NovelToon NovelToon
Dion (2)

Dion (2)

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Anak Yatim Piatu / Cinta Beda Dunia / Cinta Seiring Waktu / Kebangkitan pecundang / Hantu
Popularitas:5.1k
Nilai: 5
Nama Author: K. Hariara

Kenyataan menghempaskan Dion ke jurang kekecewaan terdalam. Baru saja memutuskan untuk merangkak dan bertahan pada harapan hampa, ia justru dihadapkan pada kehadiran sosok wanita misterius yang tiba-tiba menjadi bagian dari hidupnya; mimpi dan realitas.

Akankah ia tetap berpegang pada pengharapan? Apakah kekecewaan akan mengubah persepsi dan membuatnya berlutut pada keangkuhan dunia? Seberapa jauh kenyataan akan mentransformasi Dion? Apakah cintanya yang agung akhirnya akan ternoda?

Apapun pilihannya, hidup pasti terus berjalan. Mengantarkan Dion pada kenyataan baru yang terselubung ketidakniscayaan; tentang dirinya dan keluarga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Terlalu Tua jadi Seorang Nenek

Seperti biasa, hari Minggu bukanlah merupakan hari sibuk. Dion meninggalkan kantor sebelum tengah malam. Merasa tidurnya belum terpuaskan karena gangguan Hendrik tadi pagi, Dion segera merebahkan diri di atas kasur seusai membersihkan diri dan mengganti pakaian.

“Sudah mengantuk, Dion?” tanya Melati.

Dion bangkit duduk dan melihat Melati sedang menonton televisi. Melati yang mengikat rambutnya ke atas dan mengenakan piama tampak sangat cantik malam itu.

“Kenapa memandangiku begitu?” tanya Melati membuyarkan lamunan Dion.

“Tidak apa-apa. Aku ingin menanyakan sesuatu hal pada Kak Melati. Tapi mau bikin cokelat panas dulu. Kakak mau juga?” tanya Dion yang dibalas Melati dengan anggukan.

Dion tadi memang memandangi Melati sambil memikirkan kemungkinan yang dikatakan Ruben pamannya.

“Apa mungkin dia adalah nenekku? Apa tak terlalu muda?” pikir Dion sebelum Melati membuyarkannya tadi.

“Mungkin saja. Karena nenek meninggal ketika melahirkan ayah, pasti usianya masih muda ketika itu,” pikir Dion sambil menyeduh cokelat panasnya.

“Ciri-cirinya cocok. Kak Melati juga tampak seperti seorang wanita blasteran meskipun tidak terlalu kelihatan. Apa itu berarti aku harus memanggilnya Nenek Melati?” pikir Dion mulai diserang rasa bersalah dan malu mengingat beberapa kali ia menggoda dan mencandai wanita itu.

“Kualat aku! Berani-beraninya usil dan menggoda tak sopan pada nenek sendiri,” pikir Dion ketakutan.

Melati heran melihat Dion membawa dua cangkir di tangannya dengan gemetar. Bahkan ketika meletakkannya di lantai, Dion terlalu gugup membuat minuman sedikit tumpah.

Keheranan Melati semakin bertambah ketika tiba-tiba Dion bersimpuh dan meletakkan kepala di kakinya yang terjulur.

“Maafkan Dion, Nek! Dion telah bersikap kurang ajar.”

Melati yang kebingungan segera menarik kakinya. “Apaan sih, Dion?” protesnya yang berpikir Dion sedang bercanda dan bermaksud menggodanya.

Karena Melati sudah melipatkan kakinya, Dion kemudian meraih tangan wanita itu dan menciumi punggung tangannya. “Ampuni Dion, Nek! Dion menyesal.”

“Bercandanya sudah ah. Nenek… nenek… Apaan sih?” Melati kembali protes dan menarik tangan, tak membiarkan Dion menciumi tangan itu.

Melati segera tahu Dion tidak sedang bercanda ketika mendapatinya menundukkan kepala dan tangan tampak bergetar.

“Dion cerita dulu! Kenapa tiba-tiba memanggilku nenek?” tanya Melati kemudian.

“Ceritanya begini, Nek…”

“Stop! Jangan memanggilku nenek. Jangan, setidaknya hingga aku mendapat penjelasan!” seru Melati kembali protes.

“Tapi, Dion tak ingin jadi cucu durhaka, Nek! Nanti kualat,” keluh Dion lirih.

