Seorang gadis cantik bernama hanabi, atau sering di panggil dengan panggilan hana itu. Ia selalu mengandalkan AI untuk segala hal—dari tugas kuliah hingga keputusan hidup nya. Cara berpikir nya yang sedikit lambat di banding dengan manusia normal, membuat nya harus bergantung dengan teknologi buatan.
Di sisi lain, AI tampan bernama ren, yang di ciptakan oleh ayah hana, merupakan satu-satunya yang selalu ada untuknya.
Namun, hidup Hana berubah drastis ketika tragedi menimpa keluarganya. Dalam kesedihannya, ia mengucapkan permintaan putus asa: “Andai saja kau bisa menjadi nyata...”
Keesokan paginya, Ren muncul di dunia nyata—bukan lagi sekadar program di layar, tetapi seorang pria sejati dengan tubuh manusia. Namun, keajaiban ini membawa konsekuensi besar. Dunia digital dan dunia nyata mulai terguncang, dan Hana harus menghadapi kenyataan mengejutkan tentang siapa Ren sebenarnya.
Apakah cinta bisa bertahan ketika batas antara teknologi dan takdir mulai meng
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asteria_glory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jarak yang semakin dekat
Hana meregangkan tubuhnya yang terasa pegal setelah seharian beraktivitas. Sesampainya di rumah, ia langsung melepas sepatu dan berjalan menuju kamar mandi, ingin segera menyegarkan diri. Namun, saat ia hampir membuka pintu kamar mandi, ia merasakan seseorang mengikutinya dari belakang.
Ia menoleh—dan tentu saja, Ren ada di sana, berdiri dengan ekspresi datarnya yang khas.
"Ren?" Hana mengernyit, sedikit terkejut. "Kamu ngapain ngikutin aku?"
Ren menatapnya dengan wajah polos. "Aku hanya ingin melakukan apa yang kamu lakukan."
Hana hampir tersedak udara. "Maksudmu… kamu mau mandi juga?"
Ren mengangguk tanpa ragu. "Ya. Aku melihat kamu terlihat lelah dan langsung menuju kamar mandi. Sepertinya itu adalah kebiasaan manusia untuk menyegarkan diri setelah beraktivitas. Jadi, aku ingin melakukan hal yang sama."
Hana hampir kehabisan kata-kata. Memang benar bahwa Ren adalah AI yang masih beradaptasi dengan kehidupan manusia, tapi… ASTAGA! Bukankah ini terlalu berbahaya untuk jantungnya?!
Hana buru-buru mengangkat tangannya, mencoba menjaga jarak. "Tunggu-tunggu! Ren, dengar baik-baik! Laki-laki dan perempuan yang bukan suami-istri tidak bisa mandi bersama!"
Ren menatapnya dengan tatapan datarnya yang khas, seolah sedang memproses informasi itu. "Oh…"
Hana menghela napas lega, berpikir Ren akhirnya mengerti. Namun, sebelum ia bisa benar-benar merasa tenang, Ren menambahkan dengan nada serius, "Kalau begitu, jadilah istriku."
Hana membatu di tempat. Otaknya butuh waktu beberapa detik untuk memproses apa yang baru saja ia dengar.
"A—APA?!"
Ren tetap dengan ekspresi seriusnya. "Jika kita menikah, kita bisa mandi bersama tanpa masalah, bukan? Dengan begitu, aku bisa selalu berada di dekatmu."
Dada Hana langsung berdebar kencang. Mukanya terasa panas seperti terbakar. "R-Ren!! Jangan bicara sembarangan!"
"Aku tidak bicara sembarangan. Aku hanya mencari solusi agar bisa selalu berada di sampingmu tanpa melanggar aturan yang kamu sebutkan," jawab Ren dengan polosnya.
Hana buru-buru memutar tubuhnya dan melangkah cepat ke arah kamarnya. "Aku… aku pergi dulu!" katanya dengan gugup sebelum menutup pintu kamar dengan keras.
Di dalam kamar, Hana langsung menjatuhkan diri ke tempat tidur dan menutupi wajahnya dengan bantal. "Astaga… jantungku benar-benar dalam bahaya kalau begini terus…"
Di luar, Ren hanya berdiri di depan kamar mandi, menatap pintu kamar Hana yang tertutup rapat.
