NovelToon NovelToon
ANAK RAHASIA

ANAK RAHASIA

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Lari Saat Hamil / One Night Stand / Single Mom / Hamil di luar nikah
Popularitas:6.5k
Nilai: 5
Nama Author: WikiPix

Rahasia kelam membayangi hidup Kamala dan Reyna. Tanpa mereka sadari, masa lalu yang penuh konspirasi telah menuntun mereka pada kehidupan yang tak seharusnya mereka jalanin.

Saat kepingan kebenaran mulai terungkap, Kamala dan Reyna harus menghadapi kenyataan pahit yang melibatkan keluarga, kebencian, dan dendam masa lalu. Akankah mereka menemukan kembali tempat yang seharusnya? Atau justru terseret lebih dalam dalam pusaran takdir yang mengikat mereka?

Sebuah kisah tentang pengkhianatan, dendam, dan pencarian jati diri yang akan mengubah segalanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

NARASI Episode 03

Jam terus berlalu, tetapi ibunya tak juga pulang. Awalnya, Kamala mengira ibunya hanya terlambat sedikit, mungkin sedang sibuk di rumah Bu Henny. Namun, ketika matahari mulai tenggelam dan langit berubah oranye keemasan, kegelisahan mulai menyelimutinya.

Reyna sudah tertidur setelah drama tangisannya tadi, dan Kamala akhirnya bisa duduk bersandar di dinding, menghela napas panjang. Namun, pikirannya tak tenang.

"Kok Ibu lama banget? Harusnya udah pulang dari tadi..." gumamnya, menatap pintu dengan dahi berkerut.

Perutnya mulai keroncongan, tapi ia tak punya banyak makanan tersisa. Ia bangkit, berjalan ke dapur kecil mereka, dan hanya menemukan sebungkus mie instan dan beberapa butir telur.

"Yaelah, beginian doang..."

Ia memutuskan memasak mie itu, lalu duduk di lantai sambil menyantapnya perlahan. Sesekali, matanya melirik ke arah Reyna, memastikan bayi itu masih tidur dengan nyenyak.

Namun, semakin malam, kecemasannya semakin menjadi. Ia bangkit dan mondar-mandir di dalam rumah kecil mereka.

"Apa gue harus nyusul ke rumah Bu Henny?" pikirnya.

Tapi bagaimana dengan Reyna? Ia tak mungkin meninggalkan bayi itu sendirian.

Kamala mendengus, lalu mengacak rambutnya frustasi. Ia bukan tipe orang yang gampang panik, tapi kali ini berbeda.

Ibunya tak pernah pergi selama ini tanpa kabar.

Kamala akhirnya tak bisa menahan kegelisahannya. Dengan cepat, ia meraih jaketnya dan menggendong Reyna dengan canggung.

"Aduh, gue bawa lo gimana sih?" gumamnya, mencoba membungkus bayi itu dengan kain seadanya. Setelah merasa cukup aman, ia keluar rumah, melangkah cepat menuju rumah Bu Henny.

Jalanan mulai sepi, hanya beberapa lampu jalan yang masih menyala redup. Ia berjalan melewati gang-gang sempit dengan hati penuh tanda tanya.

"Kenapa Ibu nggak pulang-pulang? Apa ada yang terjadi?"

Sesampainya di depan rumah Bu Henny, Kamala mengetuk pintu kayu itu dengan keras.

Tok! Tok! Tok!

Tak ada jawaban.

Ia mengetuk lagi, kali ini lebih keras. "Bu Henny! Ibu saya masih di sini nggak?" teriaknya.

Tak lama, pintu terbuka, memperlihatkan seorang wanita paruh baya dengan wajah kaget.

"Kamala? Ngapain kamu ke sini malam-malam?" tanya Bu Henny heran.

"Saya nyari Ibu. Katanya kerja di sini, kok belum pulang?"

Bu Henny mengernyit. "Loh? Ibumu sudah pulang dari sore tadi."

Kamala membeku. "Apa?"

Bu Henny mengangguk. "Dia pamit pulang setelah beres kerja, sekitar jam lima sore. Saya kira dia sudah sampai rumah."

Darah Kamala langsung berdesir. Kalau ibunya sudah pulang sejak sore, kenapa sampai sekarang belum sampai di rumah?

Ada sesuatu yang tidak beres.

Jantung Kamala berdegup kencang. Ia menelan ludah, mencoba menenangkan diri, tapi pikirannya terus berputar. Kalau Ibu sudah pulang sejak sore, ke mana dia sekarang?

