"Gue tahu gue salah," lanjut Ares, suaranya dipenuhi penyesalan. "Gue nggak seharusnya mengkhianati Zahra... Tapi, Han, gue juga nggak bisa bohong."
Hana menggigit bibirnya, enggan menatap Ares. "Lo sadar ini salah, kan? Kita nggak bisa kayak gini."
Ares menghela napas panjang, keningnya bertumpu di bahu Hana. "Gue tahu. Tapi jujur, gue nggak bisa... Gue nggak bisa sedetik pun nggak khawatir sama lo."
****
Hana Priscilia yang mendedikasikan hidupnya untuk mencari pembunuh kekasihnya, malah terjebak oleh pesona dari polisi tampan—Ares yang kebetulan adalah tunangan sahabatnya sendiri.
Apakah Hana akan melanjutkan balas dendamnya, atau malah menjadi perusak hubungan pertunangan Zahra dan Ares?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nunna Zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Setelah menuntaskan hajatnya di kamar mandi, Hana berdiri di depan cermin untuk membenarkan rambutnya. Namun, dia dibuat terkejut oleh pintu yang terbuka dan tiba-tiba dikunci dari dalam.
Ia menoleh, betapa terkejutnya dia saat melihat Ares di sana.
"Lo gila?" Teriak Hana.
Ares mendekat, dan mengukung Hana di depan wastafel.
"Lepasin gue!" Hana berusaha melepaskan diri dari kungkungan Ares. Namun, Ares tak gentar sedikitpun.
"Sejak kapan lo berhubungan dengan Aaron?"
"Bukan urusan lo!"
"Hana!" Suara Ares mulai meninggi.
"Apa peduli lo? Terserah gue mau dekat dengan siapapun!"
Ares mendekatkan wajahnya, "lo tahu kan siapa Aaron?"
"Gue tahu! Gue bisa jaga diri juga!" Hana mendorong dada Ares menjauh. Namun, tubuh tegap itu masih diam di tempatnya.
"Jangan macam-macam Hana, gue tahu apa sebenarnya tujuan lo deketin Aaron. Tapi satu yang pasti, Aaron bukan orang bodoh!"
Senyum Hana terbit, "gue bisa urus diri sendiri! Stop urusin hidup gue, Ares!" Tekan Hana, lalu mendorong dada Ares sekali lagi. Kali ini tubuh Ares mundur beberapa langkah, dan Hana mengunakan kesempatan itu untuk meloloskan diri.
Sayangnya, ketika ia akan membuka pintu. Lengannya ditarik oleh Ares dan tanpa peringatan Ares menyatukan bibirnya dengan bibir lembut Hana.
Cup!
Hana membeku. Matanya membulat sempurna saat bibir Ares menempel di bibirnya. Segala kata yang ingin ia teriakkan tertahan di tenggorokan.
Ciuman itu bukan sekadar sentuhan biasa—ada amarah, ada kepemilikan, dan yang paling berbahaya, ada perasaan yang selama ini mereka berdua coba abaikan.
Ares akhirnya melepaskan ciumannya, namun tetap menahan wajah Hana di antara kedua tangannya. Napas mereka beradu, dan di mata Ares, Hana bisa melihat sesuatu yang selama ini ia coba hindari.
"Gue peduli, karena gue sayang sama lo, Hana."
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Ares, membuat kepala pria itu sedikit menoleh ke samping. Tapi dia tidak bergerak, tidak mengelak, apalagi membalas. Hanya suara napasnya yang terdengar lebih berat dari sebelumnya.
"Lo gila!" suara Hana bergetar, napasnya memburu karena emosi yang meledak-ledak di dadanya. "Lo tunangan Zahra, sahabat gue!"
Ares mengangkat wajahnya perlahan, menatap Hana dengan sorot mata gelap yang sulit ditebak. Ada sesuatu di sana—sebuah keteguhan yang tidak tergoyahkan.
"Gue nggak peduli seberapa keras lo coba nolak gue," katanya dengan suara dalam dan mantap. "Perasaan gue ke lo nggak pernah berubah, Hana."
Hana tertawa, tapi bukan karena lucu. Tawa itu getir, penuh sarkasme dan amarah yang ia coba pendam selama ini.
"Lucu," ujarnya sinis. "Terus Zahra mau lo kemanain, hah?" Matanya yang kini sedikit berembun menatap Ares tajam, seolah menantang. "Buang perasaan sialan lo ini, Ares. Anggap aja kejadian tadi nggak pernah terjadi."
Ares tidak langsung menjawab. Dia hanya berdiri di sana, membiarkan kata-kata Hana menghantamnya seperti badai. Bibirnya sedikit terbuka, seakan ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya ia hanya menelan ludah dan mengepalkan tangan di sisinya.
Sementara Hana, tanpa menunggu reaksi lebih lama, melangkah melewati Ares, membuka pintu, dan pergi dengan mata panas.
Ares menghela napas panjang, merasakan dadanya sesak oleh sesuatu yang sulit dijelaskan. Matanya terpejam, seolah dengan begitu dia bisa mengabaikan kenyataan pahit yang baru saja Hana lemparkan ke wajahnya.
***
Ketika Hana kembali ke tempat duduknya, Zahra bertanya kepadanya. "Lo lihat Mas Ares, nggak?"
Dengan gugup ia menggeleng, "kayaknya nggak deh! Emang dia kemana?"
Zahra memanyunkan bibirnya, "tadi sih bilangnya ke toilet. Tapi tumben lama banget."
"Lagi mules kali."
Zahra tertawa kecil, tapi matanya masih menyapu sekeliling ruangan, mencari sosok tunangannya. "Mas Ares nggak biasanya lama di toilet. Apa dia ketemu seseorang ya?"