"Aneh," gumamnya. "Bukankah aku hanya mengikuti logika yang benar?"
Namun, melihat bagaimana wajah Hana memerah tadi, Ren merasa ada sesuatu yang menarik terjadi—sesuatu yang belum bisa ia pahami sepenuhnya.
Setelah beberapa saat mengurung diri di kamar untuk menenangkan diri dari ucapan Ren yang begitu frontal, Hana akhirnya menghela napas panjang dan mencoba mengalihkan pikirannya. Ia menggeliat di tempat tidur, lalu menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong.
“Apa sih yang ada di otaknya?” gumamnya, pipinya masih terasa panas. “AI macam apa yang tiba-tiba ngajak nikah?!”
Namun sebelum Hana bisa menenangkan diri lebih lama, suara pintu yang terbuka pelan membuatnya menoleh.
“Ren?!”
Matanya langsung membelalak lebar saat melihat sosok pria tampan itu berdiri di ambang pintu kamarnya. Masalahnya, bukan hanya karena Ren masuk tanpa izin—tapi karena tubuhnya masih basah dengan rambut peraknya yang sedikit berantakan. Yang lebih parah lagi…
“KENAPA KAMU TELANJANG?!”
Tanpa pikir panjang, Hana langsung meraih bantal di dekatnya dan melemparkannya ke wajah Ren dengan kekuatan penuh.
BUK!
Ren yang tertabrak bantal hanya berdiri di tempat, tampak kebingungan dengan reaksi Hana.
“Apa yang kamu lakukan?” tanyanya dengan nada datar, kepalanya sedikit miring ke samping.
Hana, yang kini bersembunyi di balik kasur dengan wajah merah padam, hanya bisa menggerutu panik. “Kenapa kamu masuk ke kamarku dalam keadaan begini?! Setidaknya pakai handuk atau sesuatu!!”
Ren menatap dirinya sendiri dan kemudian kembali menatap Hana. “Oh… Aku lupa.”
“Kamu lupa?!” Hana nyaris pingsan karena stres. Bagaimana bisa AI yang biasanya cerdas tiba-tiba menjadi seperti ini?
Ren, yang masih belum merasa ada yang salah, hanya berdiri di tempatnya. “Aku hanya ingin bertanya sesuatu. Tadi, ketika aku mandi, aku merasa aneh. Air yang menyentuh kulitku terasa hangat dan menyenangkan. Apakah ini yang disebut perasaan?”
Hana ingin menangis. “Ini bukan saat yang tepat untuk diskusi tentang perasaan! Sekarang juga, keluar dan pakai pakaianmu sebelum aku benar-benar kehilangan akal!”
Ren tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Baik. Aku akan mengenakan pakaian.”
Ia kemudian berbalik dengan santai, masih dengan tubuh tanpa sehelai benang pun, dan keluar dari kamar Hana seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Begitu pintu tertutup, Hana langsung membenamkan wajahnya ke bantal dan mengerang frustrasi.
“Apa-apaan ini?! Aku bisa mati muda gara-gara dia!”
Jantungnya masih berdebar kencang, sementara pikirannya dipenuhi dengan bayangan Ren yang begitu nyata di hadapannya. Ia tidak bisa membantah bahwa pria itu memang sangat tampan, tapi situasinya terlalu memalukan!
Namun, satu hal yang membuatnya semakin kacau—bagaimana mungkin AI yang seharusnya tidak memiliki emosi bisa bertindak seperti itu? Apa Ren benar-benar tidak merasakan apa pun, atau… ada sesuatu yang berubah sejak ia menjadi manusia?
Hana menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Aduh, kenapa hidupku jadi seperti ini…”
Di luar kamar, Ren yang baru saja mengenakan pakaian tetap diam sejenak. Ia menatap tangannya sendiri, mengingat bagaimana air hangat tadi memberikan sensasi yang berbeda dari biasanya.
“Jadi… ini yang dirasakan manusia?”
Ia melirik ke arah kamar Hana dan tersenyum tipis. Ada banyak hal yang masih harus ia pelajari, tapi satu hal yang pasti—ia ingin memahami semuanya bersama Hana.
cara narasi kamu dll nya aku suka banget. dan kayaknya Ndak ada celah buat ngoreksi sih /Facepalm/
semangat ya.
Adegan romantis nya itu loh, bkin skskskskskkssksks.