Di balik nama Alysa Kirana Putri, tersembunyi tiga kepribadian yang mencerminkan luka dan pencariannya akan kebebasan. Siapakah "Putri," anak ceria yang selalu tersenyum, namun menyembunyikan ribuan cerita tak terucapkan? Apa yang disembunyikan "Kirana," sosok pemberontak yang melawan bukan untuk menang, tetapi untuk bertahan dari tekanan? Dan bagaimana "Alysa," jiwa yang diam, berjalan dalam bayang-bayang dan bisu menghadapi dunia yang tak pernah memberinya ruang?
Ketika tuntutan orang tua, perundungan, dan trauma menguasai hidupnya, Alysa menghadapi teka-teki terbesar: apakah ia mampu keluar dari kepompong harapan dan luka menjadi kupu-kupu yang bebas? Atau akankah ia tetap terjebak dalam tekanan yang terus menjeratnya? Semua jawabannya tersembunyi dalam jejak langkah hidupnya, di antara tiga kepribadian yang saling bertaut namun tak pernah menyatu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Garni Bee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tawa yang tak tergapai
...Suara tawa itu melayang di udara, begitu dekat namun tak pernah kudapat. Aku ingin meraih, tapi langkahku terhenti. Seolah dunia mengingatkan, kebahagiaan itu bukan milikku....
...🦋...
Sore itu, matahari mulai tenggelam, meninggalkan semburat jingga di langit. Aku duduk di dekat jendela kamar, memandangi halaman depan rumah. Di sana, anak-anak seusia ku berlarian, tertawa lepas, dan bermain tanpa beban. Suara mereka terdengar jelas, membawa gelombang kenangan yang samar. Aku terdiam, memandangi mereka seperti orang asing yang melihat sesuatu yang tak pernah bisa dimiliki. Dalam hati, ada keinginan yang menyesakkan, *Apa rasanya bermain seperti itu?*
Tangan ku menyentuh kaca jendela, seolah ingin menjangkau mereka. Namun, aku tahu batasan yang tak terlihat itu. Dunia mereka bukan milikku. Dunia ku ada di balik pintu kamar ini, bersama buku-buku, soal-soal latihan, dan tuntutan yang tak pernah habis.
Ketukan pelan di pintu memecah lamunanku. Mamah masuk, membawa setumpuk buku latihan tambahan di tangannya. Wajahnya terlihat lelah, tapi matanya penuh tekad. Ia mendekat, meletakkan buku itu di meja belajarku.
"Putri, ini soal baru buat kamu kerjain," katanya tanpa basa-basi.
"Kamu harus rajin belajar. Nilai kamu harus bagus, gak boleh jelek. Kalau sampai nilai kamu jelek, kamu tahu kan, kamu bakal dapat hukuman."
Aku hanya mengangguk pelan, mengambil buku itu tanpa protes.
"Iya, Mah," jawabku singkat.
Namun, saat aku menunduk, mata ku mulai berkaca-kaca. Perasaan sesak yang tadi ku tahan kembali menyeruak. Dalam hati, aku bertanya-tanya, *Kapan terakhir kali aku bermain seperti mereka? Apa aku tidak boleh merasakan kebahagiaan yang sama?*
Mamah masih berbicara, menyebutkan rencana baru untuk les tambahan. Ia bahkan menyebutkan bahwa suatu hari nanti, aku bisa menjadi pengajar di tempat bimbingan belajar miliknya. Kata-katanya terus mengalir, tapi aku sudah berhenti mendengar. Di kepalaku, hanya ada satu suara. Aku juga mau main. Aku juga mau tertawa seperti mereka.
Ketika Mamah keluar, aku kembali menatap ke luar jendela. Anak-anak itu masih bermain, seperti dunia mereka tak pernah mengenal beban. Aku memandang mereka dengan perasaan yang sulit kujelaskan. Di satu sisi, aku ingin berada di sana, di sisi lain, aku tahu aku tak akan pernah bisa.
