Lia, gadis desa Tanjung Sari, menemukan seorang pria pingsan di pematang sawah tanpa ingatan dan tanpa identitas. Ia menamainya Wijaya, dan memberi lelaki itu tempat pulang ketika dunia seolah menolaknya.
Tekanan desa memaksa mereka menikah. Dari pernikahan sederhana itu, tumbuh rasa yang tak pernah direncanakan—hingga Lia mengandung anak mereka.
Namun Wijaya bukan lelaki biasa.
Di kota, keluarga Kusuma masih mencari Krisna, pewaris perusahaan besar yang menghilang dalam kecelakaan misterius. Tanpa mereka sadari, pria yang dianggap telah mati kini hidup sebagai suami Lia—dan ayah dari anak yang belum lahir.
Saat ingatan perlahan mengancam kembali, Lia harus memilih: mempertahankan kebahagiaan yang ia bangun, atau merelakan suaminya kembali pada masa lalu yang bisa merenggut segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indah yuni rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Yang Dicatat, Yang Dihilangkan
Hujan berhenti, tapi desa tidak menjadi tenang.
Pagi itu, dua orang berseragam kembali datang—bukan ke balai desa, melainkan ke rumah-rumah. Mereka membawa map lebih tipis dari kemarin, tapi wajah mereka lebih tegas. Tidak ada lagi penjelasan panjang. Hanya pertanyaan dan tanda tangan.
Satu rumah.
Satu nama.
Satu keputusan.
Ketika mereka berhenti di depan rumah Lia, jantung Lia berdegup terlalu keras untuk pagi yang seharusnya biasa.
“Bu Surti?”
“Iya.”
“Kami dari kecamatan. Pendataan lanjutan.”
Wijaya berdiri di belakang Lia. Tangannya refleks menyentuh punggung kursi, seolah mencari pegangan.
Pria itu membuka map. “Atas nama siapa lahan petak timur?”
Pak Wiryo belum sempat menjawab ketika Wijaya melangkah maju.
“Atas nama keluarga kami.”
Pria itu mendongak. Matanya menyapu wajah Wijaya—lebih lama dari yang perlu.
“Nama lengkap?”
Wijaya terdiam sepersekian detik.
Detik yang terlalu panjang bagi orang yang terbiasa hidup tanpa dicatat.
“Wijaya,” jawabnya akhirnya. “Wijaya saja.”
Pulpen berhenti.
“Tidak ada nama keluarga?”
Wijaya menelan ludah. “Tidak.”
Tatapan itu berubah. Bukan curiga, melainkan tertarik.
Setelah mereka pergi, rumah terasa lebih sempit.
“Kenapa kamu yang jawab?” tanya Pak Wiryo tertahan.
“Karena itu sawah kita,” jawab Wijaya pelan. “Dan aku tidak mau bersembunyi.”
Lia menatap suaminya lama. Ada kebanggaan kecil di sana. Tapi juga rasa takut yang menekan dada.
Di luar, tetangga mulai berdiri lebih dekat dari biasanya.
Desa mencium sesuatu.
“Katanya lahan bisa diambil,” bisik seseorang.
“Yang orang barunya itu… namanya aneh.”
“Kalau tidak jelas asal-usulnya, biasanya cepat digeser.”
Kalimat-kalimat itu tidak diucapkan keras. Tapi cukup untuk membuat udara berubah.
.
Jauh dari puskesmas, di sebuah warung kecil dekat jembatan bambu, Natan duduk dengan kopi yang sudah dingin.
Ia bukan orang baru di desa itu lagi. Wajahnya dikenal sebagai buruh serabutan, orang kota yang katanya sedang “mencari peruntungan”.
Tidak ada yang tahu bahwa setiap langkahnya selalu mengarah pada satu orang.
Wijaya.
Nama itu ia simpan rapat-rapat bersama nama lain yang ia bawa dari masa lalu: Krisna.
Dari tempat duduknya, Natan bisa melihat orang-orang mondar-mandir melewati jalan utama. Kata “pingsan”, “kepala terbentur”, dan “rujuk ke rumah sakit” berulang kali terdengar.
