Xin Lian, seorang dukun terkenal yang sebenarnya hanya bisa melihat hantu, hidup mewah dengan kebohongannya. Namun, hidupnya berubah saat seorang hantu jatuh cinta padanya dan mengikutinya. Setelah mati konyol, Xin Lian terbangun di dunia kuno, terpaksa berpura-pura menjadi dukun untuk bertahan hidup.
Kebohongannya terbongkar saat Pangeran Ketiga, seorang jenderal dingin, menangkapnya atas tuduhan penipuan. Namun, Pangeran Ketiga dikelilingi hantu-hantu gelap dan hanya bisa tidur nyenyak jika dekat dengan Xin Lian.
Terjebak dalam intrik istana, rahasia masa lalu, dan perasaan yang mulai tumbuh di antara mereka, Xin Lian harus mencari cara untuk bertahan hidup, menjaga rahasianya, dan menghadapi dunia yang jauh lebih berbahaya daripada yang pernah dia bayangkan.
"Bukan hanya kebohongan yang bisa membunuh—tapi juga kebenaran yang kau ungkap."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seojinni_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 : Bayangan Cinta yang Terlupakan
Malam itu, setelah kejadian di kamar mandi, Xin Lian merasa ada yang berubah.
Bukan hanya perasaan asing dari pelukan pria itu yang membuatnya gelisah, tetapi juga kenyataan bahwa hidupnya perlahan-lahan menjadi lebih kacau.
Pagi harinya, dia menerima kabar bahwa beberapa kliennya membatalkan janji temu. Telepon-telepon dari orang-orang yang biasa meminta bantuannya sebagai dukun tiba-tiba berhenti. Bahkan, hantu-hantu kecil yang biasanya berkeliaran di rumahnya—yang dulunya dia anggap sebagai teman meskipun menyebalkan—menghilang tanpa jejak.
Dengan cepat, Xin Lian menyadari satu hal: segala sesuatu yang selama ini menjadi bagian dari hidupnya, seolah hilang begitu saja. Tanpa peringatan. Tanpa alasan yang jelas. Dia tidak tahu apakah ini hanya kebetulan ataukah ada sesuatu yang lebih besar di baliknya. Namun, entah mengapa, dia merasa semakin terasing di dunia yang dulu dia kuasai.
“Ini tidak masuk akal,” gumamnya, meletakkan ponsel dengan kasar di atas meja, matanya kosong menatap layar yang tidak menampilkan apa-apa.
Kesunyian yang Tak Biasa
Hari itu, rumah besar Xin Lian terasa lebih sunyi dari biasanya. Tidak ada suara-suara kecil dari hantu yang biasa bermain di sudut ruangan, tidak ada ketukan aneh di tengah malam, bahkan aura spiritual yang selalu dia rasakan seolah menghilang sepenuhnya.
Dia duduk di ruang tamunya yang luas, menatap layar ponselnya yang kosong. Tidak ada pesan, tidak ada panggilan. Semua klien yang biasanya memohon bantuannya seolah-olah lenyap dari muka bumi.
Dengan ekspresi datar, Xin Lian memijat pelipisnya, berusaha menenangkan diri. “Kau sudah cukup kuat, Xin Lian. Tidak ada yang bisa menghancurkanmu.”
Namun, seiring waktu berlalu, perasaan tidak nyaman semakin menyelimutinya. Ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar hilangnya pekerjaan dan hantu-hantu kecil yang biasa menemaninya.
Malam yang Menegangkan
Ketika malam tiba, Xin Lian memutuskan untuk menghadapi pria itu. Dia tahu, seperti malam-malam sebelumnya, pria itu akan muncul lagi.
Dia duduk di tepi tempat tidurnya, mengenakan jubah tidur berwarna merah muda yang longgar, rambutnya terurai lepas. Di sampingnya, secangkir teh yang mulai mendingin tergeletak di meja kecil.
Seperti yang dia duga, udara di sekitarnya tiba-tiba berubah. Suhu ruangan menurun, dan aroma samar bunga melati mulai tercium. Lalu, dia merasakan kehadirannya.
“Kenapa kau di sini lagi?” tanyanya dingin tanpa menoleh, meskipun hatinya berdebar tak terkendali.
Pria itu muncul dari bayangan di sudut ruangan, seperti biasanya. Sosoknya tinggi dengan aura yang memancarkan kekuatan. Dia mengenakan pakaian yang mirip dengan seragam seorang jenderal dari zaman kuno, membuat kehadirannya semakin mengintimidasi.
“Aku selalu di sini untukmu,” jawab pria itu dengan suara rendah yang penuh keyakinan.
Xin Lian memutar bola matanya, lalu berdiri, menghadapi pria itu dengan tatapan tajam. “Kau pikir aku tidak menyadari apa yang terjadi? Hantu-hantu di rumahku menghilang. Klien-klienku membatalkan janji mereka. Bahkan pekerjaanku mulai kosong. Ini ulahmu, kan?”
Pria itu tersenyum tipis, seolah tidak terpengaruh oleh amarahnya. “Aku hanya melakukan apa yang perlu untuk melindungimu.”
