Diselingkuhi sedih? Sudah tidak jaman! Angkat kepalamu, gadis, mari kita balas dendam.
Betari diselingkuhi oleh kekasih yang dia pacari selama tiga tahun. Alih-alih menangis, dia merencanakan balas dendam. Mantan pacarnya punya ayah duda yang usianya masih cukup muda. Tampan, mapan, dan kelihatannya lebih bertanggungjawab. Jadi, Betari pikir, kalau dia tidak dapat anaknya, dia akan coba merebut ayahnya.
Namun ditengah misi balas dendamnya, Betari justru dikejutkan oleh semesta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tentang Melvis Dan Kejadian Hari Itu
Langit Jakarta sudah menggelap dari berjam-jam yang lalu. Akan tetapi, kondisi jalan masih saja padat. Suara klakson menggema di mana-mana, pengendara saling senggol adu bacot, para pengamen dan pedagang asongan berseliweran di sela-sela padatnya kendaraan.
Aldrian Melvis Soehardja ada di sana, menjadi salah satu manusia yang terjebak dalam sibuknya jalanan kota Jakarta. Dia duduk di kursi penumpang belakang, sibuk dengan tab di tangan. Kedua telinganya tersumpal earphone sehingga keributan di luar sama sekali tidak mengusik kegiatannya. Sebagai seorang pemilik perusahaan penyedia jasa konsultan keuangan, dia memang selalu sibuk. Apa pun yang menyangkut pekerjaan akan dia lakukan dengan serius--terkadang cenderung kaku dan terlalu perfeksionis.
Kendati begitu, sebagai manusia biasa di luar pekerjaannya, Melvis hanyalah seorang duda anak satu yang juga ingin sesekali menikmati hidup. Nongkrong di kafe dengan live music, pergi ke bar intimate untuk minum segelas dua gelas wine, pergi ke toko pakaian high end untuk memilih beberapa pakaian kasual, dan kegiatan-kegiatan lain umumnya dilakukan oleh manusia kebanyakan.
Melvis telah menghabiskan masa mudanya menjadi orang tua tunggal setelah istrinya meninggal sewaktu melahirkan, jadi di usia 45 tahun ini, dia ingin sedikit lebih bersantai menikmati hidup. Toh putranya sudah hampir kepala tiga, sudah cukup dewasa untuk menangani banyak hal sendirian. Meskipun terkadang, dia masih kerap menyesali beberapa hal.
“Pak.” Sopir yang mengemudi di depan, memanggil pelan. Melvis geming. Suara lembut sang sopir tidak masuk ke telinganya yang tersumbat. Si sopir pun sedikit menengok ke belakang. Melihat bosnya sedang serius, dia bergerak pelan mengetuk sandaran jok pengemudi untuk menarik perhatian.
“Pak Melvis,” ulangnya. Kali ini berhasil. Melvis mengangkat kepala, menatap sebentar, lalu melepaskan earphone di telinga kiri.
“Macetnya parah nih Pak, mau saya cari jalan alternatif aja?” tanya si sopir.
Melvis mengedarkan pandangan ke luar. Benar saja, semakin banyak kendaraan berjubel dan kesulitan berjalan maju. Dia lalu melirik jam di pergelangan tangan kiri, berpikir sebentar sebelum mengambil keputusan.
“Bisa?” tanyanya balik.
Si sopir mengangguk yakin. “Bisa, Pak. Di depan sana ada jalan tembus yang bisa bawa kita ke jalan utama. Jaraknya memang lebih jauh, tapi kayaknya lebih oke daripada kejebak macet begini.”
Melvis tidak sedang terburu-buru. Besok weekend dan dia tidak harus melakukan sesuatu yang urgent. Tapi tidak bisa dipungkiri, dia sudah lelah seharian berkutat dengan pekerjaan. Berendam di air hangat sepertinya akan menyenangkan.
Jadi,
“Oke, kita lewat sana aja.” Dia memutuskan.
Si sopir mengangguk cepat dan langsung kembali fokus pada kemudi. Begitu mobil berhasil maju sedikit demi sedikit, dia akhirnya berhasil membawa kemudi berbelok ke kiri.
