Sepuluh bulan lalu, Anna dijebak suaminya sendiri demi ambisi untuk perempuan lain. Tanpa sadar, ia dilemparkan ke kamar seorang pria asing, Kapten Dirga Lakshmana, komandan muda yang terkenal dingin dan mematikan. Aroma memabukkan yang disebarkan Dimas menggiring takdir gelap, malam itu, Anna yang tak sadarkan diri digagahi oleh pria yang bahkan tak pernah mengetahui siapa dirinya.
Pagi harinya, Dirga pergi tanpa jejak.
Sepuluh bulan kemudian, Anna melahirkan dan kehilangan segalanya.
Dimas dan selingkuhannya membuang dua bayi kembar yang baru lahir itu ke sebuah panti, lalu membohongi Anna bahwa bayinya meninggal. Hancur dan sendirian, Anna berusaha bangkit tanpa tahu bahwa anak-anaknya masih hidup. Dimas menceraikan Anna, lalu menikahi selingkuhan. Anna yang merasa dikhianati pergi meninggalkan Dimas, namun takdir mempertemukannya dengan Kapten Dirga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
03. Beberapa bulan berlalu.
Sejak malam itu, siapa sangka Anna mengandung benih pria asing yang telah menodainya karena ulah sang suami. Kini usia kandungannya telah genap sembilan bulan. Tepat di hari ini mungkin dia akan melahirkan.
Hujan turun deras malam itu, membuat lampu-lampu rumah sakit tampak seperti kunang-kunang yang redup di balik tirai air. Suara erangan Anna menggema di lorong bersalin, memecah kesunyian dini hari.
“Bu Anna, tarik napas … sebentar lagi,” ucap bidan, berusaha menenangkannya.
Tubuh Anna menggigil. Keringat bercampur air mata mengalir di wajahnya, tapi hatinya justru dipenuhi bayangan seorang pria yang tak lagi menjadi rumah baginya. Suaminya, Dimas, lelaki yang tak ia lihat hampir setahun, dan malam itu entah mengapa ia datang.
Pintu ruang bersalin terbuka, dan Dimas melangkah masuk.
“Mas … kamu datang…” Anna terisak, lega. Dia tidak tahu bahwa kelegaan itu akan menjadi penyesalan terbesar hidupnya. Dimas berdiri di samping ranjang tanpa menyentuhnya. Wajahnya dingin, seperti tidak sedang menunggu kelahiran anak sendiri.
Tak lama kemudian, tangisan pertama pecah. Disusul tangisan kedua, perawat menoleh dengan senyuman.
“Kembar, Bu. Bayinya sehat.”
Anna menangis, tangis bahagia penuh syukur. “Mas … kita … kita punya bayi…”
Dimas tidak tersenyum, tidak menatap Anna. Tidak menatap bayinya, ada gelap menggenang di matanya.
Ruang pemulihan sunyi. Anna berbaring lemah, pundaknya naik turun menahan sisa sakit. Dia mencari-cari suaminya dengan mata sayu.
“Mas … di mana bayinya? Aku ingin lihat…”
Dimas berdiri di dekat jendela, memunggunginya. Suaranya datar,
“Anna … anak kamu … meninggal.”
Napas Anna terputus.
“A… apa…?”
“Dokter bilang keduanya nggak bertahan lama.”
Anna menjerit, tubuhnya gemetar hebat. “Mas bohong! Aku dengar mereka menangis! Aku dengar sendiri!”
Dimas menoleh perlahan. “Kamu lagi capek, jangan berhalusinasi.”
Anna menangis, memohon sambil menggenggam lengan Dimas. “Aku mau lihat … tolong … aku mau lihat anakku…”
Dimas bergeming. “Sudah aku kebumikan.”
Dunia Anna runtuh. Hatinya koyak, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk melawan. Dia tidak tahu bahwa di saat ia menangis meminta bayinya, suaminya melakukan kejahatan terbesar dalam hidupnya.
Beberapa jam setelah Anna melahirkan, di malam yang sama, di belakang rumah sakit yang remang, Dimas berdiri dengan dua bayi kembar mungil dalam gendongan perawat panti.
“Ambil mereka,” ucap Dimas dingin, dia menyodorkan amplop berisi uang.
Pengasuh panti, seorang perempuan setengah baya, mengernyit bingung.
“Tuan … ini bayi baru lahir…”
“Rawat saja, jangan cari saya.”
Dimas berbalik tanpa menoleh, tanpa rasa bersalah sedikit pun. Suara tangis bayi itu tenggelam oleh deru mobil yang membawanya pergi. Malam itu, takdir dua anak manusia berubah selamanya.
Beberapa hari kemudian, Anna sudah cukup kuat untuk berjalan. Ia memaksa kembali ke dunia yang terasa hampa. Tatapannya kosong ketika meminta sesuatu yang membuat perut Dimas menegang.
“Mas … aku mau lihat makamnya.”
Dimas terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Ayo.”
Mereka tiba di pemakaman kecil. Tanahnya becek oleh hujan. Ada satu gundukan baru, nisan kayu sederhana tanpa nama. Gundukan itu sengaja dibuat Dimas semalam hanya untuk menutupi kebohongan.
“Itu,” katanya singkat.
Anna berlutut, tangannya menyentuh tanah basah itu, seolah ingin merasakan kehangatan yang tak pernah ia dapatkan. Ia menangis seperti anak kecil yang kehilangan seluruh dunia.