“Melindungiku?” Xin Lian mendengus. “Aku tidak butuh perlindunganmu. Aku sudah cukup mampu untuk menjaga diriku sendiri!”
“Tapi kau tidak bisa melihat bahaya yang mengintai di sekitarmu,” balas pria itu dengan nada tenang. “Makhluk-makhluk itu hanya akan menyusahkanmu. Dan orang-orang yang datang kepadamu hanya memanfaatkanmu.”
Xin Lian mengepalkan tangannya, mencoba menahan amarah. “Jadi, kau pikir dengan mengusir mereka dan menghancurkan pekerjaanku, kau sedang membantuku? Kau membuatku tidak memiliki uang untuk makan!”
Pria itu melangkah mendekat, jaraknya hanya beberapa inci darinya. Tatapannya tajam, tetapi ada kelembutan yang sulit dijelaskan. “Aku tidak akan membiarkanmu kelaparan, Xin Lian. Aku di sini untuk memastikan kau tidak pernah kekurangan.”
“Omong kosong!” teriaknya, mundur selangkah. “Aku tidak butuh belas kasihanmu! Ini hidupku, dan aku tidak ingin kau ikut campur!”
Pria itu menghela napas panjang, seolah-olah sedang menghadapi anak kecil yang keras kepala. “Kau terlalu keras kepala, Xin Lian. Aku hanya ingin memastikan kau aman.”
“Aman dari apa?” balasnya dengan nada mengejek. “Dari hantu-hantu kecil yang bahkan tidak bisa melukaiku? Dari klien-klien yang hanya ingin memanfaatkan jasaku? Aku sudah tahu risiko pekerjaan ini sejak awal, dan aku tidak pernah meminta bantuanmu!”
Pria itu tidak menjawab. Sebaliknya, dia menatapnya dengan intens, seolah-olah sedang mencoba membaca pikirannya.
“Apa kau pikir aku akan berterima kasih karena kau mengacaukan hidupku?” lanjut Xin Lian, nadanya semakin tinggi. “Kau membuatku kehilangan pekerjaan, kehilangan ketenangan, bahkan kehilangan privasi di rumahku sendiri!”
Pria itu akhirnya membuka mulutnya. “Kau tidak mengerti, Xin Lian. Ada sesuatu yang lebih besar dari ini. Aku tidak akan membiarkanmu terluka.”
“Terluka?” dia tertawa sarkastik. “Satu-satunya yang melukai aku sekarang adalah kau!”
Setelah pertengkaran itu, ruangan menjadi sunyi. Hanya suara napas mereka yang terdengar. Xin Lian menatap pria itu dengan mata yang penuh emosi, sementara pria itu tetap tenang, seperti tidak terpengaruh oleh kata-katanya.
Akhirnya, pria itu melangkah mendekat lagi. Kali ini, gerakannya lembut, seperti mencoba menenangkan Xin Lian. Dia mengulurkan tangannya, mencoba menyentuh pipinya, tetapi Xin Lian menepisnya.
“Jangan sentuh aku,” katanya dengan suara bergetar.
Pria itu menarik tangannya kembali, tetapi tatapannya tetap penuh perhatian. “Aku hanya ingin kau tahu, aku melakukan ini karena aku peduli padamu.”
Xin Lian menghela napas berat, lalu berbalik, membelakangi pria itu. “Kalau kau benar-benar peduli, kau akan pergi dari hidupku dan membiarkan aku menjalani semuanya sendiri.”
Pria itu tidak menjawab. Setelah beberapa saat, kehadirannya mulai memudar, meninggalkan Xin Lian sendirian di kamar itu.
Namun, sebelum dia benar-benar menghilang, suaranya terdengar lagi, lembut tetapi penuh tekad.
“Aku tidak akan pergi, Xin Lian. Aku akan selalu ada untukmu, meskipun kau membenciku.”
***
Xin Lian berdiri di depan pintu, tubuhnya kaku. Saat pria itu berbalik, langkahnya berat, Xin Lian merasa hatinya terhimpit, meskipun kata-kata perpisahan itu sudah terucap. "Pergilah," ucapnya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam kesunyian.
Namun, saat pria itu menjauh, ada sesuatu yang kosong menggerogoti hatinya. Keputusan yang dia ambil seharusnya membebaskannya, tapi mengapa rasa kehilangan ini begitu dalam? Tanpa sadar, air mata menetes di pipinya, tapi dia menepisnya cepat-cepat. "Apa yang terjadi padaku," pikirnya, meski hati terasa hancur.
***
Xin Lian terbaring di tempat tidurnya, namun tidurnya tidak memberikan kedamaian. Dunia lain menyambutnya, menariknya ke dalam mimpi yang penuh dengan kenangan lama yang seharusnya sudah terlupakan.
Dia berdiri di altar, mengenakan gaun pengantin merah yang mempesona, dengan bordir emas yang bersinar lembut di bawah cahaya lentera. Namun, meskipun gaunnya indah, hatinya kosong. Dia menatap pintu besar yang tertutup rapat, tidak ada yang datang. Para tamu berbisik, mata mereka penuh dengan rasa iba, seolah tahu bahwa dia bukanlah pengantin yang bahagia.
