Bukan pernikahan kontrak! Satu atap selama 3 tahun hidup bagai orang asing.
Ya, Aluna sepi dan hampa, mencoba melepaskan pernikahan itu. Tapi, ketika sidang cerai, tiba-tiba Erick kecelakaan dan mengalami amnesia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon erma _roviko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Anniversary sunyi di meja makan
Pukul 22:30
Di kediaman megah keluarga Wijaya, keheningan bukanlah tanda kedamaian, melainkan sebuah pertanda akan kehancuran yang tak terhindarkan. Jam dinding di ruang makan utama berdentang pelan, tetapi bagi Aluna, dentangan itu terasa seperti palu godam yang menghantam sisa-sisa harapan rapuh di hatinya.
Meja makan marmer putih yang terlalu besar itu kini terasa seperti panggung teater yang sepi. Dua kursi mewah bersisian, namun hanya satu yang terisi.
Aluna duduk di sana, dikelilingi oleh kemewahan yang dingin dan tidak bersahabat.
Di tengah meja, lilin beraroma sandalwood yang mahal telah membakar habis sepertiga tubuhnya, meninggalkan jejak air mata yang kaku dan panjang. Cahaya temaramnya memantul pada lapisan minyak truffle yang kini membeku di atas piring yang disiapkan Aluna dengan tangan sendiri.
Aluna menyandarkan punggungnya pada kursi. Gaun malam sederhana berwarna deep emerald yang ia kenakan sudah terasa dingin di kulitnya. Gaun itu adalah hadiah dari Erick lima tahun lalu, jauh sebelum kebekuan ini terjadi, di masa-masa di mana tatapan mata Erick masih terasa hangat.
Malam ini, ia memakainya lagi, ia mengangkat gelas kristal berisi wine merah. Aroma anggur yang seharusnya memabukkan itu kini terasa hambar, bercampur dengan aroma dinginnya rumah yang terlalu sunyi.
“Mungkin lalu lintasnya padat. Mungkin rapatnya mundur. Dia pasti ingat, ini yang ketiga,” bisiknya pada udara yang dingin, monolog yang sudah menjadi pertahanan diri terakhirnya.
Sudah tiga tahun. Tiga tahun penuh dengan perayaan sunyi, makan malam yang mendingin, dan janji-janji yang hanya ia tepati sendiri. Ia tidak pernah lelah mencari pembenaran atas keacuhan Erick.
Pernikahan mereka, yang dimulai dengan harapan gila Aluna untuk mencairkan hati pangeran es bernama Erick, kini hanya menjadi sebuah kesepakatan bisnis yang melibatkan alamat rumah yang sama.
Ia memejamkan mata. Sekilas, ia teringat saat mereka berkencan tujuh tahun lalu. Erick tidak pernah puitis, tetapi ia pernah mengiriminya seikat mawar putih dengan catatan pendek yang hanya berisi dua kata.
‘Milikku, selamanya.’
Kata-kata itu kini terasa ironis, sebab Aluna merasa paling tidak dimiliki saat ini, bahkan oleh dirinya sendiri. Pria yang berjanji memilikinya, kini memilih untuk hidup sebagai orang asing.
Pukul 23:45
Waktu berdetak mendekati tengah malam, dan Aluna merasakan ketegangan menjalar dari leher hingga ujung kakinya. Ia menahan nafasnya, seolah menahan nafas bisa menghentikan waktu.
Ia mengambil garpu, menusuk potongan kecil daging yang sudah dingin itu, dan menggigitnya.
Rasanya tawar, tanpa sari. Makanan yang seharusnya menjadi perayaan itu kini menjadi pengingat yang menyakitkan betapa dinginnya kenyataan yang ia hadapi.
Di jam-jam ini, ia seharusnya tertawa dan berbagi cerita, bukan mengunyah sisa-sisa harapannya.
Ia menggeser ponsel di sebelahnya. Layarnya masih gelap. Tidak ada notifikasi. Tidak ada pesan minta maaf atau janji palsu. Hanya keheningan yang mematikan.
Amarah sudah lama meninggalkannya, yang tersisa hanyalah keputusasaan yang sunyi dan kelelahan yang luar biasa. Ia adalah wanita yang berjuang untuk mempertahankan sesuatu yang suaminya sendiri sudah lama lepas tangankan.
23:58
Aluna melihat ke arah jam. Jika dua menit ini berlalu, maka hari ini, tanggal ulang tahun pernikahan mereka, akan mati.
Tepat pukul 00:00, dentangan jam dinding terdengar lebih nyaring, seolah mengumumkan kematian tanggal itu.
Hari telah berganti. Ulang tahun ketiga mereka resmi terlewat.
Aluna menunduk, bahunya merosot.
Ia berdiri, mengambil lilin yang meleleh itu, dan meniup apinya satu per satu. Ia tidak ingin lagi ada api, api hanya akan berakhir menjadi abu, seperti sisa-sisa cinta yang ia pertahankan.
