Raska adalah siswa paling tampan sekaligus pangeran sekolah yang disukai banyak gadis. Tapi bagi Elvara, gadis gendut yang cuek dan hanya fokus belajar, Raska bukan siapa-siapa. Justru karena sikap Elvara itu, teman-teman Raska meledek bahwa “gelar pangeran sekolah” miliknya tidak berarti apa-apa jika masih ada satu siswi yang tidak mengaguminya. Raska terjebak taruhan: ia harus membuat Elvara jatuh hati.
Awalnya semua terasa hanya permainan, sampai perhatian Raska pada Elvara berubah menjadi nyata. Saat Elvara diledek sebagai “putri kodok”, Raska berdiri membelanya.
Namun di malam kelulusan, sebuah insiden yang dipicu adik tiri Raska mengubah segalanya. Raska dan Elvara kehilangan kendali, dan hubungan itu meninggalkan luka yang tidak pernah mereka inginkan.
Bagaimana hubungan mereka setelah malam itu?
Yuk, ikuti ceritanya! Happy reading! 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Istri Di Atas Kertas
Nata duduk di tepi ranjang, bahunya menurun seolah menanggung beban bertahun-tahun yang tak pernah benar-benar ia lepaskan. Di atas nakas, sebuah bingkai foto berdiri rapi. Terlalu rapi, seakan ia memaksa dunia tetap sama seperti saat wanita itu masih hidup.
Dengan gerakan perlahan, hampir khidmat, Nata mengusap permukaan kaca bingkai itu. Hela napasnya tertahan.
“...Sampai detik ini,” bisiknya parau, “aku masih mencintaimu.”
Cahaya kamar temaram. Garis wajah Nata tampak lebih tua dari usianya, bukan karena umur, tapi karena penyesalan yang mengikis perlahan.
“Tak sedikit pun perasaan ini luntur.” Bibirnya bergetar, menahan gumpalan emosi yang menekan dada. “Apalagi hilang. Kau tetap satu-satunya di hatiku.”
Ia menunduk, jemarinya mengetuk bingkai pelan, seperti mengetuk pintu masa lalu yang tak bisa kembali.
“Maaf… aku gagal membahagiakanmu.”
Keheningan jatuh.
Nata bangkit perlahan menuju kamar mandi. Suara keran dibuka, air mengalir deras. Ia menciduk air dan mencuci wajahnya, berharap dinginnya mampu memadamkan gejolak yang selama ini ia kubur dalam-dalam.
Saat ia menatap cermin, pantulan dirinya menatap balik dengan mata yang tampak kosong seperti pria yang telah lama berhenti memaafkan dirinya sendiri.
Ia mengembuskan napas panjang. “Sudah cukup,” gumamnya, entah kepada siapa.
Namun saat keluar dari kamar mandi, langkahnya terhenti mendadak.
Seseorang berdiri di dekat ranjang. Tepat di depan foto yang baru saja ia sentuh.
Nata membeku. Urat di rahangnya menegang. Suaranya keluar rendah, dalam, dan dingin seperti baja yang dilayangkan ke tenggorokan musuh.
“Kau.” ia menatap tajam Lisa.
“Pa—”
Belum selesai.
“Sudah kubilang…” suara Nata rendah, dingin, memotong udara. “…jangan pernah masuk ke kamarku.”
Lisa melangkah mendekat satu langkah. Matanya berkilau bukan oleh air mata, tapi luka yang terlalu lama ditahan.
“Aku istri sahmu.” Suaranya bergetar. “Kenapa aku tidak boleh masuk ke kamar suamiku sendiri?”
Nata menatapnya, lurus, dingin, tanpa ragu.
“Karena kau hanya istri… di atas kertas.”
Kata-kata itu jatuh. Bukan seperti pisau. Tapi seperti palu. Menghancurkan.
Lisa tertawa kecil, nyaris tercekat.
“Delapan belas tahun,” gumamnya.
“Delapan belas tahun aku berdiri di sampingmu. Setia. Patuh. Diam. Menelan luka sendirian…”
Ia melangkah lebih dekat.
“Dan kau tak pernah sekalipun menoleh padaku?”
Nata menjawab tanpa emosi.
“Karena aku tak pernah mencintaimu.”
Lisa terdiam.
Namun Nata belum selesai.
