"Yang kalian lakukan salah."
Baik Meyra maupun Fero tidak mempedulikan apa yang mereka lakukan itu salah atau benar. Yang mereka tau ialah mereka senang dan puas karena melakukan hal yang mereka inginkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aalgy Sabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eschew Again
——
Seperti janjinya kemarin, Mayra dan Ella akan belajar bersama di rumah Ella. Sekalian sambil bernostalgia dengan masa lalu juga menceritakan hal-hal yang telah terjadi pada mereka selama satu setengah tahun terakhir ini. Banyak yang perlu mereka bicarakan dan keduanya tak sabar untuk itu.
Saking tak sabarnya setelah bel berbunyi, Ella dan Mayra menjadi murid pertama yang keluar dari kelas.
"Kok aku gak sabar ya May?" tanya Ella sambil mengimbangi Mayra yang berjalan dengan cepat.
Mayra menoleh pada Ella, "Kayaknya kita bukan mau belajar bareng deh, kita mau ghibah manjah ini mah."
Ella tertawa pelan. Sebenarnya tak banyak perubahan dalam diri Mayra, bahkan kosa kata yang Mayra gunakan masih sama. Hanya saja Mayra masa kini lebih frontal dan kasar. Itu pandangan Ella sebagai sahabat dekatnya. Mengapa Ella berpikir seperti itu? Karena saat smp dulu mereka sangat dekat hingga tak ada yang ditutupi dari masing-masing. Dari luar mungkin mereka pendiam, tapi bila hanya ada mereka berdua-Ella dan Mayra akan lebih ekspresif.
"Btw, gue bawa mobil. Rumah lo masih sama kan?"
Ella mengangguk.
"Gue rindu soto buatan Ibu."
Ibu, panggilan untuk ibu kandung Ella. Mereka memang sedekat itu. Ibu dan Bapak Ella sudah seperti orang tuanya sendiri. Eh?
Bukannya lu gak pernah ngerasa punya orang tua May? Ayah dan Bunda tak ada untuknya. Bunda sudah tiada sejak ia lahir, Ayahnya masih hidup-tapi ia sendiri tak tahu apa artinya Ayah, jadi yang dialaminya sama saja seperti tak memiliki orang tua? Lalu-
Mayra menggelengkan kepalanya cepat. Jangan sampai jiwa-jiwa melankolisnya bangkit. Itu tidak baik.
"Ell-"
Mayra tak jadi melanjutkan ucapannya saat menyadari wajah Ella yang datar dengan pandangannya yang kosong.
Apakah ucapannya tadi ada yang salah? Atau keadaan yang sudah tak sama? Sepertinya ada yang tidak beres, Mayra akan segera mengetahuinya nanti-
Mayra refleks menepis seseorang yang memegang tangannya tiba-tiba. Ia menaikkan pandangannya ke si wajah pelaku.
Helaan napas keluar dari mulutnya. Ternyata Fero.
"Ell, lo masuk duluan aja ke mobil, ntar gue nyusul," titahnya pada Ella.
Ella langsung menuruti perintah Mayra.
"Lo bawa mobil?"
Mayra mengangguk saja. Tadi pagi mereka tak berangkat bersama, sebenarnya Mayra sengaja menghindari Fero. Saat Fero menelponnta, ia menolak dan saat Fer mengiriminya pesan tak ia baca. Bahkan Mayra sengaja berdiam di apartemen agar Fero berangkat duluan.
"Kenapa?"
Mayra mengangkat satu alisnya. Belum sempat ia menjawab Fero kembali bertanya
"Gue gak kenapa-kenapa," ucap Mayra sambil tersenyum yang tidak sampai ke matanya.
Fero menghela napas. Setidaknya Mayra sudah tersenyum padanya. Itu lebih baik.
"Sekarang lo mau kemana?"
Dengan tenang Mayra menjawab. "Gue mau belajar bareng di rumah Ella."
Padahal tadinya Fero ingin mengajak Mayra jalan-jalan. Tapi ternyata Mayra sudah punya acara sendiri, ia tak boleh egois. Selain menjadi pacarnya, Mayra juga sahabat orang lain.
"Kalau gitu hati-hati, jangan pulang malem, apalagi lo nyetir. Kalau perlu telpon gue buat jemput, oke?"
Mayra mengangguk. Kenapa ini terasa nyata? Bolehkah ia berharap demikian?
Fero mengelus kepala Mayra dengan lembut. "Ya udah sana."
Mayra melempar senyum sebelum memasuki mobil.
"Kamu ada masalah sama Fero?"
Mayra mengedikkan bahu acuh.
"Kalau punya masa mending diselesain bareng-bareng. Kalian ngejalin hubungan sama-sama berarti semuanya harus ssama-sama."
