NovelToon NovelToon
Naura, Seharusnya Kamu

Naura, Seharusnya Kamu

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Romansa / Menikah Karena Anak
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Fega Meilyana

"Aku ingin menikah denganmu, Naura."
"Gus bercanda?"

***

"Maafin kakak, Naura. Aku mencintai Mas Atheef. Aku sayang sama kamu meskipun kamu adik tiriku. Tapi aku gak bisa kalau aku harus melihat kalian menikah."

***

Ameera menjebak, Naura agar ia tampak buruk di mata Atheef. Rencananya berhasil, dan Atheef menikahi Ameera meskipun Ameera tau bahwa Atheef tidak bisa melupakan Naura.
Ameera terus dilanda perasaan bersalah hingga akhirnya ia kecelakaan dan meminta Atheef untuk menikahi Naura.
Naura terpaksa menerima karna bayi yang baru saja dilahirkan Ameera tidak ingin lepas dari Naura. Bagaimana jadinya kisah mereka? Naura terpaksa menerima karena begitu banyak tekanan dan juga ia menyayangi keponakannya meskipun itu dari kakak tirinya yang pernah menjebaknya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fega Meilyana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tasyakuran 4 bulan

Laras sudah pindah ke kontrakan yang diberikan Rania. Kontrakannya tidak begitu jauh dari rumah besar Rania dan Bani. Kontrakan yang berisikan 20 pintu di atas dan 20 pintu di bawah adalah milik Bani Atmadja, suami Rania.

Kehidupan Rania sangatlah beruntung sejak dulu. Ibunya Laras dan mamanya Rania adalah sepupu.

Mamanya Rania bernama Ratna menikah dengan anak dari seorang Ustadz, sedangkan ibunya Laras bernama Ajeng menikah dengan pedagang sembako di daerah Jawa.

Dulu kehidupan Laras berkecukupan, namun karena penyakit Ajeng, harta keluarganya habis untuk biaya berobat.

Dulu, Rania dan Laras sering bermain sampai mereka SMP namun, Rania harus pindah ke Kota, karena usaha ayahnya sedang berkembang pesat.

Melihat sepupunya hidup bahagia, Ajeng juga ikut bahagia... Tidak ada kata iri sedikitpun baginya. Kehidupan setiap orang berbeda-beda. Begitu pula ujiannya. Ajeng tau bahwa dulu Ratna hidupnya sangat susah, karena ia dibesarkan oleh single parent. Lambat laun, kehidupan Ratna berubah drastis. Apalagi ia menikah dengan anak dari seorang Ustadz.

Kini, Laras melihat Rania menjadi sosok perempuan yang beruntung. Cantik, pintar, punya usaha, kaya dan mempunyai suami soleh serta sangat mencintai dirinya. Sedangkan Laras? Ah, kehidupan masa lalunya bersama sang suami membuat dirinya tidak ingin membuka hati untuk siapapun. Semua karena ulahnya sendiri, berani mencintai seseorang yang bahkan tak pantas menerima cintanya.

***

"Makasih ya Ran, kamu udah baik banget sama aku dan Ameera. Aku gak tau balas kebaikan kalian dengan cara apa."

"Mbak, apaan sih. Santai aja... Aku seneng bantu mbak sama Ameera. Sekarang kalian bisa hidup layak disini. Besok mbak sudah mulai kerja aja ya."

"Iya, insya Allah aku akan kerja dengan baik."

"Tiga hari lagi, aku mau adain acara empat bulanan kandunganku mbak. Nanti datang ya..."

"Siap Rania. Aku pasti datang."

Setelah Rania dan Bani mengantar Laras dan Ameera ke rumah kontrakan mereka, mereka akhirnya pulang.

Laras merasa terharu, masih ada orang yang baik padanya. Ia pikir orang lain akan selalu menganggapnya rendah. Laras ke Kota karena sudah tidak tahan lagi dengan ucapan buruk para tetangganya yang mencemoohnya. Di kampung, ia selalu di rendahkan padahal ia sama sekali tidak tau apapun bahwa suaminya sudah berkeluarga. Kini, ia hidup di Kota hanya berdua Ameera, tanpa sanak saudara atau seseorang ya ia kenall. Beruntung, ia bertemu Rania. Dan Laras tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.