“Hatiku telah kuberikan pada satu wanita.” Nadanya pelan… tapi mutlak. “Ibu Raska.”
Lisa menggeleng putus asa.
“Dia sudah mati tujuh tahun lalu, Nata.”
Tatapan pria itu menggelap.
“Lalu?” Ia mendekat. “Apakah cinta juga mati ketika jasad dimakamkan?” Ia tersenyum miring. “Jangan mimpi.”
Lisa menarik napas tajam.
“Kau masukkan aku ke hidupmu sendiri. Kau yang—”
“Tidak.” Nata memotong. “Kau yang menjebakku.”
Ruang itu terasa menyempit.
“Kau datang dalam keadaan hamil. Kau memaksaku menikahimu dengan ancaman bunuh diri.”
Lisa menggenggam kain gaunnya.
“Kalau saat itu tak ada Roy dalam rahimmu…” tatapan Nata tajam, kejam, jujur “…apa kau pikir aku akan mencegahmu? Menikahimu?”
Lisa terhuyung satu langkah.
“Sejak awal aku sudah mengatakan satu hal.” Nata mendekat. “Kau hanyalah istri di atas kertas.”
Lisa menggertakkan giginya.
“Dia bunuh diri karena merasa tak layak untukmu! Dia tercemar! Dia terno—”
“DIAM!”
Teriakan itu mengguncang dinding. Rahang Nata mengeras.
“Bagaimanapun keadaannya… aku tetap mencintainya.”
Udara berhenti. Dan kemudian, suara Nata turun. Lebih gelap. Lebih pekat.
“Dan jangan pikir… aku tidak tahu.”
Lisa menegang.
“Kau.” Nata menunjuk. “Kau yang menyewa pemuda itu. Kau yang memberinya obat. Kau yang menghancurkan istriku.”
Lisa mundur setapak. Wajahnya memucat, tapi cepat ia susun.
“Apa maksudmu? Dia selingkuh! Dia tidur dengan berondong karena cemburu padaku!”
Nata terkekeh dingin. “Omong kosong.” Ia menghadap penuh. “Aku menyelidikinya.”
Suara Nata jatuh pelan, tapi berat. Seperti batu yang dilempar ke danau yang terlalu dalam.
“Semua terungkap… sebulan setelah pemakamannya.”
Ia menunduk sedikit. Napasnya pecah di tenggorokan.
“Pemuda itu… bersih. Dia tidak pernah mengenal istriku. Tidak pernah menyentuhnya karena kemauan sendiri.”
Jeda. Sunyi.
“Dia… hanya alatmu.”
Nata mengangkat wajahnya perlahan. Tatapannya lurus ke Lisa, dingin, kosong, tapi penuh luka.
“Kau pakai uangku… untuk menjebak istriku.”
Suaranya retak.
“Sayangnya… pemuda itu mati tertabrak mobil… sebelum sempat kuserahkan ke polisi.” Matanya mengeras. “Kalau tidak… kau sudah membusuk di penjara sekarang.”
Lisa bergidik.
Sebulan.
Jadi sejak sebulan setelah wanita itu mati… Nata sebenarnya sudah tahu semuanya.
Itulah sebabnya sikapnya membeku. Itulah sebabnya uang bulanannya dipangkas. Itulah sebabnya tiap napas di rumah ini terasa seperti hukuman.
Tapi Lisa tetap berdiri. Tidak runtuh. Tidak meminta maaf.
“Apa pun itu…” suaranya bergetar, tapi bukan karena takut, lebih karena harga diri yang dilukai. “Aku tetap istri sahmu. Ibu dari anakmu.”
Ia menuding dinding yang penuh foto wanita lain.
“Dan kau hidup dengan bayangan wanita yang sudah mati…” Nada suaranya meninggi, nyeri: “…sementara aku masih hidup. Masih bernapas. Masih di sini.” Ia tertawa pelan. Pahit. Retak. “Dan kau memperlakukanku… seperti aku tidak ada.”
Sunyi. Lama. Lebih berat dari pertengkaran.
“Aku tidak minta cintamu,” suara Lisa pecah pelan. “Aku cuma ingin… diakui.”
Nata menatapnya. Lama. Dingin. Dan berkata:
"Jangan harap. Keluar.”