Tanpa banyak bicara, Kamala mengangguk pada Bu Henny dan berbalik, melangkah cepat meninggalkan rumah itu. Reyna menggeliat dalam dekapannya, tapi Kamala nyaris tak memperhatikannya.

Di luar, udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Gang-gang sempit yang biasa ia lewati kini tampak lebih suram. Ia berjalan lebih cepat, melewati beberapa orang yang masih berkeliaran di jalanan.

"Ibu ke mana?" gumamnya, matanya terus mencari ke segala arah.

Ia menelusuri jalanan menuju rumah, berharap ibunya mungkin tersandung sesuatu dan jatuh di pinggir jalan, atau mungkin sedang istirahat di suatu tempat. Tapi sepanjang perjalanan, tak ada tanda-tanda ibunya.

Sesampainya di rumah, Kamala kembali memeriksa ke dalam. Kosong. Sunyi.

Ia mengacak rambutnya frustrasi. "Sial, Ibu ke mana?!"

Reyna mulai menangis lagi, mungkin karena merasakan kegelisahan Kamala. Dengan cepat, Kamala mengayun-ayunkan tubuh bayi itu, mencoba menenangkannya meski hatinya sendiri penuh kepanikan.

Pikirannya berputar. Apa mungkin Ibu mengalami sesuatu di jalan? Apa ada yang mencelakainya?

Tak ingin tinggal diam, Kamala kembali keluar, kali ini dengan tujuan lebih jelas. Ia harus mencari ibunya.

Langkahnya membawa ia menuju tempat-tempat yang biasa ibunya lewati. Gang sempit di dekat pasar, jalan setapak menuju jembatan tua, bahkan halte tempat beberapa gelandangan sering berkumpul.

Tapi tak ada ibunya.

Kamala merasakan ketakutan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Kamala terus berjalan dengan langkah cepat, pikirannya kalut. Saat melewati sebuah sudut gelap di belakang bangunan tua, ia melihat beberapa sosok yang familiar. Jack dan Sinta sedang duduk di bangku kayu reyot, merokok sambil tertawa pelan.

Jack melihat Kamala datang dan menyeringai. "Wah, lo bawa bayi sekarang? Sejak kapan jadi babysitter?" tanyanya dengan nada mengejek.

Kamala tidak menggubris ledekannya. Ia langsung menatap mereka tajam. "Lo pada lihat nyokap gue nggak?" tanyanya, nadanya serius.

Sinta mengernyit, lalu menggeleng. "Nyokap lo? Enggak, emangnya kenapa?"

Kamala menghela napas kasar. "Dia belum pulang dari kerja di rumah Bu Henny. Tapi kata Bu Henny, dia udah pulang sejak sore. Gue cari ke mana-mana, nggak ada."

Jack dan Sinta saling berpandangan. Kali ini, ekspresi mereka tidak lagi bercanda.

Jack mematikan rokoknya dan berdiri. "Lo yakin nyokap lo nggak mampir ke tempat lain dulu?"

"Kalau pun iya, harusnya dia udah di rumah sekarang," jawab Kamala cepat.

"Gue takut ada yang terjadi sama dia."

Sinta menggigit bibirnya. "Lo udah cari di jalanan sekitar? Mungkin dia jatuh atau pingsan?"

Kamala mengangguk. "Udah, tapi nggak nemu apa-apa."

Jack menghela napas dan menepuk pundak Kamala. "Oke, kita bantu cari. Gue dan Sinta bakal cek ke beberapa tempat yang sering dilewatin orang-orang malam-malam."

Kamala menatap mereka dengan ragu, tapi akhirnya mengangguk. "Makasih."

Tanpa banyak bicara lagi, mereka bertiga berpencar, menyusuri gang-gang kota yang remang. Kamala menggenggam Reyna erat dalam dekapannya, berharap ibunya baik-baik saja.

Kamala terus berjalan di trotoar yang mulai sepi, matanya terus mencari sosok ibunya di antara bayangan bangunan dan lampu jalan yang redup. Namun, semakin lama ia mencari, semakin besar rasa paniknya.

Tiba-tiba, Reyna mulai menggeliat gelisah di pelukannya. Napas bayi itu terdengar cepat, lalu sebuah suara kecil keluar dari bibir mungilnya.

"Eung… uaaah!"

Tangisannya pecah begitu saja.

Kamala terkejut. "Ssst! Reyna, jangan nangis dulu, dong! Aduh!"

