Setelah gagal berjodoh dengan Ustaz Ilham, tanpa sengaja Zahra bertemu dengan pria yang bernama Rendra. Dia menolong Rendra saat dikejar seseorang, bahkan memberi tumpangan pada Rendra yang mengaku tak mempunyai tempat tinggal.
Rendra yang melihat ketulusan hati Zahra, merasa jatuh cinta. Meski dia selalu merasa kotor dan hina saat berada di dekat Zahra yang merupakan putri pertama pemilik dari pondok pesantren Al-Jannah. Karena sebenarnya Rendra adalah seorang mafia.
Apakah Zahra akan ikut terseret masuk ke dalam dunia Rendra yang gelap, atau justru Zahra lah penerang kehidupan Rendra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21
Rendra kini telah sampai di rumah sakit. Dia segera bertanya pada resepsionis rumah sakit letak kamar Zahra.
"Kamar pasien atas nama Zahra, ada dimana?" Rendra sudah tidak sabar menunggu resepsionis mencari nama Zahra di data komputernya.
"Di ruangan kelas 1 nomor 4, berada di lantai dua."
"Terima kasih." Rendra segera berlari menuju lift. Setelah masuk ke dalam lift, dia menekan tombol nomor dua. Setelah pintu lift terbuka, dia segera keluar dan mencari nomor 4. Tapi saat menemukannya, di depan kamar itu ada Dokter dan beberapa suster yang sedang berbicara dengan serius.
"Dokter, saya mau menemui pasien atas nama Zahra."
Dokter dan suster itu langsung menatap Rendra. "Kami mohon maaf, pasien kabur dari kamarnya. Pagi tadi saat suster akan mengecek kondisinya, kamar ini sudah kosong."
Hal yang ditakutkan Rendra pun terjadi. Zahra telah kabur, kemungkinan sudah dari semalam sejak pembantu Kevin pulang ke rumah. "Mengapa suster jaga tidak tahu hal ini? Harusnya kalian tahu kalau pasien kabur! Kalian juga tidak menghubungi keluarga pasien."
"Kami mohon maaf, kami sudah mencoba menghubungi nomor yang tertera di data pasien, tapi tidak aktif."
Rendra menghela napas kasar. Semoga saja Zahra kembali ke rumah ibu sahabatnya yang berada di dekat masjid itu. Rendra membalikkan badannya dan akan melangkahkan kakinya pergi, tapi Dokter itu memanggilnya lagi.
"Maaf apa Anda keluarga pasien. Hasil tes darah sudah keluar pagi ini."
Rendra membalikkan badannya dan menghampiri Dokter itu lagi. "Iya," jawabnya.
"Mari ikut saya. Saya akan menjelaskan sesuatu."
Rendra mengikuti Dokter itu berjalan ke ruangannya. Kali ini dia memiliki firasat buruk. Dia kini duduk di depan Dokter lalu menerima selembar hasil tes darah milik Zahra. Dia membacanya singkat, wajahnya berubah menjadi keruh. Dia tidak menyangka penyakit ini menyerang tubuh Zahra. "Leukemia dan sudah stadium tiga." Rendra seperti tidak percaya dengan hasil lab yang dia baca.
Bagaimana kondisi Zahra saat ini?
"Iya, sudah hampir di stadium akhir. Sepertinya dia tidak merasakan gejala-gejala atau mungkin memang sudah ada gejala tapi sengaja tidak dirasakannya."
"Apa penderita kanker bisa sembuh, Dok?" tanya Rendra. Dia sudah sering dihadapkan dengan berbagai mara bahaya tapi tidak pernah dihadapkan dengan penyakit serius seperti ini. Setahu dia penyakit kanker sangat sulit disembuhkan.
"Semua penyakit pasti bisa disembuhkan apalagi sekarang banyak metode penyembuhannya." jawab Dokter itu.
Rendra menganggukkan kepalanya. Dia kini sudah tidak fokus dengan penjelasan Dokter, dia sekarang memikirkan dimana Zahra berada dan bagaimana kondisinya.
"Terima kasih, Dok. Saya permisi dulu." Rendra berdiri dan keluar dari ruangan Dokter itu. Dia kini menghubungi anak buahnya agar segera mencari keberadaan Zahra.
"Kamu cari Zahra di tempat yang kemarin. Apa dia ada di rumah itu? Ada atau tidak, kamu segera hubungi aku."
Kemudian dia segera mematikan ponselnya.
Zahra, dimanapun kamu berada, semoga kamu baik-baik saja.
...***...