“Dia pergi,” suara seorang pelayan terdengar di belakangnya, lirih.
Xin Lian menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir jatuh. Dia tidak boleh menangis. Tidak di hadapan semua orang. "Ini tugasnya," gumamnya pada dirinya sendiri, berusaha meyakinkan hatinya yang hancur. "Dia seorang jenderal. Aku harus mengerti."
Namun, meskipun kata-kata itu terucap, hatinya tetap terasa kosong, hampa. Tidak ada pelukan perpisahan, tidak ada kata-kata manis, bahkan tidak ada tatapan terakhir darinya. Dia hanya pergi, meninggalkannya di altar seperti pengantin tanpa mempelai.
***
Medan Perang yang Kosong
Pemandangan berubah. Kini, Xin Lian melihat seorang pria berpakaian zirah perang, menunggang kuda dengan gagah. Sosoknya tinggi dan tegap, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Dia adalah seorang jenderal yang ditakuti dan dihormati.
Namun, di balik keangkuhan itu, ada sesuatu yang mulai mengganggu pikirannya. Saat dia tiba di perbatasan, yang dia temukan hanyalah padang kosong. Tidak ada tanda-tanda musuh. Tidak ada pasukan yang menyerang.
Dia memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya yang gelisah. Namun, saat itu juga, rasa sakit yang tajam menusuk dadanya. Bayangan wajah Xin Lian muncul di benaknya, senyum cerahnya, tatapan penuh harapnya.
“Xin Lian…” bisiknya, suaranya hampir tidak terdengar.
Tanpa berpikir panjang, dia memutar kudanya dan memacu kecepatan penuh kembali ke ibu kota.
***
Kehancuran yang Menyakitkan
Ketika dia tiba di ibu kota, yang dia temukan hanyalah kehancuran. Api masih menyala di beberapa tempat, asap tebal memenuhi udara. Jalan-jalan yang dulunya ramai kini dipenuhi puing-puing dan mayat.
“Tidak…” suaranya bergetar, untuk pertama kalinya kehilangan ketenangan.
Dia berlari menuju istana, mencari sosok yang dia rindukan, tetapi tidak ada siapa pun di sana. Dia berlari ke mansionnya, tempat terakhir yang dia harap bisa menemukan Xin Lian.
Namun, yang dia temukan adalah tubuh Xin Lian yang berdiri tegak di depan gerbang mansion. Gaun merahnya robek di beberapa tempat, tubuhnya dipenuhi luka, tetapi dia tetap berdiri dengan kepala tegak, seolah-olah dia adalah perisai terakhir yang melindungi tempat itu.
Di belakangnya, ratusan penduduk bersembunyi, selamat dari serangan berkat pengorbanan Xin Lian. Aura spiritual yang kuat masih mengelilingi tubuhnya, seperti benteng yang tak tergoyahkan.
“Xin Lian…” suaranya pecah saat dia berlutut di hadapan tubuhnya. Air mata mengalir deras di wajahnya, sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Kehilangan. Penyesalan.
Dia tidak pernah menyadari betapa berharganya Xin Lian sampai dia kehilangannya.
***
Lukisan yang Abadi
Pemandangan berubah lagi. Xin Lian melihat sebuah ruangan kecil, di mana seorang pelukis tua sedang bekerja keras di atas kanvas. Lukisan yang dia buat adalah sosok seorang pria dengan baju zirah perang, berdiri gagah dengan wajah tampan tetapi dipenuhi kesedihan.
Di sudut lain ruangan, ada sebuah lukisan lain yang lebih kecil, sosok seorang wanita dengan senyum lembut dan mata penuh cinta. Itu adalah dirinya, Xin Lian.
“Dia memandang lukisanmu setiap hari,” suara pelukis tua bergema di udara. “Dia menyesal, tetapi penyesalan tidak bisa mengembalikanmu.”
Xin Lian ingin mengatakan sesuatu, tetapi suaranya tidak keluar. Dia hanya bisa menatap lukisan itu, merasakan campuran emosi yang sulit dijelaskan.
***
Kembali ke Dunia Nyata
Xin Lian terbangun dengan napas tersengal. Kamar tidurnya gelap, hanya diterangi cahaya bulan yang masuk melalui jendela.
Namun, mimpi itu terasa begitu nyata. Dia menyentuh wajahnya, menyadari bahwa dia menangis.
“Kenapa aku bermimpi seperti itu?” bisiknya pada dirinya sendiri.
Hatinya terasa berat, seperti membawa beban yang tidak dia mengerti. Dan untuk pertama kalinya, dia merasakan sesuatu yang aneh terhadap pria yang terus muncul di hidupnya.
Ada rasa sakit yang samar, bercampur dengan kemarahan yang tidak bisa dia jelaskan.
“Apa hubungan kita sebenarnya?” tanyanya pelan, meskipun dia tahu tidak ada yang bisa menjawabnya.
.
.
.
.
.
Ilustrasi Visual Lukisan Xin Lian
awal yg menarik 😍