Kirana menatap kedua anaknya dengan sedih. Arka, yang baru berusia delapan tahun, dan Tiara, yang berusia lima tahun. Setelah kematian suaminya, Arya, tiga tahun yang lalu, Kirana memilih untuk tidak menikah lagi. Ia bertekad, apa pun yang terjadi, ia akan menjadi pelindung tunggal bagi dua harta yang ditinggalkan suaminya.
Meskipun hidup mereka pas-pasan, di mana Kirana bekerja sebagai karyawan di sebuah toko sembako dengan gaji yang hanya cukup untuk membayar kontrakan bulanan dan menyambung makan harian, ia berusaha menutupi kepahitan hidupnya dengan senyum.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanela cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3
Yuda memacu motornya sedikit lebih cepat dari biasanya. Matahari sore mulai condong, menggoreskan warna jingga di antara atap rumah-rumah pinggiran kota. Di kepalanya hanya satu hal:
“Jangan sampai terlambat jemput ibu dipasar.”
Begitu tadi pesan ibunya.
Dug… dug… dug…
Brughh—mati total.
Yuda menatap langit seolah minta pengertian. “Seriusan? Habis bensin?”
Ia menunduk melihat indikator bensin—jarumnya sudah masuk area merah sejak pagi. Ia memang lupa mengisi.
“Ya Allah… bisa pas banget kayak gini,” keluhnya.
Ia melihat jam di ponselnya. Sudah hampir jam lima lewat. Ibunya pasti akan marah karena terlalu lama menunggu di pasar.
Ia merogoh kantong celana belakang. Hatinya langsung turun.
Dompetnya tidak ada handphone juga tidak ada untuk meminta bantuan seseorang.
“Ya Allah… jangan bilang ketinggalan,” gumamnya panik.
Ia buru-buru menepi, membuka tas kecil di depan motor kosong. Dompetnya benar-benar tertinggal di ruang tamu, saat tadi ia buru-buru keluar.
DIa melihat sekeliling. Jalan itu tidak begitu ramai. Beberapa orang lewat, tapi wajah mereka tampak terburu-buru. Tukang bensin eceran memang ada tidak jauh dari tempat dia berhenti sekarang, tapi masalahnya dompet dan hp nya ketinggalan di rumah.
Yuda mengusap wajah frustasi.
“Ya Allah… siapa pun yang bisa bantu, tolonglah…”
Lima menit berlalu. Tak ada orang yang tampak ingin berhenti.
Hingga akhirnya, ia melihat seorang perempuan berjalan sendirian — wajahnya lelah, bajunya sederhana, tasnya kecil. Ia tampak seperti seseorang yang baru pulang dari kerja.
Yuda menelan ludah. Ia tidak suka meminta tolong uang pada perempuan, apalagi orang asing. Tapi ini darurat. Sangat darurat.
Ia mencoba memberanikan diri.
“Mbak… mbak, bisa bantu saya nggak?” tanyanya dengan ragu.
Perempuan itu berhenti dan menoleh. Matanya lembut, tapi penuh kehati-hatian.
“Ada apa, Mas?”
“Saya… kehabisan bensin.” Yuda menghela napas dalam. “Dompet saya ketinggalan di rumah. Saya harus jemput ibu saya. Saya cuma butuh dua puluh ribu buat beli minyak. Nanti saya balikin, sumpah.”
Perempuan itu menatap motornya, lalu menatapnya lagi. Yuda bisa melihat keraguan di wajahnya. Dan jujur saja, dia maklum — zaman sekarang banyak penipu.
“Tapi saya beneran butuh, Mbak,” tambah Yuda dengan suara lebih pelan. “Bukan buat apa-apa. Cuma buat bensin. Saya… nggak mau ibu saya nunggu lama.”
Perempuan itu akhirnya membuka tasnya. Ia mengeluarkan selembar uang dua puluh ribu dan memberikannya.
“Ini, Mas. Dipakai dulu.”
“Serius, Mbak? Ya Allah, terima kasih banyak…” Ia menerima uang itu dengan kedua tangan. “Mbak tinggal dimana? Biar nanti saya balikin.”
"Ngga usah mas saya ikhlas"
Yuda nampak terdiam sejenak " kalo gitu nama mbak siapa"
“Kirana.”
Nama itu tertanam cepat di kepala Yuda.