Jantungnya berdegup keras — bukan karena panik, tetapi karena kepastian yang selama ini ia tunggu akhirnya datang.
“Jadi kamu di sini juga, Bos…” gumamnya pelan.
Ia berdiri, menaruh uang di meja, lalu berjalan tanpa tergesa.
Tidak perlu tergesa.
Ia sudah berada cukup dekat sejak lama.
Yang ia tunggu hanya satu:
momen paling aman untuk mengatakan kebenaran yang tidak semua orang siap terima.
.
Sore itu, Wijaya kembali ke sawah meski diminta berhenti. Bukan untuk bekerja hanya berdiri. Menatap tanah yang sebentar lagi mungkin bukan miliknya.
“Kamu gila?” desis Lia. “Kalau mereka lihat....”
“Aku tidak mencuri,” potong Wijaya. “Aku berdiri di tanah yang kutanam.”
Kepalanya tiba-tiba berdenyut. Lebih keras dari sebelumnya. Pandangannya bergetar.
“Mas?” Lia mendekat.
Wijaya memegangi pelipisnya. Napasnya terputus-putus.
Kilasannya datang lebih kasar dari sebelumnya:
—ruang putih
—bau obat
—suara alat medis
—seseorang berteriak namanya
Bukan Wijaya.
Ia jatuh berlutut.
“Mas!” Lia menahan tubuhnya.
Wijaya menatap Lia dengan mata panik. "Kita pulang saja."
.
Malam itu, Lia duduk di tepi dipan, menatap wajah suaminya yang terlelap gelisah. Ia menempelkan tangan ke perutnya lebih lama dari biasanya.
Keputusan itu akhirnya jatuh.
Jika dunia akan menarik semua ini dari mereka, ia tidak akan membiarkannya terjadi tanpa suara.
Dan jauh di jalan raya menuju desa, sebuah mobil melaju pelan, membawa seseorang yang tahu persis siapa sebenarnya lelaki bernama Wijaya.
Malam makin larut, tapi Wijaya tidak benar-benar tidur. Tubuhnya terbaring diam, namun napasnya tidak teratur. Sesekali alisnya berkerut, rahangnya mengeras seolah menahan sakit yang tidak sepenuhnya sampai ke permukaan. Lia duduk di samping dipan, mengamati setiap perubahan kecil itu dengan cemas yang ditahan rapi.
Ia mengganti kompres, menyentuh dahi Wijaya yang kembali hangat.
“Mas…” panggilnya pelan.
Wijaya membuka mata. Pandangannya tidak langsung fokus. Seperti seseorang yang baru kembali dari tempat yang terlalu jauh.
“Kamu kenapa?” tanya Lia.
Wijaya tidak langsung menjawab. Ia menatap langit-langit rumah, lalu menoleh ke arah Lia. Ada ketakutan yang tidak biasa di sana, bukan takut pada sakit, tapi pada sesuatu yang lebih besar.
“Aku merasa… aku tidak aman,” ucapnya akhirnya. “Bukan di desa ini. Di dalam kepalaku.”
Lia menelan ludah. “Kepalamu sakit lagi?”
Wijaya mengangguk pelan. “Bukan sakit biasa. Seperti ada pintu yang ingin terbuka, tapi aku tidak tahu apa yang ada di baliknya.”
Ia menutup mata, menarik napas panjang. “Dan hari ini… waktu orang kecamatan itu menatapku… rasanya seperti aku sedang dicari.”
Kalimat itu membuat jantung Lia berdegup lebih cepat.
“Dicari siapa?” tanyanya, meski sebagian dirinya tidak ingin tahu jawabannya.
Wijaya menggeleng. “Aku tidak tahu. Itu yang membuatku takut.”
Hening menyelimuti mereka. Di luar, suara hujan tinggal sisa-sisa tetesan dari atap. Desa seolah menahan napas bersama mereka.
Keesokan paginya, kabar menyebar lebih cepat dari kemarin.