"Kalau gue bab, dia juga ikut gitu?"
Sungguh pertanyaan retoris.
Ella mengibaskan tangannya. "Bukan gitu konsepnya Mayra. Jangan pura-pura gak tau, aku yakin kamu tau maksu aku."
"Lo nasehatin gue, emangnya lo punya pacar?" Tanya Mayra sarkas.
Ella tak menjawab.
Mayra tersenyum jail, "Cieeee ... udah punya pacar. Siapa neh?"
Pipi Ella bersemu merah tanpa sadar.
——
Cklek
"Baru inget pulang kamu?"
Mayra memutar bola matanya jengah. Rasa-rasanya ia sudah membuka dan menutup pintu dengan sangat pelan. Kenapa Mak Lampir ini bias mendengarnya? Apakah telinganya sebesar gajah? Sepertinya begitu ....
"Terserah gue lah," ucap Mayra datar.
Dengan sangat terpaksa ia pulang ke rumah Ayah karene tak ingin bertemu Fero bila pulang ke apartemen. Lagipula ini sudah hamper jam12 pasti para penghuni rumah ini tidur, pikirnya.tapi ternyata salah, Mak Lampir belum tidur. Tumben, biasanya juga udah molor.
Mayra mengedikkan bahu acuh. Duli amat lah, bukan urusan gue juga. Batinnya.
Mayra melepas sepatu miliknya. Ditentengnya kedua sepatu itu di salah satu tangannya. Lalu ia berlalu dari sana dan tak memperdulikan ocehan ibu tirinya itu. Bacotannya itu cuman bikin lu keki dan gak guna. Alangkah baiknya jangan lu ladenin.
"Habis dari mana kamu Mayra?"
Sial. Apalgi ini?
"Kepo."
Mayra tak lagi mengacuhkan kedua pasangan suami istri itu, ia melanjutkan perjalanannya ke kamar. Ya, perjalanan. Karena untuk menuju ke sana ia membuthkan banyak perjuangan-dengan melewati mereka berdua yang selalu membuatnya naik pitam. Bagaimana kedua adiknya bias tahan dengan keduanya di rumah ini? Ah, iya Mayra lupa. Mereka bersikap menyebalkan hanya padanya, tidak pada kedua adiknya.
Kadang ia bertanya-tanya untuk apa Kris menikahi Ibunya jika pada akhirnya memilih bersama mantan tunangannya itu. Bukankah hal itu hanya menghancurkan hidup Ibunya saja? Jangan lupakan juga Mauren harus meregang nyawa demi melahirkan anak dari Kris, tapi dengan kurang ajarnnya ayah biologisnya itu malah menikah lagi dengan wanita lain yang merupakan mantannya. Dimana Ayahnya belajar bersikap brengsek seperti itu? Semoga saja ia tak pernah bertemu spesies semacamnya-
Apa kamu lupa Mayra? Siapa orang yang kamu hindari saat ini? Bukankah dia juga termasuk spesies brengsek tak tahu diri?
Apakah ia akhirnya harus meninggalkan sebelum ditinggalkan demi wanita lain seperti ibunya?
——
Ada yang salah, pasti ada sesuatu yang terlewatkan olehnya. Tapi apa?
Fero memegang rambutnya kasar. Ia frustasi dengan semua keadaan ini. Kenapa menjalin hubungan bisa serumit ini? Apakah ini yang dirasakan semua kaum adam di luar sana?
Tino dan Ephen sudah memberinya petuah tentang betapa rumitnya seorang wanita, iapun menurut pada keduanya. Saat wanita sedang dalam mood tidak baik, lebih baik acuhkan saja atau nanti kaum hawa itu akan semakin menyebalkan dengan semua tingkahnya. Benarkan?
Nyatanya ia tak bisa bersikap acuh seperti yang Tino katakan. Ia terlalu bingung dengan segala sikap Mayra yang berubah-ubah. Dalam benaknya timbul sebuah pertanyaan, apakah ia benar-benar sudah mengenal Mayra? Atau ia terlalu cepat mengambil kesimpulan tentang perasaanya?
Tidak. Ini sudah benar, mungkin Mayra sedang badmood sehingga mengacuhkannya begitu saja.
Mayra juga butuh waktu bermain bersama temannya. Karena dunia Mayra bukan hanya tentangnya. Seperti dirinya yang mempunyai banyak kegiatan di luar dirinya sebagai kekasih Mayra-
Wait ....
Fero baru ingat. Saat hari dimana dirinya mengajak Mayra berpacaran, Mayra menolaknya. Apakah ini maksud Mayra?
Lalu kenapa sebelumnya Mayra tak bersikap seperti ini, jika dari awal tak mau menjalin hubungan dengannya. Bukankah ini sama saja dengan mempermainkan dirinya?!
Sialan!
——