“Tidak… Tak ada tapi-tapi. Jangan memanggil nenek,” Melati sewot.

“Aku harus panggil apa, Nek?” tanya Dion lagi membuat Melati kian kesal.

“Ih! Pokoknya jangan panggil Nenek. Awas kalau panggil nenek lagi, aku tak mau mendengar ceritamu lagi. Panggil kakak saja,” sahut Melati kesal sambil mencubit lengan Dion.

“Baiklah, Nek, eh Kak. Tapi maafkan aku, aku tak mau kualat,” ujar Dion.

“Hmm,” hanya itu sahut Melati.

“Tadi aku sudah cerita sampai mana?” tanya Dion kemudian.

“Lha, kan belum cerita apa-apa,” Melati yang gemas kembali mencubit lengan Dion.

“Maaf Nek, eh maksudku Kak, aku akan cerita,” Dion mengusap lengannya yang dua kali dicubit oleh Melati.

Dion pun menceritakan kedatangan pamannya dan ayah Yuna pada siang tadi.

“Skip, skip! Aku sudah tahu. Tadi aku lihat Dion memukul dua orang sampai jatuh. Cerita mulai di rumah makan saja,” Melati memotong cerita Dion.

Dion lalu menceritakan kisah yang dituturkan oleh Lastri dan Tuti sejak awal pertemuan Dion dengan Yuna hingga saat gadis sekampungnya itu mengalami mimpi aneh.

“Jadi menurut pengakuan Yuna kepada Lastri dan Tuti, ia didatangi oleh seorang wanita jangkung, berambut panjang melewati bahu, berkemeja putih dengan hiasan renda rempel dan rok hitam. Wanita itu juga memiliki tubuh jangkung.”

“Apakah sosok wanita itu Kak Melati?” tanya Dion.

“Skip lagi. Kita bahas itu nanti. Ceritakan saja bagian kamu berpikir aku adalah nenekmu.”

“Nah, mendengar ciri-ciri itu, pamanku merasa yakin bahwa sosok itu adalah ibunya. Ibunya berati nenekku,” jelas Dion.

“Ciri-cirinya sama?” tanya Melati penasaran. Ia kemudian terdiam memikirkan kemungkinan bahwa Dion adalah cucunya. Sejenak Melati menatap ke arah Dion sambil berpikir keras.

“Apa aku sudah menemukan jawaban dari teka-teki siapa diriku sebenarnya?” pikir Melati.

“Coba ceritakan apa yang kamu ketahui mengenai nenekmu?” tanya Melati yang masih merasa ragu.

“Menurut paman, nenek adalah putri moyangku yang seorang pria Perancis. Kakek moyangku itu meninggalkan nenek moyang dan nenek yang masih kecil ketika invasi Jepang. Ia diperintahkan untuk memindahkan kapal-kapal dari pelabuhan Belawan tapi tak pernah kembali,” kata Dion.

“Apa Dion pernah bertemu dengan nenekmu itu?” tanya Melati lagi.

“Tentu tidak. Kalau sudah pernah bertemu tentunya aku bisa mengenali Nenek Melati,” jawab Dion.

Melati sebenarnya merasa geli ketika Dion menyebutnya ‘Nenek Melati’ tapi rasa penasaran masih menguasai pikirannya.

“Nenek pergi ketika melahirkan ayahku,” tambah Dion lagi.

“Ah, aku bukan nenekmu. Aku pastikan bukan,” jawab Melati pasti.

“Bagaimana Nek Melati bisa yakin?” tanya Dion.

“Ih Dion! Berhenti memanggilku nenek. Aku bukan nenekmu pikir lagi deh. Coba runut timeline dan zamannya,” seru Melati dengan mata mendelik.

“Imperium Jepang menginvasi Indonesia tahun 1942, nenek masih balita waktu itu, berarti nenek kira-kira berusia 19-20 tahun ketika ayahku lahir di tahun 1958. Melati lebih tua beberapa tahun dariku, kira-kira berusia 26 atau 27 tahun. Ah benar, Kak Melati terlalu tua untuk menjadi nenekku,” pikir Dion lalu tersenyum garuk-garuk kepala.

“Sepertinya memang bukan. Kak Melati terlalu tua untuk menjadi nenekku,” ujar Dion sambil tersenyum.

Sontak Melati protes sambil memukul pundak Dion dengan mata melotot. “Ha! Apa maksudmu dengan Melati terlalu tua? Aku belum tua tau?”