Aku membuka buku latihan yang baru diberikan mamah, menatap deretan soal yang terasa seperti labirin tanpa akhir. Aku menghela napas panjang, menekan rasa yang menggumpal di dada. Ini adalah hidupku, pikirku, meskipun aku tak pernah memilihnya.
Dari balik jendela itu, aku menyaksikan kebebasan yang tak pernah bisa kujamah. Tapi di dalam kamar ini, aku tahu peranku harus terus dimainkan—Putri yang rajin, sempurna, dan tak pernah salah. Sore itu, aku sadar, mungkin bermain bukan bagian dari dunia yang diciptakan untukku.
Aku menatap deretan soal di buku latihan yang baru saja diberikan Mamah. Mataku mengikuti angka dan huruf yang berjejer rapi, tapi pikiranku melayang ke tempat lain. Ke halaman depan. Ke suara tawa yang semakin lama semakin memudar seiring dengan tenggelamnya matahari. Karena aku mulai bosan di kamar, aku memutuskan untuk belajar di ruang tengah. Aku menekan ujung pensil ke kertas, mencoba fokus.
Suara langkah kaki mendekat dari arah dapur. Aku tidak perlu menoleh untuk tahu siapa itu. Beberapa detik kemudian, suara lembut yang familiar menyapaku.
Dengan suara hangat mbok Sum berkata,
"Cah ayu, makan dulu yuk. Atau mau Mbok suapin? Kan kayak Putri waktu kecil, selalu disuapin kalau lagi sibuk belajar.”
Aku menoleh dan mendapati Mbok Sum berdiri di sampingku, membawa nampan berisi sepiring nasi hangat dengan lauk sederhana. Senyumnya ramah seperti biasa, tapi ada sorot khawatir di matanya.
Aku menggeleng pelan, mencoba tersenyum.
"Nggak usah, Mbok Sum. Makasih. Putri bisa makan sendiri. Putri sudah besar kan, hehe."
Mbok Sum menghela napas, lalu meletakkan nampan itu di meja di samping buku-buku yang berserakan. Ia menepuk pundakku pelan sebelum beranjak pergi.
Saat itu, aku melihat sosok lain yang berdiri di dekat pintu. Pak Man, sopir keluarga kami, baru saja lewat dan berpapasan dengan Mbok Sum. Keduanya saling bertukar lirikan, lalu secara halus mengarahkan pandangan ke arahku. Seperti ada komunikasi diam-diam di antara mereka.
Aku pura-pura tidak melihat. Pura-pura sibuk.
Biasanya, aku yang paling cerewet bercanda dengan mereka. Biasanya, aku akan meminta Pak Man membawakan jajanan setelah menjemput ku dari sekolah.
Aku mendengar langkah berat mendekat. Pak Man kini berdiri di sampingku. Seperti kebiasaannya setiap kali melihatku belajar, ia mengusap kepalaku pelan.
"Belajar terus, Putri? Jangan lupa istirahat, ya. Jangan sampai sakit.”
Aku tidak menjawab. Aku hanya mengangguk, masih menunduk menatap buku.
Pak Man menghela napas panjang. Aku tahu ia ingin berkata sesuatu lagi, tapi akhirnya ia hanya menepuk pundakku pelan sebelum melangkah pergi.
Aku menunggu sampai suara langkah kakinya menghilang, lalu menghela napas panjang. Kuletakkan pensil di meja, menatap buku-buku yang berantakan di depanku.
Aku melirik piring di sampingku. Aku lapar, tapi entah kenapa aku tidak punya selera makan.
Aku kembali menoleh ke jendela kamar ku. Anak-anak tadi sudah tidak ada. Yang tersisa hanya halaman kosong yang mulai diterangi lampu jalan.
Aku menghela napas lagi. Sore telah berlalu. Hari ini berakhir seperti kemarin. Seperti hari-hari sebelumnya. Seperti mungkin hari-hari selanjutnya.
...****************...