***

Empat bulan usia kandungan Rania disyukuri dengan sebuah tasyakuran yang digelar di ballroom kecil hotel bintang lima milik keluarga Bani. Tak berlebihan, namun berkelas. Dekorasi bernuansa putih dan emas mendominasi ruangan, dihiasi rangkaian bunga segar serta lampu gantung kristal yang memantulkan cahaya hangat.

Di tengah ruangan, Rania duduk anggun mengenakan gamis satin ivory dengan sentuhan bordir halus di bagian perut. Kerudung senada membingkai wajahnya yang berseri. Tangannya sesekali mengusap perutnya dengan penuh kasih.

Bani berdiri di sampingnya, mengenakan setelan jas sederhana namun elegan. Tatapannya tak pernah lepas dari Rania, seolah dunia berhenti hanya pada istri dan calon buah hatinya.

Satu per satu tamu penting mulai berdatangan—keluarga besar, rekan bisnis terdekat, serta sahabat lama yang sudah lama tak bertemu. Bani juga mengundang begitu banyak anak-anak dari panti asuhan.

Pintu ballroom kembali terbuka. “MasyaAllah…”

Rania menoleh.

“Terima kasih ya… Mas mau repot-repot bikin tasyakuran begini.”

Bani tersenyum. “Ini bukan repot. Ini bentuk syukur kita.”

Tak lama, keluarga dekat dan beberapa tetangga datang. Mbak Laras dan Ameera juga hadir. Ameera tampak ceria, duduk di samping Rania sambil sesekali menempelkan pipinya ke perut Rania.

“Adik bayinya lagi tidur ya, Tante?” bisik Ameera polos.

Rania tersenyum dan mengusap kepala Ameera. “Mungkin iya, sayang. Doain ya, semoga adiknya sehat.”

Kemudian, seorang perempuan dengan gamis anggunnya berwarna hitam dipadukan jilbab panjang coklat susu melangkah masuk. Di sampingnya, seorang pria berjas hitam tampak menggenggam tangannya dengan hangat.

“Mbak Nafisah...” bisik Rania tak percaya.

“Ran!” Nafisah langsung menghampiri, memeluk Rania dengan hati-hati. “MasyaAllah, kamu kelihatan cantik banget. Ibu hamil glowing ternyata nyata ya.”

Rania terkekeh pelan. “Mbak berlebihan!"

"Oh iya mana keponakan aku, yang cantik dan tampan itu?"

"Maaf, aku gak bawa mereka Ran... Mas Zaki ada ceramah di daerah sini jadi aku titipin sama adiknya Mas Zaki, Latifa."

"Oh begitu, sayang banget ya. Aku kangen sama mereka."

"Tiga hari lagi, aku ada kajian di daerah Menteng. Nanti mereka akan aku bawa." Ujar Zaki

"Beneran ya? Aku kangen banget sama mereka loh! Anggap aja ngidam hehe."

"Ish kamu itu..." Nafisah terkekeh.

Zaki menyalami Bani erat. “Selamat ya, Ban. Akhirnya.”

Bani tersenyum lebar, senyum yang jarang ia perlihatkan pada banyak orang. “Terima kasih, Gus. Doain ya.”

Nafisah berjongkok di hadapan Rania, menatap perutnya dengan mata berbinar.

“Assalamu’alaikum, calon keponakan. Aku Umi Nafisah.”

Zaki ikut mendekat. “Aku Abi Zaki. Jangan bandel di dalam, ya.”

Rania dan Bani tertawa kecil. Momen itu sederhana, namun terasa sangat intim di tengah kemewahan ruangan.

"Oh iya Mbak... Kenalin ini sepupu aku. Namanya Mbak Laras, dan ini anaknya namanya Ameera."

Laras tersenyum, Nafisah juga menyambutnya. "Wah masya Allah, nambah silaturahmi baru kita."

