tempat sedang berada di toko anaknya, mungkin tangan kanannya sudah mendarat mulus di pipi mulus itu.
Siapa yang tidak sakit hati dikatakan begitu oleh wanita murahan yang dulu merebut suaminya. Tangan Bu Maryam gatal ingin menampar pipi mulus milik Niken.
Harus diakui kalau muka Niken memang cantik dan mulus juga glowing. Tentu saja untuk mendapatkan muka seperti itu harus melakukan perawatan yang tidak murah.
"Salah," balas Wa Eneng. "Aku ingat sama wajah kamu agar bisa berhati-hati. Jangan sampai anak dan menantuku yang laki-laki digoda sama kamu."
Spontan Sabrina tertawa renyah mendengar itu. Rasanya dia ingin sungkem kepada Wa Enang.
"Apa kamu bilang, Nenek Peot!" Niken melangkah maju ke arah Wa Eneng.
Zidan cepat-cepat turun tangan sebelum dua wanita itu berubah jadi gladiator. “Udah, cukup. Niken, mending kamu pulang dulu. Mamah, udah, ya, ikut Neng pulang ke rumah.”
Bu Maryam menggerutu, tetapi menurut. Niken membalik badan dengan langkah dibentak-bentakan biar terlihat dramatis, meninggalkan aroma parfum yang mencolok hidung siapa saja yang ada di dekatnya.
Sabrina tidak bisa berhenti tertawa. Rasanya senang sekali ada orang yang ikut melawan pelakor itu. Dia pun menggandeng ibu mertuanya pergi meninggalkan toko.
"Ayo, Mah, kita pulang!" ajak Sabrina. "Neng punya rencana yang bagus."
Selama perjalanan ke rumah Sabrina ngoceh terus meluapkan rasa kekesalannya kepada Niken. Sesekali Bu Maryam menyahut ucapan sang menantu. Keduanya terlihat sangat kompak dalam hal melawan pelakor.
Begitu pintu rumah tertutup, Sabrina langsung melirik Bu Maryam dengan sorot mata serius. Namun, sedetik kemudian dia tersenyum jenaka.
“Mah, mau enggak mukanya aku buat jadi cantik?” kata Sabrina tiba-tiba.
Bu Maryam, yang baru saja melepas kerudung, menoleh pelan. Alisnya naik sebelah. “Cantik gimana?” tanyanya, curiga tapi penasaran.
Sabrina mendekat sambil menekuk lutut, menatap wajah mertuanya seperti sedang menilai kanvas kosong. “Aku bakal bikin wajah Mamah lebih kece dari si Niken. Biar laki-laki yang dulu nyakitin Mamah nyesel seumur hidup!”
Bu Maryam langsung berdiri tegak, matanya berbinar penuh semangat. “Mau! Mamah mau!” seru wanita paruh baya itu mantap, seperti prajurit siap tempur.
Sabrina pun segera beraksi. Dia mengambil perlengkapan make up dari tas kecilnya, lalu mulai memoles wajah Bu Maryam seperti seorang seniman melukis mahakarya. Foundation, blush on, lipstik—semuanya diaplikasikan dengan cermat.
"Wah, cantik sekali Mamah!" puji Sabrina. "Benerkan dugaan Neng, kalau Mamah itu cantik seperti artis Turki di tivi. Hanya saja kurang perawatan dan tidak memakai make up."
Bu Maryam sampai terpana melihat wajahnya sendiri. Dia tidak menyangka bisa secantik ini setelah di dandani oleh Sabrina. Dia akui tidak pernah melakukan perawatan pada wajah dan tubuhnya. Karena dia berpikir untuk apa, buang-buang uang saja. Lebih baik uangnya digunakan untuk yang lainnya.
“Sekarang ganti baju! Pilih yang cerah, yang mewah, tapi tetap syar’i,” kata Sabrina sambil membuka lemari pakaian. Lalu, dia memilih gamis warna mint dengan potongan model anggun. Tidak lupa dengan jilbab yang senada dengan gamis itu.
Lagi-lagi Bu Maryam dibuat kagum dengan penampilannya di cermin. Dia tidak menyangka cuma mengubah model jilbabnya saja bisa terlihat seperti baju baru, padahal itu baju lama miliknya.
"Lihat! Mamah cantik kayak artis, kan? Niken, mah, lewat! Kalah sama Mamah," kata Sabrina terus memuji ibu mertuanya.
“Bagaimana kalau kita ke kota beli skincare dan baju baru buat Mamah?” lanjut Sabrina memberi usul sambil melirik jam tangan.
Bu Maryam tersenyum ragu. “Mamah enggak punya uang banyak, Neng.”
Sabrina menepuk dompetnya dengan gaya dramatis. “Tenang aja, Mah. Itu urusan aku. Kita enggak perlu boros, yang penting beli yang cocok dan nyaman.”
Akhirnya mereka berangkat ke kota naik bus antarkota. Perjalanan satu jam terasa cepat karena mereka banyak tertawa, terutama saat Bu Maryam menunjuk iklan skincare di halte dan berkata, “Nah, itu kayaknya bisa bikin kulit Mama balik kayak umur dua puluh lima tahun-an!”
Bu Maryam ikut tertawa melihat Sabrina tertawa renyah. Dia tidak menyangka bisa sedekat dan sekompak ini dengan menantunya dari kota. Dulu, dia sempat tidak setuju ketika Zidan meminta restu untuk menikah.
Di toko kosmetik, Sabrina telaten memilihkan produk yang aman dan cocok untuk kulit Bu Maryam. Belanja beberapa barang kosmetik itu tidak sampai lima ratus ribu.
Lalu mereka ke toko baju, memilih daster dan gamis warna-warna pastel dan jilbab kekinian ala-ala ibu-ibu Instagram. Bu Maryam manut saja ketika Sabrina menyuruhnya untuk mencoba beberapa baju.
"Neng, jangan beli banyak-banyak! Cukup dua saja," ucap Bu Maryam ketika Sabrina membawa semua baju yang dicobanya tadi ke kasir.
"Tidak apa-apa, Mah. Harga bajunya murah-murah, kok!"
Selesai belanja, Bu Maryam menatap Sabrina dengan wajah cerah. “Sekarang kita ke mana lagi?”
“Kita beli cincin,” jawab Sabrina sambil menggandeng tangan mertuanya. “Tangan Mamah enggak boleh kosong gitu aja. Satu cincin cukup. Pokoknya Mamah harus kelihatan lebih oke penampilannya dari si pelakor! Buat dia iri dan panas sama penampilan Mamah sekarang."
Mereka pun menyeberang jalan dengan hati ringan. Tapi tiba-tiba, sebuah mobil melaju kencang ke arah Sabrina. Wanita hanya sempat menoleh ketika mendengar suara teriakan orang-orang.
Mobil itu menabrak tubuh Sabrina sampai tubuhnya terpental, terhempas di jalanan. Darah pun keluar dari kepala dan beberapa bagian tubuh lainnya.
“SABRINA!!” teriak Bu Maryam, suaranya melengking dan gemetar. Wanita paruh baya itu berlari dengan kaki gemetar ke arah tubuh menantunya yang tergeletak tak bergerak.
***
bukan musuh keluarga Sabrina
jangan suudhon dl mamiiii