"Tujuh tahun aku hidup di neraka jalanan, menjadi pembunuh, hanya untuk satu tujuan: membunuh Adipati Guntur yang membantai keluargaku. Aku berhasil. Lalu aku bertaubat, ganti identitas, mencoba hidup normal.
Takdir mempertemukanku dengan Chelsea—wanita yang mengajariku arti cinta setelah 7 tahun kegelapan.
Tapi tepat sebelum pernikahan kami, kebenaran terungkap:
Chelsea adalah putri kandung pria yang aku bunuh.
Aku adalah pembunuh ayahnya.
Cinta kami dibangun di atas darah.
Dan sekarang... kami harus memilih: melupakan atau menghancurkan satu sama lain."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11: PEMBUNUHAN PERTAMA
Tiga hari setelah kematian Marcus.
Alex duduk di depan makam Marcus setiap malam—tidak tidur, tidak makan, hanya menatap batu penanda dengan mata kosong.
Di tangannya, pisau lipat Marcus. Ia membuka dan menutupnya berulang kali, sampai gerakan itu jadi otomatis.
Klik. Klik. Klik.
"Kamu harus bunuh hatimu," bisik Alex, mengulangi kata-kata terakhir Marcus. "Kamu harus jadi monster."
Tapi bagaimana?
Bagaimana seseorang membunuh hatinya sendiri?
Jawaban datang malam itu.
Alex sedang berjalan kembali ke kolong jembatan ketika mendengar tawa kasar dari gang gelap.
"Dasar gelandangan tua bangsat! Pikir bisa lawan kami?"
Suara tendangan. Suara tubuh jatuh. Erangan kesakitan.
Alex berhenti.
Ia mengenali suara-suara itu—Geng Naga Hitam. Preman yang membunuh Marcus.
Sesuatu di dalam dadanya terbakar.
Alex melangkah masuk ke gang itu.
Lima pria berdiri di sekitar seorang gelandangan tua lain yang tergeletak di tanah—wajah babak belur, darah mengalir dari hidungnya.
Salah satu dari mereka—pemimpin geng, pria bertato naga hitam di lehernya—menghitung uang di tangannya.
"Cuma lima ribu? Kau pikir ini cukup untuk bayar perlindungan sebulan?"
"M-maafkan aku... itu semua yang aku punya..." gelandangan itu memohon.
"Kalau begitu kita ambil nyawamu sebagai gantinya."
Pemimpin itu mengangkat kakinya, siap menginjak kepala gelandangan itu—
"Hei."
Kelima preman itu menoleh.
Alex berdiri di mulut gang, wajahnya tertutup bayangan. Tapi matanya... matanya menyala dengan sesuatu yang gelap.
"Kalian yang bunuh Marcus tiga hari lalu, kan?"
Pemimpin itu menyeringai. "Oh, si tua bangsat itu? Iya. Dia pikir bisa lawan kami. Jadi kami ajari dia pelajaran. Sampai mati."
Ia tertawa—tawa yang membuat Alex melihat merah.
"Kenapa? Kau temennya? Mau balas dendam?"
Alex melangkah maju, perlahan, seperti predator mendekati mangsa.
"Iya. Aku mau balas dendam."
Kelima preman itu tertawa.
"Bocah kurus pikir bisa lawan kami berlima? Ayo, coba saja!"
Dua dari mereka maju, mengangkat tongkat baseball.
Alex tidak mundur.
Ia teringat semua latihan dengan Marcus—satu tahun berlatih bertarung, satu tahun belajar cara mematahkan tulang, cara membuat lawan tidak bisa bergerak.
Preman pertama mengayunkan tongkat.
Alex menghindarinya dengan mudah—tubuhnya bergerak otomatis, seperti Marcus mengajarinya.
Ia menangkap pergelangan tangan preman itu, memutarnya dengan keras—
KRAK!
Tulang patah.
Preman itu menjerit.
Alex merebut tongkat dari tangannya, memukul lutut preman kedua—
BRAK!
Lutut hancur. Preman kedua jatuh, menjerit kesakitan.
Tiga preman lain—termasuk pemimpin—menatap Alex dengan mata melebar.