Tapi bayi itu justru semakin keras menangis. Kamala merasa semua orang di jalanan kini menatapnya, meskipun mungkin hanya perasaannya saja.

Ia melangkah ke sudut jalan, mencari tempat yang sedikit lebih sepi. Dengan panik, ia mencoba menggoyang-goyangkan Reyna pelan, seperti yang pernah ia lihat ibunya lakukan.

"Ssst, udah, udah… jangan nangis, ya?" suaranya terdengar canggung.

Namun, Reyna tak peduli. Bayi itu terus menangis seolah-olah dunia sedang runtuh baginya.

Kamala menggigit bibirnya. "Aduh, bayi ini kenapa, sih?! Laper? Ngantuk? Kedinginan?"

Ia melihat sekeliling, berharap menemukan sesuatu yang bisa menenangkan Reyna. Tapi yang ada hanyalah jalanan gelap dan deretan toko yang sudah tutup.

Kamala menghela napas. "Oke, oke… kita cari tempat duduk dulu."

Ia menemukan sebuah bangku kayu di depan warung yang sudah tutup. Dengan hati-hati, ia duduk dan mengayun-ayunkan Reyna di pelukannya.

"Hei, udah dong. Lo kan tadi udah minum susu," gumamnya, meski jelas bayi itu tak mengerti.

Reyna masih menangis, tapi perlahan mulai melemah, mungkin karena lelah. Kamala menatap wajah kecil itu, lalu tanpa sadar mengusap pelan punggungnya.

"Hah… gue nggak ngerti caranya jadi kakak atau ibu atau apalah ini," keluhnya pelan. "Tapi… tolonglah, Reyna, jangan bikin ini makin sulit."

Tangis Reyna akhirnya mulai mereda, hanya tersisa isakan kecil. Kamala menghela napas panjang, merasa sedikit lega. Namun, kekhawatirannya kembali datang.

Ibunya masih belum ditemukan.

Ia menatap langit malam yang gelap, hatinya semakin gelisah. "Nyokap, lo di mana, sih…?"

Kamala duduk, sambil menunduk dalam diam. Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. Ia bukan tipe orang yang gampang menangis, tapi malam ini segalanya terasa terlalu berat.

Reyna kini sudah lebih tenang, hanya sesekali mengeluarkan isakan kecil, seolah merasakan kegelisahan Kamala.

Ibunya menghilang. Ia sendirian. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar tak punya pegangan.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang menyakitkan. Lalu, suara langkah kaki terdengar mendekat.

"Kamala!"

Kamala mengangkat kepalanya dan melihat Jack berlari ke arahnya. Nafas pemuda itu tersengal, keringat membasahi dahinya.

"Gue udah nyari ke mana-mana!" Jack berkata cepat, duduk di sebelah Kamala. "Gue nggak ketemu nyokap lo…"

Kamala menggigit bibirnya, menahan emosi yang hampir meledak. "Jadi lo nggak nemu apa-apa?" tanyanya dengan suara bergetar.

Jack menggeleng, wajahnya serius. "Gue udah nyari ke sepanjang jalan besar, ke belakang pasar, sampai ke kolong jembatan tua. Nggak ada tanda-tanda nyokap lo."

Kamala mengusap wajahnya, napasnya berat. "Gue harus gimana sekarang, Jack? Ini udah malam, dia nggak mungkin nginep di luar gitu aja!"

Jack terdiam sejenak, lalu menoleh ke arah Kamala, sambil mengusap punggungnya.

"Yang sabar Mal, kita pasti bakal nemuin nyokap lo," katanya pelan, berusaha menenangkan. Tapi Kamala bisa merasakan nada ragu di suaranya.

Sinta muncul dari arah berlawanan, napasnya juga tersengal. "Gue juga nggak nemu apa-apa," katanya dengan wajah cemas. "Gue udah nanya beberapa orang di jalan, nggak ada yang lihat dia."

Kamala menggigit bibirnya, tangannya mengepal erat di pangkuannya. Ini nggak masuk akal. Ibunya nggak mungkin pergi tanpa kabar seperti ini.

Ia menatap Jack dan Sinta, lalu menghela napas panjang. "Kita harus lapor ke polisi."

Jack mengernyit. "Polisi? Lo yakin mereka bakal peduli? Orang hilang baru bisa dicari setelah 24 jam..."

"Gue nggak peduli!" potong Kamala cepat.

"Gue nggak bisa nunggu selama itu, Jack. Ini nyokap gue!"

1
Sarul Parjo
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!