"Iya mbak. Aku juga gak nyangka bisa ketemu sama Mbak Laras. Mbak Laras, ini mbak Nafisah. Kakak tingkat aku waktu mondok dan juga kita kuliah bareng. Kami sahabatan sudah lama. Aku dapet Mas Bani dikenalin sama suami mbak Nafisah."

Laras mengulurkan tangannya, namun Zaki mengangkat kedua tangannya di dada. "Salam kenal, mbak."

"Maaf hehe aku gak tau." Laras jadi merasa malu, ia memang tidak terlalu paham mengenai agama. Bahkan sekarang saja ia hanya memakai kerudung asal, rambut terlihat dan pashminanya hanya dililit saja.

"Ayo, sebentar lagi mulai acaranya."

Acara pun dimulai. Lantunan ayat suci Al-Qur’an menggema lembut, diikuti tausiyah singkat dari ustaz kondang yang sengaja diundang. Suasana ballroom yang semula gemerlap berubah khusyuk.

“Empat bulan adalah fase ditiupkannya ruh,” ujar sang ustaz. “Maka doa orang tua adalah pagar pertama kehidupan anak.”

Saat doa dibacakan, Rania menunduk. Air mata menetes perlahan, membasahi pipinya. Bani menggenggam tangannya erat—kuat, menenangkan.

“Ya Allah,” lirih doa Rania dalam hati, “jika Engkau titipkan amanah ini pada kami, jadikan ia anak yang lembut hatinya, kuat imannya, dan baik akhlaknya.”

Usai doa, para tamu dipersilakan menikmati hidangan. Meja prasmanan tersaji mewah: hidangan nusantara premium, western cuisine, hingga dessert artisan.

Nafisah menyenggol Rania pelan. “Anak kamu ini sudah disambut seperti pewaris kerajaan.”

Bani terkekeh. “Dia pewaris doa, bukan harta.”

Zaki mengangguk setuju. “Itu yang paling mahal.”

Di sudut ruangan, Bani kembali berdiri di samping Rania. Ia mengusap perut istrinya dengan lembut.

“Nak,” bisiknya, “lihat… begitu banyak doa yang datang buat kamu hari ini.”

Rania tersenyum haru. “Mas… aku bahagia. Bukan karena acaranya, tapi karena aku ngerasa… kita nggak sendiri.”

Bani menunduk, mengecup kening Rania dengan penuh hormat. “Kamu nggak pernah sendiri, sayang. Selama aku masih bernapas.”

Lampu kristal berkilau di atas mereka. Di balik kemewahan yang menyelimuti, ada doa-doa tulus yang mengalir—menjadi pondasi bagi kehidupan kecil yang tengah tumbuh di rahim Rania.

***

Ballroom perlahan kembali lengang. Para tamu satu per satu pamit, meninggalkan jejak doa dan ucapan selamat. Lampu kristal masih menyala redup, namun kemeriahan telah berganti ketenangan.

Rania duduk di sofa panjang dekat jendela besar, menatap cahaya kota malam yang berkilau di kejauhan. Tangannya mengusap perutnya perlahan, seolah memastikan semuanya nyata.

Bani berdiri tak jauh, berbincang singkat dengan staf hotel sebelum akhirnya mendekat ke istrinya.

“Capek?” tanyanya lembut.

“Sedikit… tapi bahagia,” jawab Rania jujur.

Bani tersenyum, lalu membantu Rania berdiri. “Kita duduk sebentar lagi, habis itu pulang.”

Di sudut lain, Nafisah dan Zaki menghampiri. Nafisah masih mengenakan senyum hangat yang sama sejak datang.

“Kalian kelihatan tenang banget sekarang,” Ucap Nafisah, “Kayak… sudah melewati banyak hal.”

Rania terkekeh kecil. “Karena memang iya. Mbak."

Nafisah duduk di samping Rania. “Ran.... aku boleh jujur?”

Rania menoleh. “Boleh.”

“Aku iri,” ucap Nafisah pelan. “Bukan sama kemewahan acaranya, tapi sama ketenangan kamu.”

