Nayara dipaksa menghadapi Pengkhianatan menyakitkan dari suaminya, Ardan (Direktur Konstruksi), hanya untuk menyadari bahwa pengusiran itu adalah upaya putus asa Ardan untuk melindunginya dari konspirasi berbasis Hutang Karma masa lalu.
.
.
Didorong rasa cinta yang besar terhadap Ardan , Nayara berpacu melawan waktu memperebutkan 'Kunci Master' ke The Grid, sistem infrastruktur yang dikendalikan secara Biometrik oleh kesadaran seorang anak.
.
.
Setelah menyelamatkan Ardan dari transformasi digital, Nayara menemukan ancaman yang sebenarnya kini merasuki orang terdekatnya, menandakan bahwa perang melawan The Grid baru saja dimulai.
______________
Tolong dibantu untuk like , komen dan follow akun aku ya, bantuan kalian sangat berharga untuk aku🫶
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dgweny, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3. Tatapan Pertama Lagi
Haiii Guys sebelum baca tolong di bantu klik like nya ya sama bolehhh komen nya dan follow nya jangan lupa hihihi. Bantuan kalian sangat berarti buat aku🫶
Happy reading 🌷🌷🌷
...****************...
Musim hujan belum sepenuhnya datang, tapi langit Jakarta sore itu sudah tampak kelabu. Ardan menatap gedung kaca tinggi di depannya - tempat berlangsungnya acara gala bisnis besar yang dihadiri banyak tokoh penting.
Ia mengenakan setelan hitam elegan, dasi disematkan sempurna, namun ada sesuatu di dadanya yang terasa aneh sejak pagi.
Mungkin karena pesan singkat itu.
Mungkin karena nama itu.
Mira.
Sejak malam sebelumnya, pesan mereka berhenti di ucapan singkat:
"Senang kamu masih ingat aku."
Ardan tak membalas lagi. Tapi kini, berdiri di depan gedung penuh cahaya dan suara musik lembut itu, firasatnya terasa tajam - seolah ia akan bertemu dengan sesuatu yang seharusnya tetap terkubur.
Sementara itu di rumah, Nayara sedang duduk di kamar mereka yang setengah remang, menatap layar televisi tanpa fokus. Ia tahu Ardan menghadiri acara malam ini, tapi tak tahu betapa gala itu terasa lebih seperti medan perang antara masa lalu dan masa kini.
Ia berusaha percaya. Ia selalu percaya.
Tapi sejak semalam, perasaan tidak tenang itu tidak mau pergi.
Setiap kali ponselnya bergetar, ia berharap Ardan mengabarinya. Tapi yang masuk hanya pesan promosi dan chat dari Alia.
"Suamimu kelihatan ganteng banget di acara malam ini, Ra! Aku lihat di story salah satu tamu. Keren banget!"
Nayara berhenti menggulir layar.
Dada bagian kirinya terasa menegang pelan.
Ia menatap pesan itu lama - tak tahu harus bangga atau takut.
"Oh ya? Aku belum lihat si," balasnya akhirnya, mencoba terdengar santai.
Namun tangan kirinya tanpa sadar meremas ujung selimut. Ia tahu, sesuatu dalam hati kecilnya sedang berbisik, Ada sesuatu yang akan berubah malam ini.
Lampu-lampu di ballroom berkilau memantulkan warna emas di setiap permukaan. Musik jazz pelan mengalun di antara suara tamu-tamu berpakaian glamor. Ardan berdiri di dekat meja tinggi, memegang segelas anggur, berbincang formal dengan beberapa rekan bisnis.
Namun pembicaraan mereka hanya terdengar samar di telinganya.
Matanya sesekali melirik ke arah pintu masuk yang dijaga dua pramusaji berjas putih. Entah kenapa, bagian itu menarik perhatiannya sejak ia datang.
Dan ketika pintu itu terbuka - waktu seolah berhenti.
Seorang perempuan berjalan masuk, langkahnya tenang tapi penuh percaya diri. Rambut cokelat gelap bergelombang jatuh di bahu, gaun hitam panjang dengan belahan di sisi kanan yang memperlihatkan garis kaki. Senyumnya... senyum yang sama, tapi kini lebih tajam.
Mira Adelia.
Nama itu melintas di kepalanya seperti gema.
Ia tidak banyak berubah. Hanya caranya memandang kini lebih tenang, lebih matang - tapi masih dengan kilatan yang sama: berbahaya, memancing, dan tahu persis efek yang ia timbulkan.
Mira berbicara sebentar dengan seseorang di pintu, lalu pandangannya berkeliling.
Ketika matanya bertemu dengan Ardan, dunia terasa menyempit.
Mereka hanya saling menatap beberapa detik. Tapi di antara keramaian dan lampu kristal, ada percikan halus - semacam nostalgia yang seharusnya tidak ada, tapi menolak padam.
Ardan menelan ludahnya pelan, berusaha menjaga ekspresi tetap tenang.
Tapi Mira tersenyum.
Senyum yang ia kenal. Senyum yang dulu membuatnya kehilangan arah bertahun-tahun lalu.
"Pak Ardan?" suara seseorang di sampingnya membuatnya tersadar.
Rekan bisnisnya, Dimas, menyodorkan kartu nama. "Saya perkenalkan, ini tim dari Lestari Group, mereka-"
Tapi sebelum kalimat itu selesai, suara langkah mendekat.