“Saya Yuda, Mbak. Semoga rezekinya lancar. Saya… bener-bener berterima kasih.”
Kirana hanya tersenyum kecil dan berlalu.
Yuda memandangi punggung perempuan itu beberapa detik seseorang yang tidak mengenalnya, tapi menolongnya tanpa syarat.
Begitu motor Yuda akhirnya menyala setelah diisi bensin eceran, ia langsung memacu kendaraan itu menuju pasar.
Motor berhenti tepat di depan pasar. Dari kejauhan ia melihat sosok ibunya, duduk di bangku kecil dekat kios sayur, plastik belanjaan bertumpuk di samping kaki. Wajahnya tidak main-main masamnya.
Yuda menelan ludah. “Bismillah… mati aku.”
Begitu ia mendekat, ibunya langsung berdiri. Dengan cepat.
“YUDHAAA!!”
Yuda otomatis merunduk. “I-iya Bu…”
“Sudah jam SETENGAH ENAM! Kamu pikir ibu ini patung apa nunggu dari tadi?! Kaki ibu sampe kesemutan, tahu?!”
“Maaf Bu… tadi motor habis bensin.”
“Habis bensin?!”
Ibunya menyilangkan tangan di dada.
“Terus kamu ngapain aja dari pagi sampai sore sampe lupa isi bensin?!”
Yuda menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. “Lupa, Bu… terus dompet juga ketinggalan…”
Ibunya langsung melotot lebih besar. “Astagfirullah… dompet ketinggalan? Bensin habis? Kamu itu umur berapa, Yudaaa? Masih kayak anak bujang umur tujuh belas tahun!”
Yuda mencoba tersenyum meminta ampun. “Iya Bu, maafin. Tadi untung ada orang baik—”
Ibunya langsung memotong dengan cepat, nada tinggi tapi khawatir terselubung.
“Kamu jangan-jangan pinjem uang sama orang asing? Ya Allah Yuda! Kamu itu lelaki, kaya lagi masa iya minjem uang buat bensin?!”
“Darurat Bu… kalau nggak gitu ibu nunggu lebih lama.”
Ibunya menghentak kaki. “Ya tetap aja! Nama juga laki-laki, masa minjem sama orang lewat?!”
Yuda menghela napas. “Nggak ada pilihan Bu.”
Ibunya akhirnya mendecak panjang sambil mengambil plastik belanjaannya.
“Ya udah, ayo pulang. Dingin-dingin gini ibu nunggu, bisa masuk angin. Kalau ibu jatuh sakit, kamu siapin duit buat obat nanti!”
Yuda mengangguk cepat. “Siap Bu, siap.”
Saat ibunya naik ke boncengan, perempuan itu masih terus mengomel sepanjang jalan, tapi nada suaranya perlahan berubah—lebih lembut, lebih seperti seorang ibu yang ketakutan kehilangan anak satu-satunya.
Sementara Yuda, yang sedang memacu motor di bawah sinar senja, hanya bisa memikirkan satu nama.
Kirana.
Wanita yang tanpa banyak bicara memberinya pertolongan ketika semua orang memilih lewat begitu saja.
Ia bertekad dalam hati:
Uang itu harus kembali. Bahkan kalau perlu dengan permintaan maaf yang layak.
Dan tanpa sadar, bibir Yuda terbentuk senyum kecil. Tapi dia langsung menepis pikiran nya itu.
Untuk pertama kalinya sejak bercerai dan divonis mandul, hari itu hidupnya terasa sedikit… berbeda.
Tapi yang membuat dia sangat sakit hati adalah belum sah mereka bercerai istrinya ralat mantan istrinya itu sudah selingkuh dengan pria yang lebih kaya dibandingkan dengannya. Kata mantan istrinya dia sudah tidak bisa memberikan keturunan, tidak bisa juga mencukupi kebutuhannya. Padahal Yuda adalah pemilik pabrik besar yang ada di daerah tersebut
Entah lah Yuda merasa hidupnya kehilangan separuh dirinya. Untuk menikah dia sudah tidak mau memikirkannya lagi. Dia sudah ikhlas dengan keadaannya ini. Siapa juga yang mau menikah dengan pria mandul sepertinya.
Ibunya juga tidak memaksa dia, seolah mengetahui kondisi putra semata wayangnya itu.