Indira pikir dia satu-satunya. Tapi ternyata, dia hanya salah satunya.
Bagi Indira, Rangga adalah segalanya. Sikap lembutnya, perhatiannya, dan pengertiannya, membuat Indira luluh hingga mau melakukan apa saja untuk Rangga.
Bahkan, Indira secara diam-diam membantu perusahaan Rangga yang hampir bangkrut kembali berjaya di udara.
Tapi sayangnya, air susu dibalas dengan air tuba. Rangga diam-diam malah menikahi cinta pertamanya.
Indira sakit hati. Dia tidak menerima pengkhianatan ini. Indira akan membalasnya satu persatu. Akan dia buat Rangga menyesal. Karena Indira putri Zamora, bukan wanita biasa yang bisa dia permainkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Tak Terduga
Rangga membuka pintu depan rumah dengan gerakan lelah, bahkan memutar kunci pun terasa berat. Jam menunjukkan pukul sepuluh malam... dua belas jam di kantor dengan meeting marathon, telepon dengan bank, negosiasi dengan calon investor yang akhirnya menolak. Dua belas jam neraka.
Ia masuk dengan langkah gontai, melempar kunci mobil ke meja konsol dengan bunyi keras. Wajahnya kusut, kantung mata menghitam, jenggot mulai tumbuh karena tidak sempat bercukur, kemeja kusut dengan kerah yang terbuka, dasi yang sudah dilonggarkan sejak sore.
"Rangga?" suara Ayunda terdengar dari ruang keluarga. "Kamu baru pulang?"
Rangga tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke ruang keluarga dengan langkah berat, menjatuhkan tubuhnya ke sofa dengan keras. Menutup mata dengan lengan, tidak ingin melihat apapun.
Ayunda duduk di sofa seberang dengan ponsel di tangan seperti biasa, scrolling media sosial. Ia mengenakan dress tidur sutra pink, rambut diikat ponytail tinggi, wajah dengan sheet mask yang membuat ia terlihat seperti hantu.
"Kamu tidak makan malam?" tanya Ayunda sambil melirik suaminya.
"Tidak lapar," jawab Rangga dengan suara serak.
"Oke," Ayunda kembali fokus pada ponselnya. Tidak ada tawaran untuk buatkan makan. Tidak ada pertanyaan lebih lanjut tentang hari Rangga. Hanya... tidak peduli.
Keheningan mengisi ruangan, hanya suara televisi yang menyala dengan volume rendah dan bunyi notifikasi ponsel Ayunda yang sesekali berbunyi.
Akhirnya Ayunda bertanya bukan karena peduli, tapi karena bosan dengan diam-diam. "Kerjaanmu hari ini gimana? Kamu terlihat... berantakan."
"Berantakan?" Rangga tertawa pahit tanpa humor. "Itu understatement, Ayunda."
"Maksudmu?"
Rangga membuka lengannya dari wajah, duduk tegak dengan mata yang terlihat kosong. "Perusahaan ku hampir bangkrut. Kami kehilangan lagi dua investor besar minggu lalu. Bank mulai menagih hutang yang jatuh tempo. Klien-klien mulai ragu dan batalkan kontrak. Dan hari ini, kami coba cari investor pengganti tapi semuanya menolak. Semuanya."
Ayunda menatap suaminya dengan mulut sedikit terbuka. "Se-serius?"
"Sangat serius," Rangga mengusap wajahnya dengan frustrasi. "Papa bilang kalau dalam sebulan kita tidak dapat investor baru, kita harus mulai PHK massal. Dan dalam tiga bulan kalau masih tidak ada perubahan... kita bangkrut. Tutup. Selesai."
"Tapi... kenapa bisa begitu?" Ayunda terdengar panik bukan karena peduli dengan perusahaan, tapi karena peduli dengan gaya hidup mewahnya. "Bukannya perusahaan Pradipta Medika itu cukup besar?"
