Ada cowok yang pikirannya masih di zaman batu, yang menganggap seks cuma sekedar kompetisi. Semakin banyak cewek yang ditiduri, maka semakin jantan dia.
Terus ada juga yang menganggap ini cuma sebagai salah satu ajang seleksi. Kalau goyangannya enak, maka mereka bakal jadian.
Ada lagi yang melihat ini cuma buat kesenangan, tanpa perlu ada keterikatan. Ya, melakukannya cuma karena suka. Sudah, begitu saja.
Dan ada juga cowok yang menganggap seks itu sesuatu yang sakral. Sesuatu yang cuma bisa mereka lakukan sama orang yang benar-benar mereka sayangi.
Nah, kalau gue sendiri?
Jujur, gue juga nggak mengerti. Gue bahkan nggak tahu apa arti seks buat gue.
Terus, sekarang gue ada di sini sama Carolline?
Gue baru kenal dia, jadi gue nggak ada niatan buat tidur sama dia. Tapi kalau soal bikin dia puas?
Itu cerita lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ucapan Terima Kasih
Dino benar-benar bikin gue capek.
"Selma, lo tahu, kan kalau gue payah dalam urusan rahasia." kata dia kemarin di kampus. "Gue nggak suka bohong."
"Lo nggak bohong."
"Gue NYEMBUNYIIN informasi." Dia menekankan kata itu. "Lo tahu, berapa kali gue dengar dia ngomongin lo? Dia cuma mau bilang makasih, itu doang. Biarkan dia ngelakuin itu."
"Ini ribet, Dino."
"Dan lo balik lagi ke mode misterius lo. Harusnya nama lo Selma Misterius, bukan Melisandi.
"Dan lo Dino Kepo."
Dia ketawa tapi jelas-jelas palsu.
"Ini keputusan lo, dan gue bakal hormatin, lo tahu itu, Selma. Tapi dia anak baik. Pikirin lagi, deh."
"Oke, Dini, lo menang." Gue ngomong dalam hati.
Ini cuma soal nerima ucapan terima kasih, udah gitu doang. Nggak ada yang bakal terjadi. Gue ambil HP, salin nomornya dari DM Instagram, tapi nggak gue save karena toh bakal dipakai sekali doang.
Gue kepikiran buat nge-chat, tapi akhirnya mutusin buat nelepon aja. Lebih to the point, biar dia bisa langsung ngomong apa yang dia mau omongin.
Tapi, gue sempat diam beberapa detik, menatap nomornya sebelum akhirnya pencet tombol buat nelepon.
Ingatan soal dinginnya hujan malam itu masih jelas di kepala gue. Tetesannya berisik banget saat jatuh ke payung di atas gue. Bunyi sepatu pas nginjek genangan air, terus akhirnya... dia.
Jantung gue sempet berhenti. Gue pikir gue telat, pikir dia udah mati, sampai akhirnya gue dengar dia mengeluh pelan, hampir nggak kedengaran. Gue langsung ngomong ke dia dan dengan panik nelepon ambulans.
Gue kaget waktu dia tiba-tiba angkat tangannya, meraih ujung kemeja gue, terus narik gue ke arahnya. Gue kelepasan teriak pas lutut gue nyentuh aspal yang basah, tepat di antara kakinya.
Dia langsung merangkul gue, menempelkan mukanya ke dada gue. Bahkan dia sudah merasakannya. Tapi entah kenapa gue nggak merasa risih.
Jari gue masih berdiam di atas layar HP.
Kenapa lo ragu, Selma?
Ini cuma telepon doang.
Dia bakal bilang makasih, terus selesai.
Tapi tiba-tiba gue keingat lagi gimana rasanya pelukan dia, dan gue langsung geleng-geleng kepala buat ngusir pikiran itu. Malam itu gue nggak bisa melihat dia jelas karena wajahnya penuh luka dan lebam. Tapi gue nggak bisa bohong... gue udah stalking sosial medianya, dan ya, dia emang cakep.
Gue geleng-geleng kepala lagi, terus akhirnya tekan tombol buat nelepon dia.
Tut... Satu kali.
Tut... Dua kali.
Tut... Tiga kali.
Gue gigit bibir.
Mungkin dia nggak biasa angkat nomor yang nggak dikenal?
Harusnya gue chat dulu saja kali, ya?
Gue benci banget situasi yang nggak bisa gue kontrol.
...📞...
"Halo?"
Suaranya langsung membawa gue balik ke malam itu. Ke momen dia bergumam "hangat" di dada gue.
^^^"Eh, halo."^^^
^^^"Gue..."^^^
"Selma?"
Mendengar dia nyebut nama gue bikin gue merasa aneh, tapi gue nggak tahu kenapa.
^^^"Iya... gue udah lihat DM lo di Instagram."^^^
Hening beberapa detik, terus gue dengar dia hembuskan napas.
"Akhirnya gue nemuin lo."
Akhirnya gue ngebolehin lo nemuin gue.
^^^"Ya... gue seneng tahu lo baik-baik aja."^^^
"Gue... gue cuma mau bilang makasih karena udah nyelametin gue malam itu. Gue nggak tahu apa yang bakal terjadi kalau lo nggak nolongin gue."
"Serius, makasih banget."
