Naila hanya ingin kuliah dan menggapai cita-cita sebagai jaksa.
Namun hidup menuntunnya ke rumah seorang duda beranak dua, Dokter Martin, yang dingin dan penuh luka. Di balik tembok rumah mewah itu, Naila bukan hanya harus merawat dua anak kecil yang kehilangan ibu, tapi juga melindungi dirinya dari pandangan sinis keluarga Martin, fitnah, dan masa lalu yang belum selesai.
Ketika cinta hadir diam-diam dan seorang anak memanggilnya “Mama,” Naila harus memilih: menyelamatkan beasiswanya, atau menyelamatkan keluarga kecil yang diam-diam sudah ia cintai.
#cintaromantis #anakrahasia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Cobaan Pertama
Matanya terbelalak saat melihat sosok pria menenteng tas ransel, satu-satunya benda yang menyimpan semua hasil perjuangan selama bertahun-tahun ini.
Tanpa berpikir panjang, Naila menerjang ke depan mendorong pria itu. “Hei, itu tasku!” teriaknya, suaranya menggema di antara deru kendaraan dan jemaah yang sedang melaksanakan kewajiban di dalam mesjid.
Pria itu berhenti sesaat, menoleh kaget, karena ketahuan oleh sang pemilik. Tatapannya tiba-tiba berubah menakutkan, lalu mendorong Naila dengan sekuat tenaga yang membuat Naila terhuyung jatuh tersungkur di atas ubin di teras mesjid.
Dalam kesakitan itu, ia sadar berkas-berkas penting, surat keterangan lulus di kampus negeri jalur SMNPTN, formulir pendaftaran, dan fotokopi ijazah melayang di udara, kemudian tergeletak berserakan.
Lututnya terasa berdenyut, tapi Naila tahu tak ada waktu untuk menjerit. Ia merunduk, merogoh remuk-rebutan kertas putih itu. Setiap lembar yang ia genggam adalah jembatan menuju impian yang tak boleh hilang.
Di saat mencoba menyelamatkan semua berkas penting tersebut dalam beberapa detik, pria perampok itu telah menghilang dalam semerbak hiruk pikuk terminal yang tiada henti diisi oleh masyarakat yang berlalu lalang.
Langkah seakan Naila terhenti, tapi sebelum ia sempat mendongak, sebuah tangan mungil menarik ujung pakaiannya yang telah lusuh hingga hampir menyeret gadis kecil itu ke lantai.
“Adek nggak apa-apa?” Naila secepat kilat menangkap tubuh kecil itu. Gadis berkuncir dua itu duduk terguncang, matanya membulat penuh kaget dan air mata.
“Ma-ma, Ma-ma,” suara lirihnya memecah kepanikan Naila.
Sekian detik kemudian, terdengar hardikan dingin seorang pria yang mungkin ayahnya. “Rindu! Kamu di mana saja? Kamu membuat Papa khawatir!”
Dari sisi lain dinding masjid, seorang pria menggendong bayi mungil, wajahnya datar sedikit semburat kehilangan.
Naila menenangkan diri meski di dalam hatinya kalut, cemas, dan greget ingin mengejar, tapi langkahnya sedang dihalangi gadis kecil. Kini, ia beralih menggandeng tangan si bocah cantik itu dengan cepat.
“Jadi, nama kamu Rindu ya?” tanya Naila sambil tersenyum tipis.
Gadis yang ditanya, terlihat ceria kala digandeng oleh Naila. "Papaaa," soraknya dengan senyuman dalam mata berbinar.
Ia menyerahkan Rindu langsung ke salah satu tangan pria yang menatap tanpa ekspresi.
“Nah, sekarang kamu sudah bersama papa kan? Jangan jauh-jauh main dari papa ya.” Naila melambaikan tangan memberikan senyuman manis kepada gadis kecil itu.
Pria itu menatap Naila beberapa waktu tanpa berkedip. “Terima kasih, Mbak," ucapnya dengan suara datar.
Naila seakan tak mendengar ucapan tersebut telah berbalik langkah, mencoba menebak arah langkah orang yang mengambil tas nya dengan wajah putus asa.
Di saat langkahnya belum terlalu jauh, dengan jelas Naila mendengar Rindu memanggilnya. “Pa-pa ... Ma-ma, Pa?” Suara polos itu hilang di antara hiruk pikuk suasana ramai sekitar.
Naila terus memutar akal, apa yang harus ia lakukan. "Ke mana aku harus mencari tas itu?” gumamnya dalam rasa lelah yang sungguh hebat.
—“krucuuuuk”—
Tiba-tiba perutnya menggerutu lantang seperti alarm kelaparan yang tak bisa ditawar. Dua lembar uang ratusan ribu ini masih utuh di kantong celananya. Teriknya matahari terus mendorong pikirannya yang telah panas karena kejadian tak terduga ini.
"Apakah uang ini cukup untuk perjalanan ke kampus?" Sejenak, Ia tertunduk, memejamkan mata. Dalam diam, ia berdialog kepada Yang Maha Kuasa.
“Ya Allah...
Ampuni hamba yang lemah ini.
Jika ini ujian-Mu mengharap aku tak mudah goyah,
beri lah hamba kekuatan untuk terus berjalan.
Meski tak tahu ke mana harus melangkahkan kaki,
ridhoi setiap niat dan usahaku, ya Rabb.”
Setelah menarik napas panjang, Naila bangkit. Tasnya mungkin telah hilang, tapi tekadnya tak boleh pudar.