"Besar tapi tidak stabil," jawab Rangga lelah. "Kita terlalu bergantung pada satu investor besar, Zamora Company. Dan sejak mereka batalkan kerjasama, efek dominonya luar biasa. Investor lain ikut kabur karena takut. Bank jadi tidak percaya. Klien jadi ragu. Dan sekarang... kita terjebak."
Ayunda diam, otaknya yang biasanya kosong kini bekerja keras mencoba memproses informasi. Bangkrut berarti tidak ada uang. Tidak ada uang berarti tidak ada shopping. Tidak ada shopping berarti tidak ada kehidupan mewah yang ia inginkan.
"Jadi... apa rencanamu?" tanyanya dengan hati-hati.
"Aku tidak tahu," Rangga menjawab jujur untuk pertama kalinya ia mengakui ketidaktahuannya. "Aku sudah coba segala cara. Tapi sepertinya tidak ada yang mau invest di perusahaan yang sedang terpuruk."
Keheningan lagi. Lalu tiba-tiba Ayunda teringat sesuatu. "Oh! Aku hampir lupa!"
Ia melompat dari sofa, sheet mask-nya hampir jatuh berlari ke kamarnya di atas. Suara langkah kakinya yang tergesa terdengar keras di tangga. Beberapa menit kemudian ia turun dengan amplop gold di tangannya.
"Ini!" Ayunda menyodorkan amplop itu pada Rangga dengan wajah excited. "Aku dapat undangan ini kemarin dari kurir. Aku lupa kasih tahu kamu."
Rangga menatap amplop itu dengan bingung. "Undangan apa?"
"Undangan ulang tahun Kakek Harto Suryatama," jawab Ayunda dengan bangga. "Keluarga terkaya nomor satu di Indonesia! Om ku, Paman Hendra dia salah satu direktur di perusahaan keluarga Suryatama. Dia yang kasih undangan ini ke kita."
Rangga mengambil amplop itu... amplop dengan seal wax merah dan emboss gold yang sangat mewah. Ia membuka dan membaca undangan di dalamnya. Ulang tahun ke-80 Harto Suryatama. Black tie event. Di mansion Suryatama.
"Dan kenapa kamu baru kasih tahu sekarang?" tanya Rangga dengan sedikit kesal.
"Aku lupa," Ayunda menjawab enteng seolah ini bukan hal penting. "Tapi sekarang kan sudah kamu tahu. Dan ini bisa jadi kesempatan untukmu!"
Rangga mengernyit. "Kesempatan apa?"
"Kesempatan cari investor baru!" Ayunda duduk di samping Rangga dengan excited. "Pesta keluarga Suryatama itu pasti akan dihadiri semua elite bisnis Jakarta! CEO-CEO besar, investor-investor kaya, pengusaha-pengusaha sukses, semuanya akan ada di sana! Kamu bisa networking! Kamu bisa cari investor baru!"
Rangga menatap undangan itu dengan mata yang mulai berbinar. Ayunda benar. Acara keluarga Suryatama adalah acara paling elite di Jakarta, hanya orang-orang terpilih yang diundang. Dan kalau semua orang besar akan ada di sana...
"Ini... bisa jadi kesempatan ku," gumam Rangga dengan harapan yang mulai muncul.
"Bukan hanya itu!" Ayunda melanjutkan dengan semangat untuk pertama kalinya ia terlihat berguna. "Tadi sore aku telefon Om Hendra. Dia bilang... ini rahasia ya... tapi dia bilang kalau pemilik Zamora Company akan datang!"
Rangga tersentak. "Apa? Zamora Company?"
"Iya!" Ayunda mengangguk cepat. "Om bilang pemilik Zamora Company sangat dekat dengan Kakek Harto. Dan untuk ulang tahun yang ke-80 ini, dia pasti akan datang. Om bilang ini kesempatan langka karena pemilik Zamora Company itu sangat misterius, tidak ada yang pernah ketemu langsung!"
Jantung Rangga berdegup kencang. Zamora Company, perusahaan yang membatalkan kerjasamanya. Perusahaan yang membuat investor lain ikut kabur. Perusahaan yang jadi penyebab krisis sekarang.