“Jangan marah dulu, Kak. Dengar dulu penjelasanku,” Dion coba meredakan kekesalan Melati.

“Setelah aku hitung, aku memperkirakan usia nenek 19 atau 20 tahun ketika meninggalkan kakek. Nah, Kak Melati kan sudah 30, jadi terlalu tua,” kata Dion.

“Tigapuluh? Enak saja! Aku belum setua itu,” Melati kembali protes tapi lalu tertawa.

“Maksudku, aku dan nenekmu hidup di era berbeda. Buktinya, aku langsung bisa mengoperasikan televisi dengan remote control, aku paham dengan handphone, komputer. Gitu lho,” jelas Melati lalu menjulurkan kaki yang tadi sempat ia lipat.

“Benar juga ya, Kak. Apalagi Kakak pernah bekerja di bidang kesehatan, tentu pendidikannya juga di bidang kesehatan. Nenek dan kakek itu berasal dari keluarga miskin tak mungkin punya pendidikan seperti itu,” timpal Dion.

“Kalau begitu, maafkan adikmu yang tak tahu diri dan telah durhaka ini,” Dion kembali meletakkan kepalanya di kaki Melati yang terjulur.

“Dion! Durhaka apaan sih?” Melati kembali gemas dengan tingkah Dion.

“Jangan marah, ya Kak. Nanti aku kualat karena memanggilmu nenek berusia 30 tahun,” canda Dion yang malah merebahkan kepalanya di pangkuan Melati.

Kata-kata itu akhirnya membuat Melati ikut tertawa. Sejenak Melati memandangi Dion yang kerap manja padanya.

“Dion masih mau mendengar cerita soal si Yuna itu atau tidak?” tanyanya membuat Dion bangkit dan kembali duduk di sampingnya.

“Tentu Kakakku yang belum terlalu tua,” ujar Dion bangkit duduk lalu menyeruput cokelat panas yang tadi sempat ia abaikan.

“Iya, aku memang adalah orang yang ada di mimpinya Yuna itu. Tapi bukan aku yang mendatangi. Ia yang coba mendatangimu dan aku memberinya peringatan agar tidak berbuat jahat dan menjauhimu,” ungkap Melati.

“Oh. Tapi bagaimana caranya ia masuk ke dalam mimpiku?” tanya Dion.

“Ah, bukan berarti ia datang ke mimpimu. Itu bisa juga dengan ia mengundangmu ke mimpinya sendiri.”

Penjelasan Melati membuat Dion semakin bingung. Terlihat dari alis pemuda itu yang mengerut.

Melati lalu melanjutkan penjelasannya. “Aku tak bisa menjelaskan karena tak sepenuhnya memahaminya. Yang bisa aku pahami adalah ketika seseorang memikirkan orang lain, ia tanpa sengaja dan tanpa sadari telah melepaskan sesuatu seperti energi. Bukan energi sungguhan, aku hanya meminjam istilah karena aku tak menemukan kata yang lebih tepat.”

Dion yang coba paham mulai menyimak baik-baik.

“Nah, tanpa bisa dikendalikan, energi yang terlepas itu terkadang sampai pada orang yang dimaksud, dalam hal ini alam mimpi,” tambahnya.

“Apa setiap kali kita memimpikan orang lain itu artinya orang itu sedang atau pernah memikirkan kita?” tanya Dion.

“Tidak selalu begitu. Yang paling sering terjadi adalah Dion yang mengundangnya lewat pikiran. Artinya Dion juga melepaskan energi yang sama dan ketika keduanya bertemu, maka terjadilah mimpi. Terkadang, bisa juga seperti tadi, meskipun Dion tak memikirkannya ia yang menemukan Dion.”

“Bagaimana Kakak bisa tahu ini?” tanya Dion.

“Karena aku merasa diriku juga sebenarnya adalah energi itu. Aku memikirkanmu dan kadang Dion juga memikirkanku, itulah yang membuat kita sering bertemu di mimpi,” jelas Melati.

“Tapi sekarang aku kan tidak sedang bermimpi?”

“Memang tidak. Itulah yang aku tak mengerti. Mengapa Dion hanya bisa melihatku di malam hari, tidak pada siang hari?”

“Berarti kalau siang hari, kakak juga ada di sini? Berarti kakak selalu bisa melihat aku?” tanya Dion bernada khawatir.

