Mirna gadis miskin yang dibesarkan oleh kakeknya. Dia mempunyai seorang sahabat bernama Sarah.
Kehidupan Sarah yang berbanding terbalik dengan Mirna, kadang membuat Mirna merasa iri.
Puncaknya saat anak kepala desa hendak melamar Sarah. Rasa cemburunya tidak bisa disembunyikan lagi.
Sang kakek yang mengetahui, memberi saran untuk merebut hati anak kepala desa dengan menggunakan ilmu warisan keluarganya.
Bagaimana kelanjutan ceritanya? Yuk baca kisahnya, wajib sampai end.
29/01'25
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deanpanca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 3 Mimpi?
Saat duduk Mirna sempat menundukkan kepalanya sejenak, memastikan bahwa posisi bangkunya sudah benar. Area dapur Mirna dibuat model panggung dengan lantainya beralaskan bambu kuning, karena dibawah dapur ada aliran sungai.
Bambu-bambu itu sudah sangat lapuk menurut Mirna, sepertinya rumah kakek Mirna di bangun sebelum Mirna lahir. Karena nyatanya selama Mirna tinggal bersama kakeknya, dia tidak pernah melihat rumah ini di renovasi.
Mirna sudah memastikan duduknya sudah benar. Saat mengangkat kepalanya dia sangat terkejut, melihat ada beberapa orang tua yang sudah mengelilinginya.
Mirna menatap kakeknya yang sedang membawa centong air, ingin bertanya padanya siapa orang-orang ini. Tapi kakek memberi isyarat dengan meletakkan telunjuk di bibirnya.
"Shutt! Mereka sesepuh, pejamkan matamu. Jangan pernah di buka, sebelum kakek yang minta."
Mirna kembali mengangguk. Kini dia merasa tubuhnya tengah diguyur air kembang, aroma kemenyan menyengat di hidungnya.
Suara berisik merapal mantra, memenuhi dapur tempatnya melakukan ritual. Puncaknya kakek Sapto membaringkan Mirna di lantai beralaskan bambu itu.
Dia menarik ujung jarik (kain panjang) yang Mirna selipkan agar tidak terbuka.
Mirna terkejut, tangannya ingin menahan apa yang dilakukan kakeknya tapi tubuhnya tidak bisa digerakkan, bahkan mulutnya sulit untuk mengeluarkan suara. Ingin membuka mata tapi serasa matanya telah diberi lem perekat yang sangat kuat, akhirnya dia memilih pasrah.
"Sejak kapan aku menggunakan jarik, jelas semalam aku menggunakan pakaian biasa. Sejak kapan juga aku tidur tidak memakai dalaman."
Bukan kebiasaan Mirna tidur tanpa mengenakan pakaian, tapi dia tidak sadar kapan mengganti pakaiannya? Saat dibangunkan oleh kakeknya dia masih bisa merasakan pakaian yang melekat di tubuhnya.
"Aku sangat malu, para sesepuh akan melihat tubuh ku!"
Mirna kembali diguyur air kembang oleh kakeknya, dengan rapalan mantra yang memekakkan telinga. Dari ujung kepala hingga ujung kaki, saat guyuran ketiga Mirna merasa seperti tersengat listrik bertegangan tinggi. Sakit hingga tubuhnya kejang.
*** ***
"Mirna! Mirna! Bangun Ndo', sudah pagi." Kata Kakek Sapto.
Mirna samar mendengar suara kakeknya, sampai setelah semua kesadarannya terkumpul dia segera duduk dan mengingat kejadian semalam.
"Astaga!" Mirna memeriksa pakaiannya, tidak ada yang berubah. Pakaiannya masih sama dengan yang dia kenakan semalam saat tidur.
"Apa aku bermimpi?"
Mirna mengabaikannya dia segera merapikan alas tidurnya. "Badan ku terasa remuk, nanti aku akan pergi mencari kapuk lagi. Kalau sudah cukup akan ku buat kasur kecil dan bantal." Gumamnya.
Kakek Sapto terlihat duduk di teras, pandangannya lurus ke depan.
"Kakek! Maaf Mirna kesiangan." Ucap Mirna sembari meletakkan secangkir kopi pahit di hadapan kakeknya.
"Mungkin kamu kecape-an, kemarin habis bantu bantu di rumah Sarah." Kata Kakek Sapto dengan pandangannya masih lurus ke depan, entah apa yang sedang dia lihat.
"Pergilah mandi! Tamu kita sedang tersesat, kalau kau bertemu dengannya ajak saja dia ke rumah." Ucapnya.
"Tamu? Siapa, kek?" Mirna kadang bingung dengan kakeknya, ucapannya kadang benar kadang ngawur. Tapi sebagai orang yang masih memiliki kewarasan, dia mencoba memahami kondisi kakeknya.
"Pergilah! Dia menunggumu." Perintah kakek Sapto yang terdengar seperti orang lain.
"Iya, kek!" Segera Mirna mengambil kain panjangnya dan sebuah ember untuk membawa pulang air bersih.
