Laura tidak pernah membayangkan pernikahannya akan terasa seperti penjara. Nicholas, suaminya, selalu sibuk, dingin, dan jauh. Di tengah sunyi yang menusuk, Laura mengambil keputusan nekat-menyewa lelaki bayaran untuk sekadar merasa dicintai.Max hadir seperti mimpi. Tampan, penuh perhatian, dan tahu cara membuatnya merasa hidup kembali. Tapi di balik senyum memikat dan sentuhannya yang membakar, Max menyimpan sesuatu yang tidak pernah Laura duga.Rahasia yang bisa menghancurkan segalanya.Ketika hasrat berubah menjadi keterikatan, dan cinta dibalut bahaya, Laura dihadapkan pada pilihan: tetap bertahan dalam kebohongan atau hancur oleh kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky Rahm, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lelaki Buaya
Laura memandang kosong ke luar jendela sebuah kafe kecil di tengah kota. Malam itu seharusnya menjadi perayaan ulang tahun pernikahannya yang ke-5 dengan Nicholas, tapi ia justru duduk sendirian, ditemani secangkir kopi dingin yang hampir tak tersentuh. Nicholas bahkan tidak repot-repot pulang untuk sekadar mengucapkan selamat, apalagi makan malam bersama.
Ia merapikan gaun hitam elegan yang dikenakannya, merasa ironis karena bersusah payah berdandan hanya untuk menghabiskan malam sendiri. Hati Laura penuh kekecewaan dan kemarahan yang ia sembunyikan di balik senyuman pahit.
Suara derit pintu kafe memecah kesunyian. Seorang pria tinggi dengan jas panjang warna antik besi masuk, rambut hitamnya berantakan diterpa angin malam. Matanya—biru pucat seperti es yang retak. Tanpa ragu, pria itu melangkah mendekat, aroma kayu cedar dan tembakau mewah memenuhi ruang di antara mereka sebelum ia bahkan membuka mulut.
“Maaf, aku terlambat,” ujarnya, duduk di kursi berlawanan tanpa diminta..
Laura mengerutkan kening, bingung. “Apa kita saling kenal?”
Pria itu tampak terkejut untuk sesaat, tapi kemudian tersenyum. “Nona Clara? Wanita yang membutuhkan ‘teman khusus’ untuk malam ini?”
Seketika, Laura tersedak tawa pahit. Teman khusus. Kata itu menggambarkan ironi hidupnya: seorang istri yang harus menyewa pelipur lara karena suaminya lebih memilih laporan keuangan daripada tubuhnya yang hangat. “Salah orang,” jawabnya, menegakkan postur. “Aku tak membutuhkan layanan semacam itu.”
Pria itu terdiam sejenak, lalu mengeluarkan ponselnya, tampak memeriksa sesuatu. “Nona Clara? Rambut cokelat, gaun hitam elegan, duduk sendirian di sudut kafe—deskripsinya tepat.”
Laura mendengus, setengah kesal, setengah geli. “Aku Laura. Kamu salah orang.
Pria itu memandangnya dengan ekspresi bingung, lalu menyadari kesalahannya. Wajahnya berubah sedikit merah, namun senyumnya tetap bertahan. “Baiklah, sepertinya aku memang salah orang."
"Ya," sahut Laura singkat.
Laura menatap pria itu dengan tajam saat pria itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan beranjak dari sana.
"Tidak ada kursi kosong. Apa kamu keberatan jika aku menunggu temanku di sini."
Laura memendarkan pandangannya, pria itu tidak berbohong. Cafe itu full.
"Max," pria itu memperkenalkan diri begitu Laura mengembalikan tatapannya pada wajah pria itu. "Jadi namamu, Laura."
Laura hanya menganggukkan kepala, lalu memilih diam. Ia bukan teman ngobrol yang asik, itulah yang sering dikatakan orang-orang, termasuk suaminya sendiri.
"Sendirian?" Laura mengangkat tatapannya saat mendengar pertanyaan pria itu.
"Tidak, aku menunggu seseorang." Ia sengaja berbohong agar Max segera pergi dari hadapannya. Yang ia butuhkan saat ini adalah sendiri, menikmati kesepian dan rasa kecewanya.
"Teman kencan?"
"Hm." Laura berharap Max angkat kaki.
"Aku akan pergi setelah teman kencanmu datang."
Laura bungkam, dia tidak ingin memberi ruang pada pria itu untuk berbicara lebih lanjut.
Setengah jam kemudian, Laura akhirnya mendesah panjang.
"Sepertinya teman kencanmu tidak akan datang malam ini," cara Max menatapnya membuat sekujur tubuhnya merinding.
"Hal yang sama sepertinya juga terjadi padamu," cetus Laura dengan nada malas sambil membereskan barang-barangnya. Sebaiknya dia pulang, dan beristirahat di kamar. Selama apa pun dia di luar, Nicholas juga tidak akan mencarinya. Percuma berharap.
Max tiba-tiba berdiri, membuat Laura reflek mengangkat kepala menatap pria itu. Tampan. Pikir Laura. Laura seketika tertegun saat Max menyunggingkan senyum miring.
"Teman kencanku sudah datang sepertinya," ucap pria itu. Laura memiringkan kepala, menemukan seorang wanita cantik dengan ciri fisik yang sama seperti yang diucapkan Max tadi.
Tanpa mengucapkan satu kata pun, Max beranjak dari kursinya, dengan langkah lebar menghampiri wanita itu.