“Iya, meskipun tak selalu. Karena kebanyakan waktu, aku justru berada di tempat gelap tak berujung, ruangan tanpa batas. Ah, sulit untuk menjelaskannya.”

“Baiklah. Maksudku, ketika kakak berada di sini kakak melihatku beraktivitas di kamar ini?”

Melati mengangguk.

“Wah bahaya. Bagaimana ketika aku sedang…. kakak mengerti maksudku?” tanya Dion lagi.

“Iya, aku lihat semuanya,” jawab Melati cuek sambil kembali mengalihkan pandangannya ke televisi.

“Maksudku aku yang tel….” Dion tak menyelesaikan kalimatnya tapi memberi gestur dengan menggerakkan kedua tangannya menunjuk ke seluruh tubuh.

“Iya, aku sering melihatmu telanjang,” Melati melengkapi kalimat Dion sambil sambil tertawa.

Mendengar itu Dion menjadi malu dan membelalakkan mata tak percaya.

“Nggak kok. Kakak bercanda. Aku tak pernah melihatmu tanpa pakaian. Aku pasti memalingkan pandangan atau pergi kalau berpikir Dion sedang tak berpakaian. Lagipula Kakak kan dokter, sudah terbiasa melihat orang tanpa pakaian.”

“Oh, syukurlah! Eh, sudah ingat kalau Kakak seorang dokter?” Dion senang karena Melati mulai mengingat dirinya.

“Belum yakin sepenuhnya. Tapi mulai yakin kalau aku adalah seorang dokter,” ujarnya.

“Kak, kalau punya uang, aku ingin membeli rumah,” Dion tiba-tiba mengalihkan pembicaraan sambil meminum coklat panasnya.

“Bagus lah. Investasi memang harus dimulai sejak usia muda.”

“Tujuanku bukan investasi. Tapi aku ingin kakak punya ruangan sendiri. Supaya kakak punya privasi, gitu.”

“Kakak atau Dion yang butuh privasi?” tanya Melati yang kembali tertawa mengingat candaannya sebelumnya.

“Keduanya, dong. Maksudku, supaya Kakak bebas beraktivitas, gitu. Di sini terlalu ramai orang. Kakak pasti tidak bebas keluar dari kamar karena takut terlihat orang lain.”

“Iya, kamu benar juga. Soalnya sering sekali anak-anak kos coba mengintip lewat jendela. Bahkan tak jarang coba membuka pintu kamar. Kalau malam ketika Dion di kantor, Kakak harus menonton televisi dengan sangat pelan supaya tidak terdengar dari luar.”

“Kakak pasti senang kalau kita tinggal di rumah yang memiliki pagar dan halaman. Jadi ada privasi. Lha ini, buka pintu kamar saja, semua orang di depan bisa melihat isi kamar ini.”

“Benar Dion! Tapi untuk sekarang ini biar deh begini saja. Ini juga harus disyukuri, lho,” sahut Melati lalu meletakkan kepalanya di pundak Dion sambil menonton televisi. Dion yang bersimpati pada Melati juga ikut merebahkan kepala, menindih kepala Melati.

“Kembali ke soal mimpi tadi. Apa seseorang juga pernah memimpikanku?” tanya Dion.

“Mimpi hanyalah bunga tidur. Kalaupun si Wina memimpikanmu, kau tidak bisa mengendalikan dirimu yang berada di mimpinya itu,” jawabnya.

“Aku kan tidak bilang yang memimpikanku si Wina,” Dion protes.

“Lha siapa lagi? Meyleen? Iya aku yakin dia juga memimpikanmu. Apa Dion sering memimpikan Wina?”

“Sering, Kak! Bahkan siang bolong.”

“Ha? Mimpi siang bolong maksudmu? Kapan pula Dion tidur siang hari?”

“Justru itu makanya kusebut mimpi siang bolong. Mimpi yang terjadi tanpa tidur dan siang hari pula.”

“Dion... Dion… Itu namanya teringat, bukan mimpi siang bolong.”

“Sama saja, Kak. Lagipula aku tak suka mimpi.”

“Aneh kamu. Semua orang suka mimpi indah.”

1
ElbeeThor
.
ElbeeThor
Thanks ...…!
Kue Mutiara
cukup menggibur
Juniar Yasir
bagus ini
K. Hariara: Terima kasih, Mbak!!
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!