Deg!
Hana berusaha menjaga ekspresinya tetap netral, meskipun jantungnya masih berdetak tak karuan setelah pertemuannya dengan Ares di dalam kamar mandi. Ia mengangkat bahu santai. "Mungkin. Atau bisa aja dia lagi butuh waktu sendiri."
Zahra menghela napas, lalu menatap Hana dengan tatapan menyelidik. "Lo baik-baik aja, Han? Wajah lo kayak agak pucat deh."
"Gue baik-baik aja, kok. Mungkin cuma kaget ada di tengah-tengah acara kayak gini. Banyak orang yang gue nggak kenal."
Zahra mengangguk, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. "Gue ngerti sih, acara kayak gini memang bikin capek. Apalagi kalau lo baru pertama kali ikut."
Hana hanya tersenyum tipis, sementara pikirannya masih tertinggal di dalam kamar mandi. Bayangan tatapan Ares, ciuman yang tiba-tiba, serta kata-kata pria itu masih terngiang di kepalanya.
Namun, sebelum ia bisa terlalu larut dalam pikirannya sendiri, Aaron tiba-tiba datang dan duduk di sampingnya. Tangannya otomatis meraih pinggang Hana, menariknya lebih dekat.
"Lo tadi kemana?" tanya Aaron, suaranya tenang tapi matanya tajam.
Hana tersentak, tapi cepat-cepat mengendalikan diri. "Toilet. Kenapa?"
Aaron diam sejenak, lalu menatapnya lebih dalam. "Nggak ada apa-apa di sana?"
Hana menelan ludahnya, berusaha agar ekspresinya tetap tenang. "Nggak ada. Kenapa lo nanya kayak gitu?"
Aaron tersenyum tipis, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Hana merasa gelisah. "Nggak, cuma penasaran aja."
Zahra yang melihat interaksi mereka hanya mengangkat alis, tapi memilih diam. Sementara itu, Hana mencoba mengatur napasnya, berharap Aaron tidak mencurigai apa yang sebenarnya terjadi.
Tapi satu hal yang pasti—Aaron Wijaya bukan orang yang mudah dibohongi.
Kepala Hana menunduk sedikit, saat Ares datang dan duduk dengan tenang di hadapannya, ekspresinya nyaris tanpa emosi, seolah kejadian di kamar mandi tadi tidak pernah terjadi. Seolah ciuman itu bukan apa-apa.
Di sampingnya, Zahra—sahabatnya sekaligus tunangan Ares—tengah berbicara manja kepada pria itu, sesekali tertawa kecil dan menyentuh lengan Ares dengan akrab.
Pemandangan itu seperti tamparan bagi Hana.
Dia menggigit bibir bawahnya, berusaha mengendalikan detak jantungnya yang terasa tidak karuan.
Aaron, yang duduk di sampingnya, tampaknya menyadari kegelisahannya. Dengan gerakan santai, pria itu menyandarkan tubuhnya ke kursi dan meliriknya dari samping. "Lo kenapa?" tanyanya dengan nada rendah, hanya cukup untuk didengar oleh Hana.
Hana menggeleng, tersenyum kecil. "Nggak apa-apa."
Aaron menyipitkan matanya, jelas tidak percaya. Tapi dia tidak mendesak.
Sementara itu, Zahra tampaknya baru menyadari sesuatu dan menatap Hana dengan alis terangkat. "Oh iya, Hana, lo udah tahu belum kalau Mas Ares dan Aaron itu sepupuan?" tanyanya dengan nada ceria.
"Oh? Serius?"
"Iya! Kaget, ya?" katanya sambil menepuk punggung tangan Hana dengan ringan. "Sama, gue juga kaget waktu bocah satu ini bawa lo ke sini. Gue nggak nyangka kalian berdua ternyata berjodoh."
Hana tersenyum kecil, berusaha merespons dengan santai meskipun ada ketegangan yang mengendap di dadanya.
Zahra mendekat sedikit, suaranya merendah seolah berbagi rahasia. "Pokoknya kalau Aaron macem-macem, lo bisa kasih tahu gue!" bisiknya, diiringi tawa kecil yang jelas-jelas meledek pria yang duduk di samping Hana.
"Pacar gue nggak butuh perlindungan?" Aaron, yang sejak tadi mendengarkan menyela.
"Pokoknya lo kasih tahu gue, Han. Gue nggak akan biarin nih cowok rese macem-macemin lo! Lo bisa andelin gue," ujar Zahra dengan kepercayaan diri penuh.
Hana hanya tersenyum kecil, tapi dalam hatinya ada rasa perih yang sulit dijelaskan. Andelin Zahra? Jika saja Zahra tahu kenyataan sebenarnya, bahwa pria yang selama ini ia cintai, pria yang ia banggakan di depan banyak orang, baru saja mengkhianatinya dengan cara yang paling tidak terduga.
Zahra dan Aaron terus berdebat, saling melempar sindiran dan lelucon seperti dua sahabat lama yang sudah terbiasa bertengkar tapi tetap akrab.
Ares, di sisi lain, tetap diam. Tatapannya datar, tapi Hana bisa merasakan bagaimana pria itu sesekali melirik ke arahnya—seolah menantang, atau mungkin mengukur reaksinya.
Hana menelan ludah, tangannya mengepal di bawah meja.
Jika saja waktu bisa diputar ulang, dia tidak ingin ada di sini. Tidak ingin berada di tengah situasi yang semakin membuatnya sulit bernapas.
Dan yang paling pasti, dia tidak ingin berada di antara dua pria berbahaya yang bisa menghancurkan dirinya kapan saja.
Bersambung...