Laura memperhatikan keduanya saling bertegur sapa sebelum akhirnya berpelukan.
Tanpa sadar, Laura mengamati Max dan teman kencannya sampai keduanya menghilang dari pandangannya, lalu ia pun segera beranjak.
Sampai di rumah, ia mendesah. Tidak menemukan siapa-siapa di sana selain kekosongan dan kesepian yang selalu menemaninya.
Laura langsung naik ke atas kamar. Menanggalkan pakaiannya dan tanpa repot-repot membersihkan riasannya, dia naik ke ranjang, menutupi tubuh dengan selimut. "Happy anniversary, Nick." Ia pun tertidur dengan ditemani air mata.
Keesokan paginya, saat ia membuka mata, dia menemukan Nicholas sudah berpakaian rapi.
"Pagi," sapa suaminya begitu menyadari dia bangun.
Laura turun dari ranjang dan langsung memeluk Nicholas dari belakang.
"Happy..."
"Laura, setidaknya kamu mandi atau membasuh wajahmu dulu. Aku sudah berpakaian rapi."
Nicholas melepaskan pelukan itu seperti menyingkirkan kucing liar. Laura menatap bayangan mereka di cermin: dirinya dengan rambut pirang acak-acakan dan mata bengkak, Nicholas dengan potongan rambut sempurna dan kemeja putih tanpa kusut. Dua dunia yang tak pernah bersua.
Laura menggigit bibirnya, perlahan mundur. "Maaf, Nick."
"Aku ada rapat pagi ini. Aku tidak bisa menemanimu sarapan." Nicholas berbicara sambil berjalan ke arah nakas kecil di samping tempat tidur, mengambil arloji mewah dan memasangnya di tangannya.
Laura menggigit bibirnya lagi, Nicholas melupakan hari pernikahan mereka dan pria itu bahkan tidak memiliki waktu untuk menemaninya sarapan.
"Jam berapa kamu pulang tadi malam?" Laura mengalihkan pembicaraan.
Nicholas berbalik, menatapnya sambil mengerutkan kening, merasa terganggu. "Aku tidak memperhatikannya."
Tidak pernah mendapatkan jawaban memuaskan. Laura menahan diri untuk tidak mendesah kecewa.
"Basuhlah wajahmu, Laura. Ck! Kamu kacau sekali."
"Ya, baiklah," Laura langsung lari ke dalam toilet. Ia meringis saat melihat tampilan dirinya di cermin. Benar-benar kacau.
Lima menit kemudian, dia kembali ke kamar, Nicholas sudah berada di ambang pintu keluar. "Nick, aku sudah selesai," seraya berlari kecil dia menghampiri Nicholas. Di hadapan pria itu, dia berjinjit, mengecup pipi Nicholas dan bibirnya. Dia berharap Nicholas menyambut ciumannya, namun ia tidak mendapatkan apa yang dia inginkan.
Dengan enggan dan sedikit malu, Laura mundur menjauh. "Semoga harimu menyenangkan, Nick."
"Hm." Setelah memberikan gumaman singkat, Nicholas langsung berlalu. Laura kembali menggigit bibirnya, kali ini lebih kuat hingga bibirnya berdarah.
"Tidak boleh cengeng, tidak boleh menangis. Nick tidak suka," lirihnya sambil naik kembali ke atas ranjang.
Laura melirik sisi ranjang yang kosong, tidak ada jejak kehangatan di sana. Masih rapi, tidak ada tanda-tanda ditempati.
Laura menyingkap selimut, ia butuh pengalihan untuk meluapkan rasa frustasinya.
Pagi itu juga, Laura pergi ke gym. Ketika sedang memulai treadmill, ia mendengar suara asing yang menyapanya dengan akrab.
“Pagi, Lau."
Laura menoleh dan menemukan Max berdiri di sebelahnya, mengenakan pakaian olahraga yang terlalu sempurna untuk seseorang yang benar-benar ingin berolahraga.
“Kamu?” Laura mendesis. “Kenapa kamu di sini?”
Max mengangkat bahu santai. “Seperti yang kamu lakukan, aku juga butuh olahraga.” Ia tersenyum, menampilkan senyum angkuh yang sama seperti malam itu di kafe.
Laura memutar matanya. “Gym ini cukup besar. Mungkin kamu bisa pergi ke sisi lain.”
“Tapi aku merasa sisi ini lebih menarik.” Max melompat ke treadmill di sebelahnya, mulai berlari dengan kecepatan santai sambil terus menatap Laura.
Laura mencoba mengabaikannya, tetapi cara Max terus melempar komentar kecil membuatnya kehilangan konsentrasi.
"Berhentilah mengajakku berbicara. Aku sedang tidak ingin berbicara denganmu!" Laura melayangkan tatapan dongkol.
"Max!!" Suara panggilan seseorang membuat mereka menoleh. Seorang wanita cantik, yang berbeda dengan yang di cafe melambaikan tangan pada Max. "Bisa bantu aku, Max."
"Tentu saja. Aku akan ke sana." Max menoleh pada Laura, mengerling nakal sebelum pria itu berlalu.
Lagi, Laura menemukan dirinya diam-diam mengamati Max yang mengajari wanita asing itu, memberikan instruksi dengan sesekali menyentuh wanita itu. "Dasar buaya," Laura memalingkan wajah, memilih menjauhkan Max dari pandangannya.
apakah seila narik uang sepengetahuan Nic?
istri itu hrs patuh sama suami tp patuhnya atuh jangan kebangetan. diselidiki dl kek ntu suami
malangnya Laura