Sekuel dari cerita Jual Diri Demi Keluarga.
Setelah melewati masa kelam yang penuh luka, Santi memutuskan untuk meninggalkan hidup lamanya dan mencari jalan menuju ketenangan. Pesantren menjadi tempat persinggahannya, tempat di mana ia berharap bisa kembali kepada Tuhannya.
Diperjalanan hijrahnya, ia menemukan pasangan hidupnya. Seorang pria yang ia harapkan mampu membimbingnya, ternyata Allah hadirkan sebagai penghapus dosanya di masa lalu.
**"Menjemput Cahaya"** adalah kisah tentang perjalanan batin, pengampunan, dan pencarian cahaya hidup. Mampukah Santi menemukan kedamaian yang selama ini ia cari? Dan siapa pria yang menjadi jodohnya? Dan mengapa pria itu sebagai penghapus dosanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3_Tamu Spesial di Pesantren
"Kring..."
"Kring.."
"Kring..."
Suara jam beker yang nyaring menusuk keheningan malam, berhasil membangunkan seisi kamar.
Santi mengusap matanya yang masih terasa berat. Kelopak matanya perlahan terbuka, menyesuaikan diri dengan cahaya samar yang ada di kamar mereka. Sekelilingnya sudah tak lagi sunyi—Fatimah, Alea, dan Zahra tampak sibuk. Ada yang menyisir rambut, ada yang bergegas ke kamar mandi, dan ada yang baru saja mematikan jam beker.
"Sudah bangun, San? Ayo, cepat siap-siap, kita ke dapur umum, sekarang!" ajak Fatimah, yang sudah rapi dengan jilbabnya.
Santi masih setengah sadar, hanya terduduk di atas kasur sambil menatap jam beker di atas nakas. Jarum jam baru menunjukkan pukul dua pagi.
"Dapur umum?" tanyanya heran. Pukul dua? Bukankah jadwal mereka ke dapur seharusnya pukul empat pagi? Ini kepagian bukan?
"Iya, ayo cepat, nanti kita terlambat," Fatimah mendesaknya lagi.
Santi menoleh ke kamar mandi, melihat Alea yang baru saja keluar dari sana. Ada keraguan dalam hatinya, tapi ia tak banyak bertanya. Dengan langkah ragu, ia mengikuti instruksi Fatimah, mencuci muka, lalu mengenakan jilbab dan bersiap berangkat bersama.
Pondok masih terlelap dalam keheningan. Cahaya bulan dan bintang menaburkan kilauan redup di antara pepohonan yang melingkupi bangunan pesantren. Udara pagi ini begitu dingin, menusuk kulit, ditambah lagi pesantren ini dekat dengan pedesaan membuat udara semakin dingin.
Dari luar, kamar-kamar santri tampak gelap, sebagian masih tertidur, hanya beberapa kamar yang lampunya menyala—barangkali ada yang tengah shalat malam.
Santi menatap langit yang luas. Ada perasaan hangat yang tiba-tiba menyelimutinya. Terakhir kali ia menikmati malam seperti ini, adalah saat masih kecil—saat dunia belum begitu berat di pundaknya.
Ia tersenyum, menatap langit yang bertabur ribuan bintang, berkilauan bak serpihan cahaya surga. Di tengah hamparan malam yang sunyi, rembulan tampak bertahta megah, memancarkan sinar lembut bak kristal bening yang berpendar di samudra keabadian.
Angin berbisik lirih, membelai kulitnya dengan kesejukan yang merayap hingga ke relung hati. Dalam keheningan itu, seolah semesta mengajaknya berdialog, membisikkan rahasia malam yang hanya dapat dimengerti oleh jiwa yang berserah.
"Oh iya, San, tahu nggak kenapa kita harus ke dapur sepagi ini?" suara Zahra memecah kesunyian.
Santi menggeleng kepalanya pelan, menoleh dengan tatapan penasaran, "memangnya ada apa?"
"Karena hari ini, pesantren kedatangan tamu spesial," ucap Zahra dengan nada antusias.
"Tamu spesial?" Santi mengernyit. Ia sempat berburuk sangka, mengira teman-temannya hanya mengerjainya.
"Iya, ponakan Kiyai Nasir datang hari ini. Katanya Kiyai dan Nyai mau buat syukuran untuk menyambutnya," Zahra menjelaskan.
"Oh..." Santi mengangguk paham.
"Dan dia ganteng banget, lho! Belum nikah lagi, idaman banget!" Alea menimpali dengan mata berbinar.
Fatimah menghela nafas pelan, "sudah, sudah, jangan kebanyakan berkhayal. Ayo percepat langkah kita, biar kerjaan kita cepat selesai."
Mereka melanjutkan perjalanan dalam diam.
Sesampainya di dapur umum, mereka mulai menyalakan satu per satu lampu. Cahaya kuning temaram menciptakan bayangan panjang di dinding dapur yang luas.
Santi berdiri mematung, mengamati sekeliling. Begitu luas dan lengang. Kompor besar berjejer rapi di satu sisi, sementara meja-meja kayu berjejer di sisi lainnya. Suasana masih sunyi, hanya suara napas dan langkah kaki mereka yang terdengar.