"Bocah ini... bukan orang biasa."
Pemimpin mengeluarkan pisau.
"Bunuh dia!"
Ketiga preman menyerang bersamaan.
Alex bergerak—cepat, brutal, efisien.
Semua yang Marcus ajarkan keluar tanpa ia sadari.
Ia menusuk kaki preman ketiga dengan pisau lipat Marcus—tidak fatal, tapi cukup untuk membuatnya jatuh.
Preman keempat mencoba mencekiknya dari belakang—Alex membanting tubuhnya sendiri ke belakang, menghantam preman itu ke dinding.
Tinggal pemimpin.
Pria bertato naga hitam itu menatap Alex dengan mata penuh ketakutan—ketakutan yang sama seperti yang Marcus rasakan sebelum mati.
"Kau... kau..."
Alex melangkah mendekat, pisau di tangannya menetes darah.
"Kau bilang Marcus pikir bisa lawan kalian. Jadi kalian bunuh dia."
"T-tunggu... kita bisa bicara—"
"Tidak ada yang bisa dibicarakan."
Alex menerjang.
Pemimpin itu mengayunkan pisaunya, tapi Alex lebih cepat—ia menangkap pergelangan tangan pemimpin itu, memutarnya sampai pisau jatuh.
Lalu Alex mendorongnya ke dinding, pisau Marcus di leher pemimpin itu.
"Ini untuk Marcus."
"KUMOHON—"
Alex menusuk.
Pisau menembus tenggorokan pemimpin itu.
Darah menyembur—hangat, merah pekat—membasahi tangan Alex.
Mata pemimpin itu melebar, tangannya mencoba meraih tenggorokannya sendiri, tapi hanya menggenggam udara.
Suara gurgles keluar dari mulutnya—suara tersedak darahnya sendiri.
Lalu tubuhnya jatuh.
Mati.
Alex berdiri di sana, menatap tubuh yang tidak bergerak itu.
Tangan kanannya—tangan yang baru saja membunuh—bergetar hebat.
Pisau jatuh dari genggamannya.
Lalu Alex berlutut.
Dan muntah.
Semua yang ada di perutnya—yang tidak banyak—keluar.
Ia muntah sampai hanya tersisa cairan empedu hijau.
"Aku... aku baru saja membunuh orang..." bisiknya, suaranya gemetar.
Ia menatap tangannya—penuh darah, masih hangat.
"Aku pembunuh. Aku... aku sama seperti mereka. Sama seperti orang yang bunuh keluargaku."
Air mata jatuh—bercampur dengan darah di tangannya.
"Marcus... aku tidak bisa... aku tidak bisa jadi monster... aku masih—"
"Siapa bilang kau monster?"
Alex mengangkat kepalanya.
Seorang pria muda—mungkin usia dua puluh delapan tahun—berdiri di mulut gang. Tubuhnya tinggi, tegap, mengenakan jas hitam meski ini tengah malam. Wajahnya tampan tapi dingin, matanya tajam seperti elang.
Di belakangnya, dua orang berpakaian serba hitam—anak buah.
"Siapa kau?" Alex mencoba berdiri, tapi kakinya lemas.
Pria itu melangkah lebih dekat, mengamati mayat di sekitar Alex—satu mati, empat lainnya tidak sadarkan diri.
"Satu mati, empat lumpuh. Kau lakukan ini sendirian? Dalam waktu berapa lama?"
"Aku... aku tidak tahu... mungkin dua menit..."
Pria itu bersiul—terkesan. "Dua menit untuk kalahkan lima preman geng lokal. Dan kau belum pernah bunuh orang sebelumnya, aku bisa lihat dari caramu muntah tadi."
Ia berjongkok di depan Alex, menatapnya dengan intens.
"Namaku Michael Adriano. Aku... katakanlah aku businessman di area ini."
"Businessman?" Alex menatapnya dengan mata masih basah air mata. "Maksudmu mafia?"
Michael tersenyum—senyum tipis yang tidak mencapai matanya. "Aku lebih suka sebut 'pebisnis alternatif'. Tapi ya, kalau mau jujur, aku bagian dari organisasi yang... tidak sepenuhnya legal."