^^^"Nggak usah dipikirin."^^^
Gue nggak tahu harus ngomong apa lagi, dan gue harap itu cukup buat dia. Tapi, jauh di dalam hati, gue malah jadi kepo sama dia?
"Gue pengen ngajak lo makan buat nunjukin rasa terima kasih gue... atau, kalau ada hal lain yang lo suka..." Nada suaranya agak ragu, kayaknya dia grogi. "Tapi bukan kayak... kencan atau gimana, cuma... ya, lo tahu, cuma sekedar biar bisa bilang makasih secara langsung."
Dia jelas-jelas gugup, dan entah kenapa itu bikin gue senyum.
Gemesin juga.
"Oke, kita bisa ketemu... di Cafe Teras. Lo tahu tempatnya?"
Tempat itu ramai, jadi pasti bakal jadi pertemuan singkat aja.
"Gue tahu, tapi... gue pengen ngajak lo ke tempat yang lebih... eksklusif. Lo udah nyelametin hidup gue, Selma. Gue nggak mau bayarnya cuma dengan kopi dan roti yang udah tiga hari."
"Jangan ngeremehin Cafe Teras, Asta."
Gue sebut namanya?
Gue sendiri kaget betapa gampangnya gue ngomong sama dia.
"Lagi pula, rotinya fresh dan donatnya enak banget."
"Oke, terserah lo. Dimana pun nggak masalah buat gue."
Gue angkat alis.
"Lo emang selalu nurut gini, ya?"
Dia diam bentar.
"Kayaknya sih iya."
Gue hembuskan napas.
"Oke, kapan?"
"Besok bisa?
Nih orang benaran nggak bisa nyembunyiin perasaan di suaranya, ya?
Gue nggak biasa sama orang se-transparan ini.
"Oke, habis kelas gue selesai. Nanti gue kabarin."
Entah kenapa gue senyum pas ngomong gitu.
Jangan-jangan semangat dia menular ke gue?
"Oke. Makasih udah komen di post gue, Selma. Gue pengen banget ngobrol sama lo dan ngucapin makasih secara langsung..."
"Santai aja, kita ketemu besok, Asta."
"Oke." Dia diam sebentar. "Semoga besok nggak hujan."
Terus dia ketawa kecil, suara rendahnya bikin perut gue aneh, kayak geli sendiri. Gue butuh beberapa detik buat bisa merespon, "Amin, semoga nggak hujan."
"Atau gue nggak bakal punya alasan buat meluk lo lagi." balasnya.
Dia ngomong santai banget, gue tahu dia cuma bercanda... tapi, apa dia lagi ngegombalin gue?
Nggak, Selma, jangan lebay.
Itu cuma becandaan.
"Selamat tidur, Asta."
"Selamat tidur, Selma."
Gue menutup telepon, tapi malah bengong di kasur. Gue tahu harusnya tadi gue nggak usah nerima ajakannya. Harusnya cukup sampai di telepon ini aja. Tapi entah kenapa, gue nggak bisa nolak.
Lagian, ini cuma makan doang. Ketemu sekali aja, nggak bakal jadi masalah. Dia butuh ini, dan buat gue nggak ada ruginya menerima ucapan terima kasihnya.
Gue rebahkan badan, menatap langit-langit.
Tapi kalau emang cuma makan, kenapa gue merasa kayak gini?
Oke, dia emang ganteng. Terus cara kita ketemu juga dramatis banget.
Jelas susah dilupain buat kita berdua, tapi bukan berarti gue bakal tertarik sama dia, kan?
Soalnya kalau sampai iya, itu bakal jadi masalah besar.
..."Atau gue nggak bakal punya alasan buat meluk lo lagi."...
Gue langsung bangun duduk lagi. Terus gue tepuk-tepuk pipi.
Jangan mulai, Selma.
Jangan ngadi-ngadi.
Ini cuma makan siang biasa.
Sama Asta.
Sekali doang.
Gue nggak bakal merasakan apa-apa.
Titik.
cobalah utk hidup normal phyton
𝚜𝚊𝚕𝚞𝚝 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊,𝚠𝚊𝚕𝚊𝚞𝚙𝚞𝚗 𝚖𝚊𝚕𝚟𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚊𝚙𝚒 𝚍𝚒𝚊 𝚝𝚍𝚔 𝚋𝚎𝚕𝚊𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊,𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚖𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚗𝚐𝚎𝚍𝚞𝚔𝚞𝚗𝚐 𝚙𝚑𝚢𝚝𝚘𝚗
𝚜𝚎𝚖𝚊𝚗𝚐𝚊𝚝 𝚍𝚘𝚗𝚐 🥰🥰
𝚜𝚖𝚘𝚐𝚊 𝚌𝚘𝚌𝚘𝚔 𝚢𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 🥰🥰
𝚜𝚎𝚖𝚘𝚐𝚊 𝚍𝚐𝚗 𝚊𝚍𝚊𝚗𝚢𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚗𝚎𝚖𝚞𝚒𝚗 𝚓𝚊𝚝𝚒 𝚍𝚒𝚛𝚒 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚍𝚊𝚗 𝚕𝚞𝚙𝚊𝚒𝚗 𝚟𝚎𝚢..𝚐𝚊𝚔 𝚜𝚎𝚝𝚞𝚓𝚞 𝚔𝚕𝚘 𝚊𝚜𝚝𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚟𝚎𝚢