Tanpa menunggu lebih lama, Alea segera menyalakan kompor, memanaskan air di kuali besar untuk memasak nasi. Zahra, mengambil dandang, dan Fatimah mulai mengeluarkan seluruh bahan-bahan makanan dari kulkas, sementara Santi masih berdiri di tempatnya.
"Santi, mari bantu mbak menyiangi bawang ini," Fatimah menyodorkan sebakul bawang merah ke hadapannya. Kira-kira ada 4 kg bawang yang terdiri dari tiga kg bawang merah dan satu kg bawang putih.
"Baik Mbak," jawab Santi, segera duduk di kursi kayu kecil yang tampak sudah tua.
Kursi itu sederhana, tanpa sandaran, hanya setinggi betis orang dewasa. Saat duduk di atasnya, kakinya otomatis menekuk dalam. Jika terlalu lama, pinggang pasti akan terasa pegal.
Santi mengambil pisau dapur dan mulai mengupas bawang, aroma menyengat segera menusuk hidungnya.
"Keponakan Kiyai Nasir itu kerjanya apa, Mbak?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari bawang di tangannya.
Fatimah mengangkat wajahnya sedikit. "Kurang tahu, tapi setahu kami, dulu orang tuanya punya usaha garmen. Setelah ibunya meninggal, usaha keluarga mereka itu bangkrut. Kiyai Nasir adalah saudara dari ibunya, makanya sekarang dia akan tinggal di sini."
"Oh begitu ya mbak, namanya siapa mbak?" tanya Santi.
"Adam," jawab Fatimah singkat.
Santi merasa sudah pernah mendengar nama itu, ia berusaha mengingat kembali, namun Alea langsung bercelutuk, "yang jelas dia itu ganteng banget! Hati-hati kalau nanti jatuh cinta, San," goda Alea dari arah kompor.
Fatimah hanya menggelengkan kepala. Ia tahu kedua temannya ini sangat mengagumi sosok Adam. Yang pernah satu tahun lalu berkunjung ke pesantren ini. Dan sebenarnya, dalam diam, ia pun merasa hal yang sama. Hanya saja, ia tahu batasannya—mengagumi keponakan pemilik pondok bukanlah hal yang seharusnya ia pikirkan saat ini.
Santi tersenyum tipis.
"Santi," ucap Fatimah dengan nada rendah.
"Iya mbak," sahut Santi.
"Kita di sini kan mau menuntut ilmu, dan kiyai Nasir sudah berbaik hati kepada kita membiarkan kita tinggal, dan menuntut ilmu di pondok ini Tampa mengeluarkan biaya sepeserpun, cukup hanya mengurusi dapur pondok saja. Jadi, pesan mbak, jangan macem macem ya di sini. Kita tidak boleh mengecewakan kepercayaan Kiyai Nasir dan Nyai Halimah kepada kita," ucap Fatimah.
Dan Santi mengangguk setuju, "Siap mbak. Santi janji tidak akan macem macem di sini."
Fatimah tersenyum, "bagus kalau begitu."
tqpi kenapa ia cuek gtu..
apa yg membuatnya begitu..
atau emang orangnya gak mau gr..
klo gtu..
fahri harus swgera nembak.
biar Ros tau kalo fahri suka ama Ros..
❤❤❤❤❤❤
Fahri harusnya sat set cari no wa Ros..
bisa tanya Adam kan..
kenapa Ros punya firasat gak enak..
aoa dia jga ada rasa ama Fahri ...
klao iya..
kenapa kesannya dia cuek seolah gak ibgat mereka pernah temenan saat SMA..
Adam..
Adam..
kok gak muncul2..
kangen ini..
😀😀❤❤❤❤
Adam amna Adam.
kok gak munvil..
kangen ini..
❤❤❤❤❤
biar abi dan umimu pergi melamar Ros...
❤❤❤❤❤❤
klao sampai ketahuan gmna ya..
aoa mereka akan langsung dinikahkan?
apakah adam tidak kecewa saat tau santi gak perewan???
❤❤❤❤❤
fahri bisa salah paham.
pasti ros yg dikira mau dijodohkan ama dia..
pasti fahri langsung terima..
atau ris yg akhirnya sadar ada rasa ke fahri saat tau fahri mau dijodihka ama sahabatnya...
penasarannn....
❤❤❤❤❤
kok lama gak up..
kangen ama adam dan santi...
❤❤❤❤❤❤❤
jgn asal nyosor..
bahaya donk..
kan udah jadi ustad..
😀😀😀❤❤❤❤❤
myngkin saja ada yg lihat mereka lagi ambil vairan pel atau saat nuang di lantai..
❤❤❤❤❤
halalin aja.
😀😀😀❤❤❤❤
😀😀😀❤❤❤❤❤
dingin..
menghanyutkan..
❤❤❤❤❤❤😉
pasti Adam.paham Santi punya daya tarik pemikat..
mudah2an..
Adam.mau halalin Santi lebih dulu...
❤❤❤❤❤
mudah2an karena sama2 pendosa..
jadi sama2 mau neryonat dan menyayangi..
❤❤❤❤❤
Santi jadi gak kuat..
😀😀😀❤😉❤
atau jgn2 Dam pernah tau Santi sblm mereka ktmu di bus.
mungkinkah hanya Adam yg tulus mau nikahi Santi..
mengingat ibu Adam kan udah meninggal.. .
jadi gak ada yg ngelarang seperti ibu Fahri..
❤❤❤❤❤❤