Jalan tembus yang dimaksud sang sopir berada di area perumahan elite yang masih dalam tahap pembangunan. Belum banyak bangunan yang berdiri di sisi kanan dan kiri. Sebagai gantinya, yang mereka temui adalah jalanan berkelok dengan pencahayaan minim, bidang tanah luas berundak dengan rerumputan dan pohon-pohon menjulang tinggi, serta polisi tidur gendut nan lebar setiap beberapa meter.
Melvis tidak protes. Dia percayakan saja urusan perjalanan ini kepada sang sopir yang sudah mengabdi pada keluarganya selama 30 tahun lebih. Dalam beberapa menit, mobil melaju lepas tanpa hambatan. Keputusan sang sopir untuk mencari jalan alternatif tampaknya sudah benar. Atau mungkin... Tidak.
Ketika Melvis hendak melanjutkan pekerjaannya, kaca mobil diketuk berkali-kali. Pelakunya adalah seorang pengendara motor yang berboncengan di sisi kiri mobil. Keduanya mengenakan helm full face sehingga di dalam pencahayaan yang minim, mereka makin sulit dikenali. Keduanya tampak menunjuk-nunjuk ban belakang, memberi isyarat seakan mengatakan, “Pak, bannya kempes!”
Karena ketukan di kaca dan isyarat tak kunjung berhenti, Melvis akhirnya meminta sang sopir untuk menepi. Sekadar memeriksa separah apa kondisi ban mobil mereka dan apakah masih memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan.
Namun, ketika mobil berhenti dan sang sopir baru membuka pintu untuk turun, salah seorang dari pengendara motor tadi tahu-tahu bergerak cepat menyergap sang sopir. Lehernya dipiting, tubuhnya diseret menjauh ke sisi jalan yang berlawanan. Sementara satu orang lainnya juga langsung membuka paksa pintu di sebelah Melvis, sekonyong-konyong menodongkan pisau lipat ke tenggorokannya.
“Turun!” teriak pria itu.
Melvis mengangkat tangannya di udara, menurut saja turun dari mobil daripada lehernya digorok. Posisinya tidak memungkinkan untuk melawan sehingga yang bisa dia lakukan hanyalah berusaha tetap tenang sewaktu si pria menggiringnya menjauh dari mobil dengan pisau lipat tertodong di leher. Bergerak sedikit saja, lehernya sudah bisa dipastikan robek.
“Ambil aja apa pun yang kalian butuhkan, tapi jangan sakiti kami.” Melvis mencoba bernegosiasi.
Di seberang jalan, sopirnya sudah bersimpuh tak berdaya di rerumputan dengan tangan terikat ke belakang. Lalu pria yang meringkusnya tadi terlihat hendak berjalan mendekat.
Namun, baru setengah jalan, pria itu mendadak berhenti bertepatan dengan tumbangnya si teman yang sedang menyandera Melvis. Sebuah tas selempang baru saja mendarat di kepalanya, membuat tubuhnya oleng dan akhirnya jatuh ke aspal.
Gerakan yang spontan dari si pria yang menyanderanya membuat pisau lipat yang dipegang menggores kulit leher Melvis sedikit. Tetapi dia tidak punya waktu untuk merasakan perih di sana karena matanya justru dibuat fokus pada pemandangan yang luar biasa.
Di jalanan sepi antah-berantah, dua orang pria berbadan besar dihajar oleh seorang perempuan yang secara fisik kelihatan lebih lemah. Melvis tak habis pikir melihat sang gadis--yang entah muncul dari mana--menggebuk dua pria itu bergantian menggunakan helm. Sampai kemudian, keduanya berhasil meloloskan diri dan lari terbirit-birit. Motor digas pol, melaju meninggalkan TKP dengan terburu-buru.
“Woy, jangan kabur! Dasar pengecut, beraninya ngancam orang pakai senjata! Sini, kita duel lagi!” teriak si gadis berambut pendek sebahu itu penuh emosi.
Melvis, sambil memegangi lehernya yang tergores, menginterupsi. Katanya, “Mbak, udah, Mbak. Udah jauh itu orangnya.”
Si gadis berbalik menatapnya galak. “Bapak hampir mati, tapi bisa sesantai itu ngomongnya?” todongnya.