Ia berdiri, menawarkan tangannya.
"Kau punya bakat, Nak. Bakat yang jarang kulihat. Kau tidak seharusnya jadi gelandangan yang mati kelaparan di jalanan."
Alex menatap tangan itu—tangan yang bersih, tidak seperti tangannya yang penuh darah.
"Aku tidak mau jadi mafia."
"Kenapa? Karena itu jahat?" Michael tertawa pahit. "Nak, kau pikir polisi lebih baik? Pemerintah lebih baik? Mereka semua korup. Mereka semua injak orang lemah untuk kepentingan mereka sendiri."
Ia berjongkok lagi, kali ini lebih dekat.
"Setidaknya di dunia kami, kami jujur tentang siapa kami. Kami tidak berpura-pura jadi pahlawan sambil tikam orang dari belakang."
Alex teringat—polisi yang menutup kasus pembunuhan keluarganya. Mandor yang memotong upah buruh. Kontraktor yang membiarkan Hendro mati tanpa kompensasi.
Mungkin... mungkin dia benar.
"Apa yang kau mau dari aku?" tanya Alex akhirnya.
"Aku mau rekrut kamu. Latih kamu. Buat kamu jadi salah satu algojo terbaik di organisasi kami." Michael berdiri. "Kau dapat uang, tempat tinggal yang layak, makanan setiap hari. Dan yang paling penting—kau dapat kekuatan."
"Kekuatan?"
"Kekuatan untuk balas dendam."
Alex membeku.
Michael tersenyum—kali ini senyum yang lebih tulus. "Kau pikir aku tidak tahu? Kau pikir aku tidak lihat cara kau tatap mayat itu? Itu bukan tatapan pembunuh biasa. Itu tatapan orang yang punya dendam sangat dalam."
Ia melipat tangannya.
"Aku tidak tahu siapa yang harus kau bunuh. Dan aku tidak perlu tahu. Yang aku tahu—kau butuh kekuatan untuk melakukannya. Dan aku bisa kasih kau itu."
Alex menatap tangannya yang penuh darah lagi.
Marcus bilang aku harus jadi monster. Mungkin ini caranya.
"Kalau aku terima... aku harus bunuh orang lagi?"
"Ya," jawab Michael jujur. "Tapi bukan orang baik. Kami bunuh penjahat, pengkhianat, orang yang ngambang organisasi. Kadang... orang yang memang harus mati."
"Dan kalau aku menolak?"
Michael mengangkat bahu. "Kau kembali jadi gelandangan. Mati kelaparan atau dibunuh preman lain. Pilihanmu."
Angin malam berhembus, membawa bau darah yang menyengat.
Alex menatap makam Marcus di kejauhan—batu penanda yang bahkan tidak punya nama.
Marcus mati karena melawan preman ini. Hendro mati karena sistem yang korup. Papa, Mama, Elena mati karena Adipati Guntur.
Semua karena kami lemah. Semua karena kami tidak punya kekuatan.
Alex mengangkat kepalanya, menatap Michael dengan mata yang sudah berubah.
"Aku terima."
Michael tersenyum—senyum puas. "Keputusan yang tepat."
Ia mengulurkan tangannya lagi.
Kali ini, Alex mengambilnya—meski tangannya masih penuh darah.
"Selamat datang di keluarga, Nak. Dari sekarang, kau bukan sendirian lagi."
Dua anak buah Michael menghampiri, membersihkan mayat dan preman-preman yang tidak sadarkan diri.
"Bersihkan ini. Jangan sampai ada jejak," perintah Michael.
Lalu ia menatap Alex.
"Ayo. Aku tunjukkan rumah barumu."
Alex mengikuti Michael keluar dari gang—meninggalkan tempat pembunuhan pertamanya, meninggalkan sisa kemanusiaannya di sana.
Di tangannya, pisau lipat Marcus—sekarang penuh darah.
Dan di hatinya, kebencian yang semakin membara.
Ini baru awal, Adipati Guntur. Aku akan datang untukmu. Mungkin bukan sekarang. Tapi suatu hari nanti.
Dan kau akan merasakan sakit yang sama seperti keluargaku rasakan.