Liliana, gadis biasa yang sebelumnya hidup sederhana, dalam semalam hidupnya berubah drastis. Ayahnya jatuh sakit, hutang yang ia kira sudah selesai itu tiba-tiba menggunung. Hingga ia terpaksa menikah i Lucien Dravenhart , seorang CEO yang terkenal dingin, dan misterius—pria yang bahkan belum pernah ia temui sebelumnya.
Pernikahan ini hanyalah kontrak selama satu tahun. Tidak ada cinta. Hanya perjanjian bisnis.
Namun, saat Liliana mulai memasuki dunia Lucien, ia perlahan menyadari bahwa pria itu menyimpan rahasia besar. Dan lebih mengejutkan lagi, Liliana ternyata bukan satu-satunya "pengantin kontrak" yang pernah dimilikinya…
Akankah cinta tumbuh di antara mereka, atau justru luka lama kembali menghancurkan segalanya?
Cerita ini hanyalah karya fiksi dari author, bijaklah dalam memilih kalimat dan bacaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon boospie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3 : Kesepakatan
Langit masih setia mengumpulkan awan hitam, derai hujan disertai petir tak kunjung usai sejak sore tadi, payung yang seharusnya menjaga tubuh mungil Liliana dari air hujan tidak sepenuhnya membantu. Hujan kian deras, tetapi gadis itu masih mengantri makanan dipinggir jalan.
Tidak peduli hampir semua bajunya basah, pikirannya terlalu kalut untuk hal hal yang tidak berguna.
Menunggu selama hampir sepuluh menit Liliana mendapatkan makanan itu, genggaman erat diberikan pada sekantong plastik tersebut. Langkah kaki itu dipercepat seiring makin kerasnya suara petir yang terdengar murka diatas sana.
Bajunya basah, dingin mulai menusuk kulit kulit perlahan. Dia berjalan cepat menuju ruangan tempat ayahnya berbaring. Sepi, pendeskripsian yang tepat saat kakinya memasuki ruangan itu. Hanya bunyi bunyi alat medis dan suara beberapa orang yang berlalu lalang, selebihnya hanya perasaan aneh.
"Ayah, haruskah aku menemui pria itu?" tanya dengan lembut sembari menyentuh punggung tangan ayahnya, masih dengan harapan jika tangan itu akan bergerak lagi nantinya.
"Apa yang akan terjadi jika aku berusaha membayar utang itu? apa aku akan seperti ayah saat ini, terbaring layaknya orang mati tapi ayah tidak mati," sambungnya.
Rasa sesak mulai memenuhi dadanya, gadis itu menunduk, "Lili harus apa?"
Suaranya bergetar hingga tangisnya pecah saat itu juga. Ia sendirian, tidak ada yang akan membantu kecuali dirinya sendiri. Detik jam yang bersuara semakin keras, alat medis yang berbunyi semakin menakutkan, ruangan ruangan putih yang tidak ada kebahagiaan disana.
Liliana merogoh saku di roknya mengambil sesuatu disana—kartu nama Lucien.
Beralih pada ponsel, dia mulai mengetik satu persatu nomer yang tertera, pada menu panggilan. Ada sedikit keraguan yang menghentikan jemarinya, beberapa saat terdiam lalu ia menghela napas pelan untuk menetralkan perasaannya yang campur aduk.
Dalam beberapa detik masih belum ada sahutan dari pihak Lucien, sebelum di detik detik dering ponsel berakhir sebuah suara bariton yang memecah lamunan Lilian dalam sesaat.
"Selamat malam, apakah saya berbicara dengan tuan Lucien?"
"Iya selamat malam, dengan siapa saya bicara?"
Liliana menelan ludah susah payah, mendengar suara bariton yang begitu tegas dan dingin membuat ia perlahan gugup untuk menyampaikan maksudnya. Namun tidak ada hal lain selain harus menghadapi semua ini.
"Baik—perkenalkan saya Liliana Montclaire. Saya berbicara atas nama ayah saya, sebelumnya saya sangat berterima kasih atas kesempatan berbicara dengan anda tuan Lucien, saya ingin membahas hal mengenai utang ayah saya dan penawaran yang pernah anda tawarkan pada ayah saya," jelas Liliana dengan penuh keberanian yang sudah ia tekankan.
"Nona Liliana, baiklah. Malam ini anda bisa menemui saya di Le Céleste lantai 49 — Hôtel Lumière Luxury, pusat kota."
Panggilan berakhir secara sepihak oleh Lucien, raut wajah Liliana sedikit kusut seraya memandangi ponsel miliknya, ia sedikit tidak suka dengan respon Lucien yang terkesan tidak sopan. Tapi, bukan hal penting untuk dirinya pikiran, kecuali saat ini juga ia harus pergi bersiap siap.
