Kusuma Pawening, gadis remaja yang masih duduk di bangku SMA itu tiba-tiba harus menjadi seorang istri pria dewasa yang dingin dan arogan. Seno Ardiguna.
Semua itu terjadi lantaran harus menggantikan kakanya yang gagal menikah akibat sudah berbadan dua.
"Om, yakin tidak tertarik padaku?"
"Jangan coba-coba menggodaku, dasar bocah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 4
Suasana rumah sudah menjadi sepi setelah tamu undangan membubarkan diri. Bu Yasmin dan suaminya sudah pulang lebih dulu, sementara Seno menyusul kemudian. Pria itu menghabiskan malam pertamanya di sebuah hotel ditemani asistennya.
Seno terlihat sangat kacau, beberapa wine ia tuang ke dalam gelas. Sepertinya ia frustrasi berat mengingat peristiwa yang menimpa dirinya. Merasa dikhianati dan dipermainkan. Hatinya semakin dingin dan penuh dendam kesumat. Siapa orang yang telah membuat mantan kekasihnya hamil.
"Brengsek! Prank!" Seno melempar gelas itu begitu saja. Ia begitu kesal, mengingat sekarang sudah menjadi suami dari wanita yang masih belia.
Wahyu sang asisten tidak berani berkomentar apa pun selain menemaninya. Ia paham betul saat ini atasanya tengah galau luar biasa.
Pria itu berhenti mabuk, setelah benar-benar teller dan terdampar di ranjang tak sadarkan diri alias teler. Seno benar-benar merasa begitu kecewa, ia ingin melupakan semua kejadian ini dengan caranya sendiri, dan berharap jika bangun nanti semuanya hanyalah mimpi.
Sementara di kediaman keluarga Bu Ana. Perempuan paruh baya itu sudah masuk di kamarnya tengah memijit pelipisnya yang semakin berdenyut. Seharusnya ia merasa lega acara telah selesai dan anak gadisnya sudah menikah dengan pria mapan pujaan hatinya. Tetapi yang terjadi benar-benar di luar ekspektasi, membuat keluarga Bu Ana itu jelas dirundung kesedihan yang dalam.
"Sudahlah Bu, jangan terlalu dipikirkan, nanti darah tinggi Ibu kumat," ucap Pak Tomo tak setuju.
"Tidak dipikirkan bagaimana, anak kita hamil dengan siapa, Pak? Kalau bukan dengan Seno sama siapa?" tekan Bu Ana kembali emosi. Setelah satu jam yang lalu mencecar putrinya tak kunjung mengaku.
"Pokoknya kita harus pindah, Ibu malu tinggal di kampung ini." Ada benarnya juga Wening menggantikan kakaknya, setidaknya di mata khalayak umum terselamatkan dan tidak jadi malu. Walaupun hatinya tetap mengemban desas desus gegara calon istrinya diganti.
Sementara Rara ditemani Wening yang hanya diam tanpa kata. Berharap kakaknya mau bercerita dengan dirinya, menumpahkan kesedihan yang melanda. Namun, ia menutup rapat mulutnya. Demi apa? Sebenarnya di kota kakaknya kerja apa, dan bagaimana ia bisa hamil.
"Istirahat saja, Mbak, besok Wening sudah harus pergi dari sini, kalau kakak mau ngomong sesuatu hanya tersisa malam ini."
Rara masih setia merapatkan mulutnya, hanya air mata yang mewakili perasaannya saat ini. Gagal menikah dengan orang yang begitu ia cintai membuatnya dirundung pilu yang dalam. Walaupun pada akhirnya adiknya lah yang menggantikan posisinya.
"Titip Seno, Ning, kamu yang sabar ya, dia memang agak beda tetapi aslinya sayang kok," lirih Rara terucap juga saat Wening hampir keluar dari ambang pintu.
"Ck, sayang? Kalau sayang pasti akan menerima, dia sangat menyebalkan dan arogan," jawab Wening memutar tubuhnya.
Gadis itu sebenarnya sangat penasaran dengan kehidupan di kota kakaknya. Kenapa ia bisa hamil bukan dengan calon suaminya, sungguh ini PR yang berat. Perempuan yang masih berstatus siswi di SMA satu itu terus berpikir dan bertekad mencari tahu apa yang terjadi. Tentu saja ia akan menyeret orang itu ke hadapan keluarganya untuk bertanggung jawab.
Setelah mencibir dengan nada kesal, Wening melangkah keluar menuju kamarnya. Sekarang ia malah galau dan merasa begitu aneh. Gadis itu merenungi risalah hidupnya nanti apabila benar-benar mengikuti suaminya itu.
"Aku harus gagalin si Seno itu buat bawa aku ke kota, pria itu terlihat bukan orang sembarangan. Bagaimana kalau nanti berbuat sembarangan padaku, dan malah membuang aku di jalan? Owh tidak tidak, aku harus bisa mendapatkan nomor telepon Bu Yasmin untuk jaga-jaga."
"Eh, tapi bagaimana juga kalau mertuaku ternyata orangnya tak kalah tegaan seperti di TV, sungguh malangnya nasibku. Non no, harus ku ubah mindsed itu, sungguh beruntungnya hidupku, ya! Itu baru benar."
Perempuan yang belum genap delapan belas tahun itu terus berpikir sebelum tidur. Entah di jam berapa ia bangun, saat pintunya diketuk Bu Ana mengatakan Seno sudah menunggu.
"Hah! Jam berapa ini, Bu? Kenapa Ibu teriak di pagi buta."
"Astaghfirullah ... makanya jangan begadang, noh lihat matahari sudah meninggi. Kamu cepat bersiap-siap, suamimu sudah menunggu di depan!" ucap Ibu setengah berbisik.
"Ngapain sih tuh orang kerajinan amad sepagi ini, menyebalkan sekali." Wening jelas menggerutu.
Gadis itu menguap, sambil berjalan keluar menuju kamar mandi. Ia sama sekali tidak cepat-cepat sesuai pesan ibu, bahkan cukup lama bermain busa sabun. Setelahnya memilih pakaian dengan penuh drama.
"Nah, ini dia yang paling pas dan cocok," ucap Wening menemukan pakaian yang paling pas untuk pergi hari ini.
Saat tengah merias pipi, pintu kamarnya dibuka begitu saja. Nampak seorang pria yang setengah mengepulkan asapnya di kepala menghampiri.
"Eh, ngapain masuk! Sungguh tidak sopan!"
"Kamu membuang banyak waktuku hari ini, kamu tahu konsekuensinya?"
"Tidak usah katakan, aku tidak siap mendengarkan. Eh ya satu lagi, tunggu di luar aku akan segera menyusul. Aku perlu pamit dengan ayah dan ibu, serta mantan kekasihmu yang dengan tega kamu tinggalkan memilih menikah dengan aku," ucapnya dengan senyum tipis penuh trik.
"Dasar bocah! Kamu akan menerima balasan dari semua ini!" gumam Seno menatap tajam gadis kecil berstatus istrinya yang kelihatannya tidak peduli.