Setelah istirahat satu hari penuh, pagi hari itu Zahra keluar dari kamarnya karena tubuhnya mulai membaik. Dia berjalan-jalan ke taman yang berada di dekat kamar rawat. Ada beberapa anak kecil yang sedang duduk di atas kursi roda. Mereka sedang berjemur sambil menghirup udara segar.
Zahra mendekati salah satu anak kecil perempuan yang sedang memangku bonekanya. "Hai, nama kamu siapa?" tanya Zahra sambil duduk di kursi taman yang berada di dekat kursi roda anak itu.
"Vivi, Kak." jawabnya sambil tersenyum. Anak perempuan berumur 8 tahun itu terlihat kurus dengan rambut merah yang tipis.
"Nama kakak Zahra. Vivi di sini sudah lama?" tanya Zahra lagi.
"Sudah hampir tiga bulan." jawabnya dengan wajah yang sedih. Bahkan air mata sudah membendung di pelupuk matanya.
"Vivi kenapa sedih sayang?" tanya Zahra sambil mengusap pipi Vivi.
"Kak Zahra mirip sekali dengan Kakak Vivi. Vivi kangen sama kakak, tapi kakak sekarang sedang sibuk bekerja dan menjaga ibu yang juga sedang sakit di rumah. Vivi sekarang hanya sendiri di sini." Vivi berusaha menahan air matanya agar tidak terjatuh tapi tetap saja menetes.
"Teman Vivi banyak di sini. Vivi harus semangat agar cepat sembuh dan bisa berkumpul dengan ibu dan juga kakak." Zahra mengusap air mata Vivi yang berhasil lolos di pipinya.
Vivi tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.
"Mulai sekarang, Kakak juga ada di sini. Vivi bisa bermain dan belajar sama kakak." kata Zahra dengan senyum hangatnya. Dia berharap kehadirannya bisa menjadi semangat baru untuk mereka semua.
"Iya Kak?" Senyuman Vivi semakin merekah.
"Iya. Vivi jangan sedih lagi ya. Nanti sore setelah tidur siang dan mandi, kita berkumpul sama teman-teman. Kita bermain sambil mengaji."
"Mengaji? Vivi sudah lama tidak mengaji. Biasanya Vivi mengaji di masjid sama teman-teman. Tapi sejak sakit Vivi tidak bisa mengaji. Vivi terus berobat ke rumah saki. Vivi jadi sedih."
Zahra mengusap puncak kepala Vivi. "Vivi yang semangat ya. Vivi pasti sembuh. Vivi juga harus berdo'a sama Allah agar segera diberikan kesembuhan."
"Iya Kak, Vivi setiap hari selalu berdo'a sama Allah agar Vivi diberikan kesembuhan."
Melihat senyuman penuh harapan itu membuatnya tersentuh. Dia saja belum tentu sanggup jika berada di posisi Vivi seperti ini.
Di ujung taman, ada Hendra yang diam-diam mengamati Zahra sambil memegang secarik kertas. "Zahra, bagaimana aku bilang sama kamu tentang masalah ini." Hendra menghela napas panjang. "Inilah kelemahan aku sebagai seorang Dokter, aku selalu tidak tega memberi tahu pasien aku sendiri tentang keadaannya."
Hendra melipat kertas itu lalu dia masukkan ke sakunya. Dia mencari waktu yang tepat untuk memberi tahu Zahra tentang penyakitnya.
Kemudian dia berjalan mendekati Zahra. "Kirain kemana? Ternyata ada di sini." Hendra tersenyum menatap Vivi lalu mengeluarkan satu vitamin yang berbentuk permen. "Satu permen untuk Vivi."
"Makasih Dokter."
Zahra membantu Vivi membuka vitamin itu.
"Cepat sembuh ya."
"Iya."
Kemudian Hendra kembali melangkahkan kakinya tapi kali ini Zahra mengikutinya.
"Dokter Hendra," panggil Zahra yang membuat Hendra menghentikan langkahnya.
Hendra membalikkan badannya. Dia kini menatap Zahra. "Iya?"
"Hmm, bagaimana hasil tes lab saya? Apa sudah keluar? Apa ada penyakit serius di tubuh saya?"
Hendra hanya terdiam. Dia benar-benar tidak tega mengatakan ini semua pada Zahra. "Hmm, sebenarnya..."
Belum juga Hendra mengatakan semuanya, Zahra kembali mimisan lagi. Kali ini disertai rasa pusing yang teramat sangat, hingga akhirnya dia jatuh pingsan.
Dokter Hendra dengan sigap menangkap tubuh Zahra. "Zahra..."
Dia segera mengangkat tubuh Zahra dan membawanya ke ruang rawat.
Sepertinya kondisi Zahra semakin melemah...
.
💞💞💞
Like dan komen ya...
jgn lama2
critanya bnyk bngt cobaan nya