***
Mirna telah selesai mandi, kini dia sedang mengisi embernya air untuk dibawa pulang. Tapi dia dikejutkan dengan suara patahan ranting kayu yang terinjak.
"Krek, tak!"
"Siapa itu?" Spontan Mirna bersuara. Antara hewan dan manusia, dia lebih takut untuk bertemu dengan manusia. Apalagi kalau lelaki yang hanya melihatnya dengan lilitan kain panjang.
"Maaf! Aku tidak bermaksud mengintip." Ucap seseorang dari seberang sungai. Lelaki itu membelakangi Mirna saat berbicara.
Mirna tidak menjawab, dia memperhatikan postur tubuh lelaki diseberang sana. "Dia tidak terlihat asing." Ucap Mirna lirih.
"Aku mencari rumah Mirna. Apa kau tau tempatnya?" Teriak lelaki itu.
"Purnomo! Apa itu dia? Suara dan postur tubuhnya sama." Gumam Mirna.
"Aku Mirna!" Teriak Mirna karena suara aliran air yang menenggelamkan suaranya.
Purnomo segera berbalik, karena merasa suara itu benar milik Mirna. Suara yang semalam telah mengusiknya.
Purnomo segera menyebrangi sungai dan menghampiri Mirna.
"Mirna benar ini kau?" Katanya yang kini sudah berada di hadapan Mirna.
"Kang Purnomo! Apa yang akang lakukan disini?" Mirna masih belum percaya bahwa Purnomo benar datang mencarinya.
"Seperti yang kukatakan tadi, aku mencari mu. Aku ingin tahu dimana kau tinggal? Bolehkah aku ke rumahmu?" Ucapnya sembari menatap wajah polos Mirna.
Mirna mengangguk. Purnomo mengambil ember berisi air dari tangan Mirna dan meminta gadis itu berjalan duluan.
"Biar aku yang membawa ember itu, jalan lah lebih dulu aku akan mengikuti mu." Perintah Purnomo, yang memang jalan yang mereka lalui hanyalah jalan setapak.
"Apa yang dimaksud kakek, tamu itu Purnomo? Apa benar dia tersesat?"
"Kang Purnomo! Apa tadi akang tersesat? Tanya Mirna yang dipenuhi rasa penasaran.
Purnomo terkekeh, "He he..! Iya. Aku belum pernah ke rumahmu, aku masuk ke hutan ini hanya mengikuti arahan warga saja. Seandainya tadi aku tidak melihatmu yang berjalan di depan ku, mungkin aku akan sampai di tengah hutan gelap sana." Terang Purnomo.
"Aku berjalan di depan akang?"
"Iya!" Jawab cepat Purnomo.
Mirna berbalik ke belakang melihat Purnomo sejenak, lalu kembali lagi melangkah.
"Bagaimana bisa aku berjalan di depannya? Bahkan arah rumahku dan jalan masuk kesini berlawanan. Purnomo juga berada diseberang sungai." Gumam Mirna.
Tak terasa mereka telah sampai di gubuk Mirna.
"Maaf, Kang! Ini gubuk tempat tinggal kudan kakek. Tidak sebagus rumah warga diluar sana." Kata Mirna.
"Aku tidak mempermasalahkannya Mirna. Kalau hanya rumah, aku bisa memberikannya untuk mu." Ucap Purnomo yang memang merupakan anak Tuan tanah.
"Silahkan duduk, kang! Aku pamit ganti baju dulu, sekalian buatkan minum."
Singkatnya Mirna sudah mengganti pakaiannya, dia berjalan ke dapur hendak membuatkan kopi. Tapi di tengah ruangan sudah tersedia kopi panas yang masih mengepulkan asapnya.
"Bawa kopi itu keluar, berikan pada Purnomo. Saat dia meminumnya, rapalkan mantra yang sudah kami ajarkan." Ucap kakek Sapto dengan suara yang berbeda.
Mirna dikejutkan dengan kakeknya yang tiba tiba muncul di belakangnya.
"Kakek mengagetkan ku saja. Iya, kek! Terimakasih karena Mirna sudah merepotkan kakek untuk membuat kopi." Ucapnya segera membawa kopi itu.
"Aku tidak salah dengar, kan? Tadi kakek bilang 'kami ajarkan' ! Apa yang bersama ku tadi para sesepuh?"
Selama Mirna mengetahui tentang ilmu keluarganya, dia merasa kakeknya sering berubah-ubah. Tidak bisa dia deskripsikan, bagaimana pastinya. Intinya kakeknya kadang menjadi seperti orang lain yang membuat Mirna merasa asing.
"Maaf, lama! Silahkan diminum kopinya."
"Terimakasih, Mirna. Tau saja aku sangat haus." Purnomo mengambil gelas kopi yang diberikan Mirna.
"Panggalih panjenengan naming dhateng kula. Pikiranipun panjenengan naming wonten kula. Dipunpisahakan badhe ewah. Dipunpisahakan badhe sekarat."
Segitu aja reader ya, tar ada yang nyobain. Bah4ya!