Bukan lewat pengumuman, tapi lewat tafsir.
“Katanya lahan timur bukan cuma dievaluasi.”
“Katanya akan dipasangi patok.”
“Katanya ada nama yang bermasalah.”
Nama tidak disebut, tapi arah pandang jelas.
Lia berjalan ke sumur dengan kepala tertunduk. Beberapa bisikan berhenti saat ia lewat. Yang lain sengaja dilanjutkan cukup keras untuk didengar.
“Kasihan… tapi kalau bukan orang sini, susah.”
“Sekarang sudah punya surat-surat. Tidak bisa pakai hati.”
Lia menimba air tanpa bicara. Tangannya gemetar, bukan karena dingin.
Di rumah, Ibu Surti memperhatikan dengan diam. Ia tahu, waktunya semakin sempit.
“Kamu harus kuat,” katanya akhirnya. “Kalau desa mulai memilih, biasanya tidak memberi waktu lama.”
Lia mengangguk. Tangannya refleks menyentuh perutnya, cepat-cepat diturunkan lagi.
Belum sekarang.
Di sawah, Wijaya diminta berhenti bekerja—bukan oleh Pak Wiryo, melainkan oleh seseorang dari balai desa.
“Untuk sementara,” katanya singkat. “Menunggu kejelasan.”
Wijaya berdiri mematung. Tanah yang biasa ia injak terasa asing di bawah telapak kakinya.
“Kalau menunggu,” jawab Wijaya, “kami makan apa?”
Orang itu tidak menjawab. Ia hanya mencatat sesuatu di kertas, lalu pergi.
Pak Wiryo menghela napas berat. “Pulang saja.”
Dalam perjalanan pulang, Wijaya merasakan kepalanya kembali berdenyut. Lebih keras. Lebih tajam.
Gambar-gambar itu datang lagi kali ini tanpa permisi.
Suara sirene.
Cahaya putih menyilaukan.
Seseorang memanggil namanya dengan nada putus asa.
Bukan Wijaya.
Ia berhenti mendadak, membuat Pak Wiryo menoleh.
“Kamu kenapa?”
Wijaya menutup mata. Napasnya terengah. “Pak… kalau suatu hari aku harus pergi...”
“Jangan bicara aneh,” potong Pak Wiryo tegas. “Selama kamu di rumah ini, kamu tanggung jawab kami.”
Kalimat itu seperti tambatan. Wijaya mengangguk, meski dunia masih terasa miring.
Sore itu, sebuah mobil asing melintas perlahan di jalan desa.
Tidak berhenti. Tidak bertanya. Hanya melintas—cukup untuk dicatat oleh mata-mata yang selalu waspada.
Dari balik kaca, Natan memperhatikan rumah-rumah yang berderet sederhana. Sawah di kiri-kanan jalan. Padi muda yang bergoyang tertiup angin.
Ia mencatat satu hal: desa ini terlalu tenang untuk orang yang sedang dicari.
Mobil melaju lagi.
Belum sekarang, pikir Natan. Tapi sudah dekat.
Malam kembali turun.
Wijaya duduk di beranda, menatap kegelapan. Lia membawa teh hangat dan duduk di sampingnya. Bahu mereka bersentuhan ringan.
“Aku takut, Mas,” kata Lia pelan. “Bukan karena sawah. Tapi karena kamu.”
Wijaya menoleh. “Takut apa?”
“Takut suatu hari kamu bangun… dan desa ini bukan lagi tempatmu.”
Wijaya tersenyum tipis. Senyum yang tidak sepenuhnya sampai ke mata. “Kalau itu terjadi… aku ingin kamu tahu satu hal.”
“Apa?”
“Waktu aku tidak ingat siapa pun,” ucapnya pelan, “aku ingat bagaimana rasanya ditolong. Dan itu cukup untuk membuatku bertahan.”
Lia menahan air mata.
Di antara mereka, ada kehidupan yang belum diberi nama.
Dan di luar rumah kecil itu, dunia terus bergerak—pelan, rapi, dan tanpa menunggu siapa pun siap.