Tepat saat Aluna hendak membawa piring-piring itu ke dapur, suara yang memecah keheningan rumah terdengar.
Bukan suara telepon, bukan bel pintu, melainkan suara gesekan ban mobil mahal Erick di jalan masuk.
Jantung Aluna, yang tadinya hampir beku, tiba-tiba memompa cepat, sebuah reaksi refleks tubuh yang tak bisa ia kontrol.
“Dia datang.”
Ia segera meletakkan kembali piring-piring itu, sedikit berantakan di meja. Ia berusaha keras menenangkan detak jantungnya. Ia tidak ingin terlihat putus asa. Ia harus mempertahankan martabatnya.
Pintu utama terbuka. Sosok Erick muncul di ambang pintu, tampak seperti model yang baru saja selesai sesi pemotretan. Jas hitamnya masih sempurna, dasi sutranya sedikit longgar, rambutnya tersisir rapi. Ia tidak terlihat kusut atau terburu-buru, yang berarti ia tidak pernah berusaha untuk datang lebih awal.
Ia menutup pintu perlahan. Ia tidak melihat ke arah ruang makan yang diselimuti bayangan lilin yang baru saja padam. Ia berjalan lurus, langkahnya terarah dan dingin, menuju lift pribadi yang membawanya langsung ke ruang kerja di lantai atas. Ruang kerja yang telah menjadi pulaunya sendiri selama tiga tahun ini.
Erick hampir melewati ambang ruang makan ketika Aluna mengumpulkan seluruh sisa keberaniannya.
“Erick,” panggil Aluna. Suaranya pecah, lebih lembut daripada yang ia inginkan.
Erick menghentikan langkahnya. Ia tidak langsung berbalik, ia hanya memiringkan kepalanya sedikit, seolah suara Aluna hanyalah gangguan kecil di tengah pikirannya yang sibuk.
“Ada apa, Aluna?” tanyanya, nadanya datar, tanpa emosi, tanpa kehangatan.
Aluna menggigit bibir, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Tidak ada gunanya marah. Kemarahan tidak akan pernah menembus dindingnya.
“Aku sudah menyiapkan makan malam,” kata Aluna, berusaha keras menunjuk ke meja yang berantakan itu. “Aku... menunggumu. Kita punya…”
Aluna terdiam, tidak sanggup mengucapkan kata anniversary. Ia berharap Erick sendiri yang akan mengucapkannya.
Erick akhirnya berbalik. Tatapannya yang tajam menyapu Aluna dan kemudian meja makan dengan cepat. Mata itu dingin, meneliti, tetapi kosong dari pengakuan.
“Acara apa ini?” tanyanya. Kalimat itu adalah pisau yang menghunus Aluna. “Kau memasak lagi? Aku sudah makan malam dengan klien di luar. Aku sangat lelah.”
Ia mendekati meja, mengambil tas kerja yang ia letakkan di kursi tadi. Ia tidak memperhatikan piring yang dingin, atau sisa lilin yang meleleh.
“Aluna,” ucapnya, kini sedikit lebih lembut, tetapi itu adalah kelembutan seorang atasan kepada bawahannya.
“Jika kau ada urusan yang ingin dibicarakan, besok saja. Jangan memaksakan hal-hal yang tidak penting saat aku lelah. Jangan membuat drama.”
Drama. Itu adalah kata yang selalu ia gunakan untuk meremehkan perasaan Aluna.
Aluna merasa seluruh darahnya dingin. Rasa sakitnya hilang, digantikan oleh kejelasan yang menusuk. Kata drama meruntuhkan seluruh martabatnya. Itu berarti, baginya, upaya, harapan, dan kesetiaan Aluna hanyalah sebuah sandiwara yang mengganggu kesempurnaan hidupnya.
Ia menatap mata Erick, yang kini sudah berbalik dan berjalan menuju tangga.
‘Aku bukan drama. Aku istrimu. Aku bukan urusan yang tidak penting!’ teriak Aluna dalam hati. Tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya melihat punggung Erick yang menjauh, langkahnya tegas, meninggalkannya tenggelam dalam kesunyian yang ia ciptakan.
Saat Erick menghilang di balik pintu lift, Aluna berdiri di tengah ruangan yang kini terasa memuakkan. Ia meraih pemantik di meja. Kali ini, ia menyalakan korek itu dan membakar kertas kecil yang tadinya ia siapkan, bertuliskan.
‘Happy Anniversary ke-3.’
Sisa-sisa harapan itu kini menjadi abu. Ia berjalan ke kamar tamu. Ia membuka laci, mengambil buku alamat, dan mencari nomor telepon. Tangannya stabil, wajahnya dingin.
Keputusan itu sudah final.
“Besok pagi, aku akan menghubungi pengacara,” bisiknya pada ruangan yang sunyi.
“Aku akan membebaskan diriku dari pernikahan yang hanya berbentuk formalitas ini.”