Tapi juga perusahaan yang bisa menyelamatkan Pradipta Medika kalau mereka mau bekerja sama lagi.
"Kalau aku bisa ketemu pemilik Zamora Company," Rangga berbicara pelan lebih ke dirinya sendiri, "kalau aku bisa ngobrol langsung, jelaskan situasinya, minta kesempatan kedua... mungkin masih ada harapan."
"Exactly!" Ayunda tersenyum lebar. "Ini kesempatanmu, Rangga! Kamu harus datang ke acara ini! Kamu harus ketemu pemilik Zamora Company dan buat dia setuju kerjasama lagi!"
Untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu terakhir, Rangga merasakan harapan. Harapan yang kecil tapi nyata. Harapan yang membuat dadanya tidak sesak lagi.
Ia menatap Ayunda, istrinya yang selama ini hanya bisa mengeluh dan tidak berguna, tiba-tiba merasa... bersyukur. Bersyukur karena untuk sekali ini, Ayunda membantunya.
Tanpa berpikir panjang, Rangga memeluk Ayunda dengan erat. "Terima kasih. Terima kasih, sayang. Ini... ini bisa jadi penyelamat ku."
Ayunda terkejut dengan pelukan tiba-tiba itu tapi kemudian ia tersenyum, membalas pelukan dengan senang. Akhirnya... suaminya menghargainya!
Rangga melepaskan pelukan, lalu mencium kening Ayunda dengan lembut, gesture yang sudah lama tidak ia lakukan. "Kamu menyelamatkan ku."
Ayunda merona, wajahnya memerah di balik sheet mask. Tapi kemudian ia ingat sesuatu. Sesuatu yang penting.
"Rangga," ucapnya dengan nada yang dibuat manja, "kalau perusahaanmu berhasil bangkit lagi... kalau kamu berhasil dapat investor dan semuanya oke lagi... kamu janji ya harus beliin aku apapun yang aku mau."
Rangga menatapnya dengan bingung. "Apa?"
"Aku mau tas Hermes Birkin yang limited edition," Ayunda mulai menghitung dengan jari, "terus aku mau mobil sendiri, Range Rover yang putih, terus aku mau liburan ke Eropa, Paris, Milan, London, terus aku mau..."
"Oke, oke," Rangga memotong dengan tertawa, tawa yang pertama kali setelah lama. "Aku janji. Kalau perusahaan ku bangkit, aku akan beliin kamu apapun yang kamu mau. Deal?"
"Deal!" Ayunda tersenyum lebar, lalu mencium pipi Rangga dengan excited.
Rangga berdiri dari sofa dengan energi baru. "Aku harus prepare. Acara ini Sabtu malam kan? Aku masih punya dua hari. Aku harus buat pitch yang sempurna. Aku harus research tentang pemilik Zamora Company. Aku harus..."
"Relax," Ayunda menarik tangannya. "Sekarang sudah malam. Kamu lelah. Istirahat dulu. Besok baru mulai prepare."
Rangga mengangguk, Ayunda benar. Ia terlalu lelah untuk berpikir sekarang. "Oke. Aku mandi dulu terus tidur."
Ia naik ke kamar dengan langkah yang lebih ringan, masih lelah tapi ada harapan. Ada cahaya di ujung terowongan.
---
Sabtu Malam - Suryatama Mansion.
Mobil hitam Rangga memasuki halaman mansion Suryatama tepat pukul tujuh malam, on time, tidak terlalu cepat atau terlalu telat. Valet parking langsung mendekat saat mobil berhenti di depan red carpet yang terbentang dari gerbang sampai pintu utama mansion.
Rangga turun dengan tuxedo hitam yang sempurna, ia menyewa dari butik mewah karena tidak punya tuxedo sendiri. Rambut ditata rapi ke belakang dengan gel. Sepatu kulit mengkilap. Bowtie hitam terpasang sempurna. Ia terlihat seperti CEO sukses... meskipun dalam hati ia tahu perusahaannya hampir bangkrut.