“Kenapa … Mas … kenapa aku nggak boleh lihat mereka dulu…” suaranya pecah, terputus-putus.
Dimas diam, diam yang penuh rahasia. Mereka kembali ke rumah sakit, Anna membereskan semua barangnya tanpa dibantu oleh Dimas yang hanya berdiri menatap jendela besar.
Saat keluar dari rumah sakit, admin memanggil mereka.
“Bu Anna, biaya persalinan masih kurang. Salah satu pihak harus menandatangani dokumen tambahan untuk proses pelunasan.”
Anna menatap berkas itu, jantungnya seakan berhenti. Itu adalah surat cerai, surat yang diberikan Dimas sepuluh bulan lalu.
Surat yang tak pernah ia sentuh, dan kini dijadikan syarat agar Dimas mau membayar biaya rumah sakit tempat ia hampir mati melahirkan anaknya.
“Ayo tanda tangan,” ucap Dimas tenang, tanpa perasaan.
“Mas…” suara Anna pecah, “aku nggak mau bercerai…”
“Kamu yang salah,” potong Dimas cepat.
“Kamu yang tidur dengan pria lain.”
Anna menatapnya shock. “Mas … aku beneran nggak ingat apa-apa … aku nggak...”
“Sudah.” Dimas menyeringai tipis. “Tanda tangan, habis itu semuanya selesai.”
Anna menunduk, tangan yang menggenggam pena gemetar hebat. Air matanya jatuh, membasahi kertas itu, dengan satu goresan ia kehilangan suami, anak, dan hidupnya.
Angin sore menerpa wajah Anna yang pucat saat ia memegangi lengan Dimas di area parkir rumah sakit.
“Mas … jangan pergi. Tolong…”
Suaranya parau, seolah setiap kata dipaksa keluar dari dada yang sudah remuk.
Dimas menepis tangannya kasar.
“Jangan bikin malu.” Tanpa menatapnya, ia masuk ke dalam mobil lalu menutup pintu keras-keras.
“Mas! Dimas! Tolong jangan pergi! Aku sendirian!”
Anna berlari kecil mengikuti mobil itu, tapi ban mobil berputar cepat, melesat pergi dan meninggalkannya di tengah parkiran yang luas dan dingin.
Anna tersungkur, kedua lututnya jatuh menghantam aspal. Air matanya mengalir begitu deras hingga pandangannya kabur.
Di matanya, dunia sudah tidak punya warna. Sebuah mobil hitam berhenti di deretan parkir lain. Kapten Dirga turun dengan wajah tegas dan sorot mata dingin khasnya. Ia datang ke rumah sakit setelah mendapat kabar dari bibi pengasuh panti miliknya, bahwa bayi kembar yang baru lahir tiba-tiba dititipkan padanya tanpa penjelasan jelas. Dirga ingin memastikan siapa orang tua anak itu. Apakah mereka terlibat kasus tertentu atau apakah bayi itu korban penculikan. Namun langkahnya terhenti, matanya terpaku pada sosok wanita yang menangis keras di parkiran.
Wajah yang semalam menghantui tidurnya. Wanita yang tanpa sengaja ia nodai, Dirga mengepalkan tangan, rahangnya mengeras.
'Kenapa dia di sini? Apa yang terjadi padanya?'
Dia memalingkan wajah, menahan diri agar tidak tergerak mendekat. Ia tidak mau terlibat, dia tidak boleh terlibat. Tapi takdir tidak bertanya siapa yang siap.
Anna berdiri terhuyung, air matanya mengaburkan dunia. Seluruh hidupnya hari itu dicopot satu per satu, suaminya, anaknya, harga dirinya dan bahkan harapannya untuk hidup. Dan di kejauhan suara mesin kendaraan yang melintas di jalan raya seolah memanggilnya. Dengan langkah tak stabil, tubuh lemah, dan mata kosong, Anna mulai berjalan ke arah jalan besar. Seperti tidak sadar arah, tidak dengar klakson mobil, tidak hirau teriakan orang.
Ia hanya ingin berhenti sakit, saat mobil melaju cepat ke arahnya, Dirga berlari secepat yang ia bisa, menarik tubuh Anna dan menjatuhkan mereka berdua ke samping aspal. Tubuh Anna berada di atas dadanya, napas mereka saling beradu. Mobil yang hampir menabraknya melesat pergi dengan klakson panjang yang memekakkan telinga.
Napas Dirga terengah, lengan kokohnya masih melingkari pinggang Anna tanpa ia sadari. Matanya menatap Anna dan tepat saat itu, wanita itu membuka mata. Tatapan Anna yang penuh duka, penuh kehancuran, langsung menembus hitam mata Dirga.
Dan Dirga untuk pertama kalinya, merasa napasnya terhenti bukan karena medan tempur, tapi karena tatapan seorang wanita yang tak pernah ia kenal namun telah mengubah takdir hidupnya, sedetik kemudian, karena masih lemah Anna jatuh pingsan di atas dada Dirga.
"Hei, kamu kenapa?"
ayo basmi habis semuanya , biar kapten dirga dan anna bahagia
aamirandah ksh balasan yg setimpal dan berat 🙏💪
kejahatan jangan dibiarkan terlalu lama thor , 🙏🙏🙏
tiap jam berapa ya kak??
cerita nya aku suka banget🥰🥰🙏
berharap update nya jangan lama2 🤭🙏💕