Jam semakin berputar waktu semakin berjalan, bahkan saat ini sudah hampir larut malam, Liliana harus segera.
"Ayah, Lili pergi dulu ya, nanti Lili minta om Hendra nemenin ayah."
Gadis itupun lagi lagi tidak sempat memakan makanan yang sudah di belinya tadi, ia buru buru pergi.
...~• suddenly become a bride •~...
Suara gaduh yang tercipta itu timbul dari dalam kamar dengan lemari sudah terbuka, banyak pakaian terkapar berantakan diatas kasur juga lantai. Liliana mencari dress yang setidaknya cukup cocok untuk dia pakai ke tempat yang terbilang fancy itu. Jika bukan karena permintaan Lucien, Liliana memilih bertemu di warung penjual mie ayam mungkin.
And got it
Sebuah midi dress berwarna powder blue memberi kesan lembut dan elegan secara bersamaan, dengan aksen pita putih dibagian kedua bahu terlihat lucu tapi tetap formal. Dilemparnya pakaian itu, Liliana beralih menatap wajah dan rambutnya agar terlihat lebih rapi.
Dia tidak akan semengusahakan ini jika pria itu meminta bertemu ditempat biasa, ia hanya menghargai pertemuan mereka. Berpenampilan menarik dan rapi itu sangat diperlukan apalagi tempat itu cukup mewah.
Selang beberapa menit, Liliana menyelesaikan polesan make up terakhirnya, tidak terlalu tebal tapi sudah mempercantik wajahnya. Rambutnya ditata rapi dalam sanggul tinggi di puncak kepala—top knot bun yang tampak sederhana namun anggun. Beberapa helai rambut sengaja dibiarkan terlepas, membingkai wajahnya yang tegas namun lembut.
Dan yang terakhir Liliana memakai heels berwarna nude yang tidak terlalu berlebihan, Perfect.
Lilian segera keluar dari rumahnya, ia pun terpaksa memesan kendaraan online untuk membawanya, tidak mungkin ia memaksakan diri dengan menaiki motor disaat suasana hujan sudah reda ini. Liliana hanya berusaha menghindari masalah meskipun harus mengeluarkan uang.
Dalam setengah jam ia pun sampai ditempat tujuan, Hotel yang menjulang kokoh terlihat hampir menyentuh langit, sangat indah.
Ini pertama kalinya Liliana menginjakkan kaki di hotel paling mewah dikota ini, meskipun kegugupan mulai menghantuinya dirinya Liliana tetap menunjukkan bahwa dirinya percaya diri, dia hanya perlu pelan-pelan, hati-hati dan belajar.
Pelayan berseragam membukakan pintu untuknya. Lobi hotel menyambutnya dengan lantai marmer mengilap, lampu gantung kristal yang menjuntai megah.
Ia menarik napas perlahan, sebelum melangkah ke resepsionis—tempat awal pertemuannya dengan pria yang selama ini hanya dikenal lewat nama: Tuan Lucien.
Petugas resepsionis memeriksa daftar, lalu tersenyum dan berkata, "Silakan naik ke lantai 49, Nona Montclaire. Tuan Lucien telah menunggu Anda di meja pribadi."
Dengan anggukan kecil, Liliana berjalan menuju lift pribadi yang dijaga dua staf hotel. Pintu logam terbuka tanpa suara. Begitu ia melangkah masuk, pantulan dirinya tampak dalam dinding cermin.
Lift bergerak naik perlahan, sunyi, hanya diiringi dentingan musik klasik samar. Di detik-detik itu, ia merasakan dadanya mulai berdebar lebih cepat. Bukan karena takut, tapi karena ia tahu—malam ini bukan sekadar makan malam.
Ketika pintu terbuka di lantai 49, seorang pelayan langsung menyambutnya. "Silakan ikut saya, Nona."
Lorong menuju restoran Le Céleste begitu tenang, dihiasi panel kayu gelap dan lampu dinding bergaya vintage, dan piano klasik mengalun lembut dari kejauhan.
Di ujung ruangan, di meja paling privat yang hanya diterangi cahaya lilin, duduk seorang pria dengan setelan hitam pekat dan sikap tenang yang nyaris dingin. Tatapannya langsung tertuju padanya.
Lucien Dravenhart.
Liliana menegakkan bahu, menahan napas sejenak, lalu melangkah mantap ke arahnya.
Langkah Liliana terdengar halus di atas karpet tebal. Saat ia mendekat, Lucien berdiri dari kursinya, tinggi dan tenang, lalu sedikit mengangguk sebagai bentuk penyambutan.
"Selamat malam," ucap Lucien, suaranya dalam dan tenang, nyaris tanpa ekspresi. "Nona Montclaire, saya berterima kasih Anda bersedia datang."