“Ya ... Mau gimana lagi? Emangnya kalau saya ikutan emosi, luka di leher saya bisa langsung sembuh?” jawabnya sembari menunjukkan luka gores di lehernya.
Melihat darah merembes dari sana, si gadis membungkam mulutnya. “Oh My God! Kita ke rumah sakit sekarang!” serunya heboh.
Entah mengapa melihat reaksi gadis itu malah membuat Melvis tertawa kecil. Sungguhan, luka di lehernya tidak separah itu. Telat ke rumah sakit tidak akan membuat darahnya habis dan seketika mati, kok.
“Kok malah ketawa?” Si gadis mendelik. “Bapak sikopat, ya? Makanya nggak ada takut-takutnya lewat jalanan gelap begini?” Pertanyaan itu semakin membuat Melvis merasa tergelitik. Kalau dirinya adalah psikopat, lalu gadis di depannya ini apa? Monster?
“Mbak sendiri berani amat lewat sini sendirian, naik motor pula.” Melvis menyerang balik. Matanya melirik sebentar pada motor matic sang gadis yang sekarang sedang rebahan di tengah jalan. Saking bersemangatnya untuk menolong, gadis itu sepertinya sampai membuang motornya begitu saja.
“Saya mah udah biasa lewat sini. Jalur reguler,” sahut si gadis sambil bersungut-sungut. “Jangankan preman, dedemit penunggu pohon besar itu aja takut sama saya.” Sambungnya seraya menunjuk pohon besar di seberang jalan.
“Eh, ya ampun!” serunya lagi heboh. Telunjuknya ribut menunjuk ke seberang jalan. “Itu sopirnya kasihan. Bapak nih bukannya cepetan ke sana buat nolongin!” omelnya.
Melvis cengo diomeli begitu. Ditambah lagi sang gadis juga langsung melesat ke seberang jalan untuk membantu sopirnya melepaskan diri dari ikatan. Tak berselang lama, gadis itu sudah kembali ke hadapannya bersama sang sopir.
“Lain kali kalau udah jam segini, mending jangan jalan lewat jalan sini, Pak, bahaya. Mending macet-macetan di depan daripada nyawa melayang.” Si gadis berucap. Sementara sopir Melvis tampak sedikit menunduk, merasa bersalah.
“Iya,” jawab Melvis. “Makasih udah nolongin saya.”
“Iya, sama-sama.”
Sang gadis hendak berbalik menghampiri motornya setelah memungut tas selempangnya yang tercampak, ketika Melvis menghentikan pergerakannya dengan suaranya yang serak.
“Ya?” tanya sang gadis.
“Kartu nama saya,” kata Melvis seraya menyodorkan kartu nama miliknya. Si gadis menyambut kartu nama itu, membacanya sebentar, lalu kembali menatap Melvis penasaran. “Buat apa?” tanyanya.
Melvis tersenyum lembut. “Kalau suatu saat kamu butuh bantuan, hubungi saya aja. Saya akan gantian bantuin kamu.”
“Saya ikhlas nolongin Bapak dari preman-preman cemen tadi.”
“Saya juga ikhlas kasih kartu nama saya buat kamu hubungi.”
Si gadis berdecak. “Bapak ini nggak mau kalah banget ya orangnya?”
“Dan kamu ini keras kepala, suka marah-marah, bar-bar, dan juga heboh ya?” Melvis menyerang balik. Ia terkikik geli dalam hati tatkala melihat gadis di depannya mendelik.
“Simpan kartu nama saya dan jangan ragu buat minta bantuan,” ucap Melvis lagi.
Si gadis akhirnya menghela napas panjang dan mengangguk. Kartu nama milik Melvis dia masukkan ke dalam saku jaketnya.
“Ya udah, kalau gitu saya permisi.”
“Tunggu,” cegah Melvis lagi.
Si gadis yang mungkin sudah kesal, kembali berdecak. “Apa lagi?” tanyanya sewot.
“Nama kamu. Saya belum tahu nama kamu siapa.”
“Oh, kirain apa.” Gadis itu mengangguk-angguk kecil. Tanpa diduga menggosokkan kedua telapak tangannya ke jaket sebelum mengulurkan tangan kepada Melvis. “Saya Betari Amalia Pertiwi."
.
.
Bersambung.