Zaki melirik istrinya, lalu mengangguk. “Bani kelihatan beda sekarang. Lebih… dewasa.”

Bani tersenyum tipis. “Karena tanggung jawabku bertambah.”

Nafisah menghela napas. “Aku tahu perjalanan kamu gak selalu mudah, Ran. Tapi hari ini aku lihat kamu benar-benar dijaga.”

Rania menunduk. “Aku juga baru sadar… ternyata bahagia itu bukan soal seberapa besar yang kita punya, tapi seberapa banyak yang kita titipkan ke Allah.”

Nafisah menggenggam tangan Rania. “Anak kamu beruntung.”

Zaki menimpali, “Dan kami beruntung jadi saksi.”

Sejenak hening. Suasana terasa hangat dan penuh makna.

"Mbak... Kalau anak aku sudah besar, boleh gak jodohin anak aku sama Gua Atheef?"

Nafisah dan Zaki saling pandang heran, beberapa saat mereka menahan tawa. "Apa ini... Ngidam juga Ran?"

"Gak Gus. Aku ingin hubungan keluarga kita makin erat aja. Aku juga menyayangi Gus Atheef dan Ning Hanifa. Aku ingin Gus Atheef menjadi menantu aku dan Mas Bani. Itu juga kalau kalian tidak keberatan."

"Tidak sama sekali Ran, justru kami merasa di hargai... Aku dan Mas Zaki juga pernah berniat seperti itu kok." Zaki mengangguk. "Tapi kami takut kalian tidak mau, apalagi Bani pasti inginnya punya mantu yang perfect!" Sindir Nafisa

"Mana ada mbak. Asal sayang dengan anakku toh ya gapapa. Urusan materi bisa di cari itu." Sahut Bani.

"Lagian istriku tuh ada ada aja mbak, belum lahir sudah ngomongin perjodohan."

"Gapapa Ban! Kita semua terhibur." Timpal Zaki.

Tak lama, staf hotel memberi tahu bahwa ruangan akan segera ditutup. Bani mengangguk, lalu kembali ke Rania.

“Sayang, kita pulang, ya.”

“Iya, Mas.”

Saat Rania berdiri, Bani sigap menopangnya. Nafisah memperhatikan itu dengan mata berkaca-kaca.

“Ban,” ucap Nafisah tiba-tiba, “jaga Rania baik-baik.”

Bani menatap Nafisah mantap. “Itu janji aku.”

Zaki menepuk bahu Bani. "Itu hebat!"

Di parkiran, sebelum berpisah, Nafisah memeluk Rania erat—hati-hati.

“Kalau kamu butuh apa pun, jangan sungkan. Aku ada.”

Rania tersenyum. “Terima kasih, Mbak. Doain aku terus, ya.”

Mereka berpisah dengan pelukan dan doa.

Di dalam mobil, Rania menyandarkan kepala di bahu Bani.

“Mas…”

“Hmm?”

“Hari ini aku merasa… sangat dicintai.”

Bani mengusap rambut Rania lembut. “Karena kamu memang dicintai, sayang. Sama aku… dan sama Allah.”

Rania menutup mata, tersenyum kecil. Mobil melaju pelan menembus malam—membawa mereka pulang, bersama harapan baru yang tumbuh di antara cinta dan doa.

1
Anak manis
😍
cutegirl
😭😭😭
anakkeren
authornya hebat/CoolGuy/
just a grandma
nangis bgt/Sob/
cutegirl
plislah nangis bgt ini/Sob/
anakkeren
siapa si authornya, brani memporakan hatiku dgj ceritanya😭
just a grandma
nangis banget😭
cutegirl
bagus laras💪
just a grandma
sedihnya sampe sini /Sob/
just a grandma
kasian laras, ginggalin aja si rendra
anakkeren
kasian laras
just a grandma
suka sm ceritanyaaa
anakkeren
kapan kisah nauranya kak?
Fegajon: nanti ya. kita bikin ortunya dulu biar nanti ceritanya enak setelah ada naura
total 1 replies
anakkeren
lanjut
just a grandma
raniA terlalu baik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!