“Bismillah...” gumamnya, lalu berjalan menuju jalan utama yang telah hilir mudik diisi oleh kendaraan kota yang padat merayap.
Busway pertama sudah menunggu beberapa puluh meter di depan. Ia berjalan cepat, boots kanvasnya terantuk batu kecil, tapi ia tak mengeluh. Setiap langkah adalah janji: “Aku harus sampai di kampus malam ini.”
Namun, eberapa detik kemudian, perutnya benar-benar meronta tak mampu lagi bila terus diberi jeda untuk diisi. Ia teringat akan rekomendasi Bu Aisyah yang mengatakan: “Ada makanan warteg dengan harga yang sangat terjangkau di dekat halte. Pemiliknya juga sangat ramah. Setiap kali sampai di ibu kota, Ibu pasti singgah ke sana."
Naila memutar kepala mencoba menerka tempat yang dimaksud sang guru. Dan benar, tak jauh dari tempatnya berdiri, ia menemukan sebuah warteg yang terlihat begitu ramai.
Meski sedikit ragu, ia masuk dan segera memesan sepiring nasi putih, ikan goreng, dan sayur bayam. Aroma sederhana itu mampu menyenangkan perutnya yang sudah tidak bisa diajak kompromi.
Saat suapan pertama masuk ke mulut, air mata tiba-tiba menetes. Ia segera menyeka pipinya dengan punggung tangan, mencoba tegar. Ia tak ingin terlihat lemah di depan orang lain dan berpikir untuk mengurangi porsi makan dari biasanya.
“Bu, apa boleh sisa nasiku dibungkus saja?”
Ibu penjual berpikir sejenak, dan melihat raut Naila yang terlihat lelah. Ia mencoba menerka sendiri apa yang baru saja dialami oleh gadis belia yang tentu sangat asing ini.
“Lebih baik nasinya dihabiskan saja. Bude lihat, kamu masih laper. Lagian, kalau dibungkus dalam keadaan seperti ini, nasinya akan basi. Jadi percuma dong?"
Naila sedikit gelagapan karena penjual nasi ini bisa menebak apa yang sedang terjadi padanya. "Jadi, ga bisa dibungkus ya, Bu?" tanyanya canggung menahan malu.
"Habisin aja gih. Nanti Bude bungkus yang baru untukmu.”
Naila telah pasrah dengan pengeluarannya yang tak bisa ditekan. Ia kembali melanjutkan menghabisi isi piring tersebut. Sementara itu si pemilik warung tengah sibuk menyiapkan lauk dan sayur diatur rapi dalam kresek, terpisah kuahnya agar tidak bikin lembek.
Ketika Naila menyerahkan uang seratus ribu, ibu itu menolak. “Simpan saja, Dek. Lain kali saja kamu bayar.”
Hati Naila sesak. Ia teringat keuangan yang memang sangat tipis yang akan digunakan untuk membeli tiket busway, tiket kereta, hingga biaya makan di kemudian hari.
Ibu itu kemudian mengambil sehelai kaos lengan panjang,bekas seragam olah raga mungkin milik anaknya lalu diserahkan pada. Naila.
“Pakai ini jika kamu butuh. Siapa tau bisa sedikit membuatmu lebih hangat.”
Mata Naila berbinar karena haru. “Terima kasih banyak, Bu.” Ucapan itu terengah, ia tak sanggup berkata lebih panjang.
Lampu jalan kota kini mulai menyala satu per satu dan berkelip seakan menyambutnya. Ini menandakan, bahwa ia akan berperang melawan dinginnya malam. Ia pun memakai pakaian olah raga yang diberikan bude tadi, dan memang memberinya sedikit kehangatan.
Dari halte, ia naik busway menuju stasiun, lalu berganti kereta. Malam makin larut saat akhirnya ia memijak gerbang kampus. Gedung-gedung tua bergaris bayangan, sementara masjid kampus berdiri terang di tengah pekarangan.
Dengan napas masih tersengal, Naila menarik pintu mesjid, “Assalamualaikum.”
Suara lembut menjawab dari arah dalam mesjid, “Walaikumsalam.” Beberapa mahasiswa menoleh, lalu kembali khusyuk dengan aktivitasnya.
Di sudut masjid, Naila menyelipkan map berkas ke meja sudut di balik rak mukena, memandang deretan kopiah dan Al-Qur’an yang rapi.
Tanpa baju ganti, ia kembali mengenakan kaos olahraga pemberian ibu warteg. Lalu ia ke toilet, mencuci wajah, dan merapikan rambut. Setelah itu, ia wudhu, salat Isya dengan khusuk berharap setiap ayat dan doa menenangkan hatinya.
Selesai salat, ia membuka nasi bungkus. Betapa laparnya ia, hingga setiap suap terasa seperti oasis di padang gersang. Ia berdoa kecil di dalam hati, lalu memenuhi perutnya. Setelah kenyang, ia menata sarung masjid sebagai selimut. Lampu masjid meredup saat petugas azan telah tertidur sebagai mana mestinya.
Naila menutup mata, merasakan kelelahan teraliri damai. Map berkas di bawah kepala menjadi bantal, dan desah napasnya menyatu dengan dengungan kipas angin. Namun, baru beberapa menit, suara tegas membangunkan.
“Siapa itu? Dilarang tidur di masjid ini!”
^^^Revisi tanggal 15 Mei 2025^^^