Mira berdiri di samping Dimas, tangannya terulur anggun.
"Sepertinya kita sudah saling kenal, ya?" katanya lembut, suaranya tetap sama - tenang tapi mengandung sesuatu yang tajam di baliknya.
Ardan diam sepersekian detik, lalu menjabat tangannya.
Hangat. Tapi dingin.
Semua kenangan lama berputar cepat di kepalanya. Malam-malam masa kuliah, tawa, pertengkaran, kata-kata yang tak pernah dituntaskan.
Dan akhirnya - perpisahan yang dulu ia pikir sudah selesai.
"Sudah lama sekali, Mira," ucapnya pelan.
"Lama sekali ya." balasnya, tersenyum. "Kau berubah banyak."
Kata itu seharusnya pujian biasa, tapi bagi Ardan, ada sesuatu di baliknya. Sesuatu yang membuat napasnya sedikit berat - seperti ada pesan tersembunyi di dalam tatapan mata perempuan itu.
Malam berlanjut, musik berganti menjadi lebih cepat.
Orang-orang tertawa, bersulang, berfoto. Tapi bagi Ardan, suara-suara itu seakan teredam. Ia duduk di salah satu sudut ruangan, mencoba menenangkan pikirannya.
Namun dari jarak beberapa meter, Mira masih berdiri - berbicara dengan beberapa tamu, sesekali menatap ke arahnya. Tatapan itu bukan kebetulan.
Setiap kali mata mereka bertemu, Ardan merasa seolah masa lalunya memanggil.
Sampai akhirnya, Mira berpamitan pada beberapa orang dan berjalan mendekatinya.
Langkahnya ringan tapi pasti, seperti seseorang yang tahu arah tujuan tanpa ragu.
"Boleh aku duduk?" tanyanya lembut.
Ardan mengangguk pelan.
Mereka duduk bersebelahan, jarak yang terlalu dekat untuk dua orang yang seharusnya sudah asing.
"Aku nggak nyangka kita akan bertemu lagi di acara seperti ini," ucap Mira.
"Dunia memang kecil," jawab Ardan datar.
Mira menatap wajahnya. "Kau masih sama. Tenang di luar, tapi matamu selalu menyimpan sesuatu yang nggak bisa ditebak."
Ardan memalingkan pandangannya. "Itu dulu."
"Benarkah?" Mira tersenyum kecil. "Kadang, masa lalu nggak benar-benar pergi, Dan. Ia cuma menunggu kita menoleh lagi."
Ucapan itu menggantung di udara, manis tapi menekan.
Di rumah, pada waktu yang sama, Nayara sedang menggulung rambutnya di depan cermin kamar. Di meja rias, lilin aromaterapi menyala lembut, mengisi ruangan dengan aroma lavender.
Ia menatap pantulan dirinya sendiri. Ada senyum di wajahnya, tapi matanya tampak lelah. Di meja, ponselnya bergetar lagi.
"Ra, kamu lihat foto-foto acara itu belum? Ardan satu meja sama tim Lestari Group. katanya dia bakalan di transfer kerja di perusahaan Ardan Ra dan dia cantik banget, loh. Aku ga tau namanya siapa tapi dia seperti familiar, gaya nya keren classy gitu."
Nama itu lagi.
Mira.
Nayara menatap pesan itu tanpa berkedip.
Dadanya terasa bergetar halus - bukan karena cemburu, tapi karena ketakutan yang tak bisa ia jelaskan.
Ia menutup ponsel, berusaha menepis pikiran buruk.
Ardan profesional. Itu cuma acara kerja. Aku nggak boleh berpikir aneh-aneh.
Namun, di sudut pikirannya, sesuatu berbisik lembut:
"Kamu tahu, kan, apa yang terjadi kalau seseorang dari masa lalu kembali?"
Ia menutup mata, menarik napas panjang, dan mencoba tersenyum pada bayangan sendiri. Tapi bahkan senyum itu terasa asing malam ini.
Di ballroom, acara mulai berakhir. Orang-orang bertepuk tangan, sebagian berpamitan.
Mira berdiri, menatap Ardan yang juga bersiap pergi.
"Sampai jumpa, Dan," katanya pelan.
"Ya," Ardan menjawab singkat.
Mira tersenyum samar. "Jangan terlalu lama pura-pura nggak ingin tahu. Aku masih di kota ini. Kalau semesta mau, kita pasti bertemu lagi."
Lalu ia melangkah pergi, meninggalkan aroma parfum mawar lembut yang samar-samar membekas di udara.
Ardan berdiri lama di tempatnya, tak bergerak, tak bicara.
Hanya menatap punggung Mira yang menjauh, dan hatinya bergetar - bukan karena cinta, tapi karena sesuatu yang belum sempat ia pahami: takut.
Dan di rumah yang jauh dari hiruk pikuk pesta itu, Nayara menatap langit-langit kamarnya. Matanya terbuka lebar, menatap gelap, memikirkan senyum suaminya yang sudah lama tak ia lihat.
Di luar sana, bayangan masa lalu baru saja menatap Ardan untuk pertama kali lagi.
Dan tanpa sadar, Nayara baru saja mulai kehilangan sesuatu - bukan karena ia dilepaskan, tapi karena seseorang sudah mulai memanggil dari masa silam.
Bersambung....