Ayunda turun dari sisi penumpang dengan gaun merah menyala, gaun mermaid yang ketat di tubuh atas dan melebar di bawah, dengan slit tinggi yang memperlihatkan kaki jenjangnya. Rambut disanggul elegant. Makeup dramatic dengan red lips yang mencolok. Kalung berlian pinjaman dari tante nya berkilau di leher.
Mereka berjalan di red carpet dengan percaya diri, walaupun Rangga sedikit gugup dalam hati. Fotografer yang disewa untuk acara mengambil foto mereka, flash kamera menyilaukan.
"Kamu siap?" bisik Ayunda sambil tersenyum untuk kamera.
"Siap," jawab Rangga, juga dengan senyum yang dipaksakan.
Mereka memasuki mansion, lobby besar dengan chandelier kristal yang megah, dinding marmer putih dengan lukisan-lukisan mahal, dan tamu-tamu yang sudah mulai berdatangan dengan pakaian mewah.
Rangga menyerahkan undangan pada panitia di meja registrasi. "Rangga Pradipta dan Ayunda Larasati."
Panitia wanita muda dengan kebaya elegan mengecek daftar tamu. "Ah ya, Mr. Pradipta. Selamat datang. Silakan masuk. Acara akan dimulai di grand ballroom, ikuti petunjuk arah. Selamat menikmati."
Mereka berjalan masuk lebih dalam melewati koridor panjang dengan karpet merah dan vas bunga besar di setiap sudut.
"Aku lihat Om Hendra dulu ya," ucap Ayunda. "Aku mau sapa dan terima kasih sudah kasih undangan. Kamu mau ikut?"
"Tidak usah," Rangga menggeleng. "Aku mau survey dulu. Lihat siapa saja yang datang. Cari target investor."
"Oke. Nanti kita ketemu di ballroom ya," Ayunda mencium pipi Rangga cepat lalu berjalan ke arah kanan tempat para tamu sedang berkumpul.
Rangga berjalan ke arah parkiran outdoor yang terlihat dari jendela besar, ingin ambil napas sebentar sebelum masuk ke ballroom yang pasti akan ramai.
Ia berdiri di dekat jendela, menatap keluar melihat mobil-mobil mewah yang terus berdatangan. Rolls Royce. Bentley. Ferrari. Lamborghini. Ini benar-benar acara orang-orang super kaya.
Lalu sebuah mobil berhenti yang membuat Rangga membeku.
Rolls Royce Phantom hitam, sangat mewah, sangat elegan. Pintu terbuka. Seorang wanita turun dengan gaun...
Rangga tidak bisa bernapas.
Wanita itu mengenakan gaun midnight blue yang sangat elegan, gaun off shoulder dengan potongan A-line yang mengalir sempurna, dengan detail beaded di bagian atas yang berkilau di bawah lampu. Rambutnya digelung french twist yang sempurna. Anting-anting diamond yang berkilau. Clutch silver dengan detail crystal.
Tapi bukan gaun atau aksesoris yang membuat Rangga membeku.
Itu wajahnya.
Indira.
Istrinya, mantan istrinya? berjalan dengan anggun di red carpet. Di sampingnya, Rani juga turun dengan gaun gold yang stunning.
Mereka berdua tertawa, Indira tertawa dengan lepas, dengan bahagia, dengan cara yang Rangga tidak pernah lihat lagi sejak... lama.
Dan Rangga berdiri di balik jendela, menatap dengan mata yang tidak berkedip, dengan jantung yang berhenti berdetak.
Indira.
Di sini.
Di acara keluarga Suryatama.
Kenapa?
mau bgaimanapun ayunda adlh pelakor.
mau bgaimanapun alasannya ayunda adlh pelakor dan pelakor hrs dpt hukuman juga biar gk tuman dan gk Ada yg niru.
nnti jd kebiasaan mendukung ayunda jd pelakor krn blas dendam.