Lisa mundur selangkah. Lalu berbalik menuju kamarnya tanpa menoleh lagi.
BRAK!
Pintu kamarnya ditutup keras. Bukan sekadar suara, tapi ledakan amarah yang tertahan bertahun-tahun.
Napasnya naik turun. Dadanya sesak.
“Bajingan…” gumamnya lirih, tapi penuh racun.
Ia bersandar ke pintu, matanya bergetar, bukan karena menangis, tapi karena marah yang terlalu lama dipendam.
"Jika bukan karena harta itu…
Jika bukan karena nama besar itu…
Jika bukan karena kekuasaan itu…
Mana mungkin aku bertahan di rumah ini?"
Tangannya mengepal.
Dia hanya diberi uang bulanan secukupnya. Bukan untuk hidup mewah. Hanya cukup untuk bertahan hidup dan terlihat ‘layak’ di mata orang.
Bahkan urusan rumah… bukan di tangannya. Semua dikendalikan oleh orang kepercayaan Nata.
Ke mana ia pergi, selalu ada mata yang mengawasi. Setiap langkahnya terasa seperti berada di dalam sangkar emas.
Lisa tertawa pelan. Tawa yang terdengar lebih seperti suara orang terluka.
“Kalau aku punya uang lebih… aku sudah sewa orang buat habisin dia.”
Ia melangkah ke meja rias. Memandangi perhiasan mahal. Tas-tas branded yang selalu dipakainya di depan para sosialita. Tapi semua itu bukan miliknya.
Yang menyimpan?
Orang Nata.
Yang mengatur?
Orang Nata.
Yang mengawasi?
Orang Nata.
Ia tak bisa menjual satu pun tanpa sepengetahuannya.
Eighteen years.
Delapan belas tahun hidup… di rumah yang terasa lebih mirip penjara mewah. Tangannya naik ke rambutnya, menariknya frustasi.
“Aku pikir setelah wanita sialan itu mati… aku bisa menggantikan posisinya.”
Ia tertawa lirih, tapi matanya penuh amarah.
“Tapi nyatanya… dia memperlakukanku lebih buruk dari sebelumnya.” Senyumnya berubah retak. “Oh… jadi ini alasannya?”
Ia mengingat perkataan Nata.
"Hatiku hanya milik ibu Raska."
Sebulan sejak ibu Raska meninggal, uang bulanannya dipotong. Gerak dibatasi. Hidup dikontrol. Sekarang ia tahu alasan dibalik semua itu.
“Kau menghukumku pelan-pelan ya, Nata?”
Lisa meraih bantal.
BRUK!
Dilempar ke arah dinding. Tidak memantul keras. Tidak pecah. Seperti kemarahannya, besar, tapi tak bisa ke mana-mana.
Ia meremas rambutnya. Dadanya naik turun.
“Aku pikir… aku menang.” Bisiknya pecah. “Ternyata aku cuma jadi tahanan… di rumah laki-laki yang tak pernah mencintaiku.”
...🌸❤️🌸...
Next chapter...
“Beraninya lo deketin Raska,” ucap Bella datar, tapi nadanya mengandung ancaman level bencana alam.
“Apa hidup lo kurang drama, hah?!”
Elvara mengangkat wajah perlahan.
To be continued
Pak Nata mengenal Asep, Vicky, dan Gayus. Mereka bertiga tidak mengenal pak Nata, papanya Raska.
Ketika pak Nata mendatangi mereka bertiga yang sedang makan cilok di taman belakang sekolah, tak tahu Om itu siapa. Baru setelah pak Nata memperkenalkan diri - menyebut nama, mengatakan - ayahnya Raska, ketiganya langsung kaget.
Ngomong-ngomong Raska-nya kemana ini. Apa sedang duduk berdua dengan Elvara ?
Lisa ini perempuan nggak benar, melihat sejarahnya menikah dengan pak Nata.
Sebagai seorang ibu juga membawa pengaruh negatif bagi Roy, anaknya. Pantaslah Roy kelakuannya nggak benar. Turunan ibunya.
Tolong kembali Elvara.. 🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻
ya beda donk hasil dari anak wanita tercinta..
tapi dasar kamu dan emak mu sama sama gak tahu diri...
anak pertama yang seharusnya jadi raja malah terusir dari rumah sendiri...
itu pun kamu gak tahu diri juga