Di sebuah sekolah yang lebih mirip medan pertarungan daripada tempat belajar, Nana Aoi—putri dari seorang ketua Yakuza—harus menghadapi kenyataan pahit. Cintanya kepada Yuki Kaze, seorang pria yang telah mengisi hatinya, berubah menjadi rasa sakit saat ingatan Yuki menghilang.
Demi mempertahankan Yuki di sisinya, Ayaka Ito, seorang gadis yang juga mencintainya, mengambil kesempatan atas amnesia Yuki. Ayaka bukan hanya sekadar rival cinta bagi Nana, tapi juga seseorang yang mendapat tugas dari ayah Nana sendiri untuk melindunginya. Dengan posisi yang sulit, Ayaka menikmati setiap momen bersama Yuki, sementara Nana harus menanggung luka di hatinya.
Di sisi lain, Yuna dan Yui tetap setia menemani Nana, memberikan dukungan di tengah keterpurukannya. Namun, keadaan semakin memburuk ketika Nana harus menghadapi duel brutal melawan Kexin Yue, pemimpin kelas dua. Kekalahan Nana dari Kexin membuatnya terluka parah, dan ia pun harus dirawat di rumah sakit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Ibadurahman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9.
Yuki duduk di sofa dalam kamar Nana, masih merasakan nyeri di sekujur tubuhnya setelah pertarungan tadi. Nana berdiri di dekat lemari kecil, mengambil kotak obat tanpa banyak bicara. Bibirnya masih sedikit berdarah, tapi ekspresinya tetap seperti biasa, dingin, sedikit kesal, tapi ada sesuatu di matanya yang sulit ditebak oleh Yuki.
Dia berjongkok di depannya, membuka botol antiseptik dan menuangkannya ke kapas sebelum mulai membersihkan luka di pipi Yuki.
Yuki sedikit menyeringai. “Kayak déjà vu…” gumamnya.
“Hah?” Nana melirik sekilas.
“Ini, mirip pas lu ngobatin gue di UKS,” jawab Yuki, mengingat kejadian dulu saat Keisuke menghajarnya habis-habisan dan akhirnya Nana mengobatinya dengan cara yang hampir sama. Nana hanya mendengus pelan, melanjutkan tanpa menjawab. Namun, setelah beberapa saat hening, Yuki bertanya, "Bagaimana lu tau kalau gue kidal?"
Nana berhenti sebentar, lalu menatapnya sekilas. “Gue ngeliat lu nulis pake tangan kiri,” jawabnya santai.
Mata Yuki sedikit melebar. “Eh… Lu merhatiin gue?”
Bukk!
Nana melempar perban ke muka yuki. "Lu bisa diem gak?" dengus Nana, wajahnya sedikit memerah. "Jangan banyak bacot, bibir lu kayak cewek tau gak?" .
Yuki hanya diam, trauma kalau Nana bakal menghajarnya kayak dulu. Setelah selesai, Nana membereskan kotak obatnya dan berdiri. “Udah beres. Tidur sana,” katanya, sambil menunjuk ke kasurnya.
Yuki terkejut . “Hah?!”
"Kenapa malah melongo?" tanya Nana dengan wajah datarnya.
“Gue mau pulang aja,” jawab Yuki.
“Gak. Malam ini lu tidur di sini.”
Belum sempat Yuki protes, Nana menarik pergelangan tangannya, lalu mendorongnya ke kasur dengan mudah. Yuki terjatuh ke atas kasur empuknya, masih belum paham dengan apa yang terjadi. Namun yang membuatnya lebih terkejut lagi, Nana naik ke atasnya, duduk di perutnya. Yuki terdiam. Jantungnya berdetak lebih cepat. “Nana…?”
Mata Nana menatapnya tajam. “Lu ngapain aja sama si jablay Ayaka?” tanyanya, suaranya dingin dan tajam. Yuki belum sempat menjawab, tangan Nana melayang cepat,
Plak!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Yuki. “Jawab, anjir!” bentaknya.
Yuki mengernyit, tapi segera menjawab dengan gugup. “G-Gue gak ngapa-ngapain! Cuma tidur doang!”
“Jangan bohong, brengsek. Lu melakukannya, kan?”, Suaranya terdengar bergetar, entah karena marah atau sesuatu yang lain.
Yuki menelan ludah, lalu menatapnya serius. “sumpah… Gue belum pernah melakukannya sama siapa pun.”
Nana terdiam. Tiba-tiba, dia melepaskan kancing bajunya, lalu menarik tangan Yuki dan menempelkan ke dadanya, membuat nafas Yuki mendadak sesak.
"Lakukan sekarang sama gue," ucap Nana pelan, tapi tegas.
Mata Yuki melebar. “Tapi,,,”
Belum selesai dia bicara, tangan Nana mengepal. "Lu nolak cinta gue?!"
Yuki terdiam. Dari awal Yuki sudah jatuh hati padanya, tidak mungkin dia akan menolak, dia hanya terkejut, ungkapan cinta nana begitu membuatnya kehilangan akal, biasanya orang saat mengungkapkan cinta, hanya sekedar ucapan, tapi Nana berbeda, dia langsung meminta Yuki untuk melakukan hubungan intim. Dengan lembut, Yuki menarik Nana ke dalam pelukannya.
Nana tidak melawan, ia pasrah apa yang akan Yuki lakukan terhadapnya. Yuki menarik kepala Nana pelan, mendekatkan bibir mereka, sebuah ciuman terjadi mengawali suatu hal ke yang lebih panas lagi. Malam itu menjadi saksi bagi dua hati yang akhirnya menyatu.
**
Ketika Pagi tiba. Yuki masih terlelap di kasur, merasakan kehangatan selimut yang menyelimuti tubuhnya. Namun, tidak lama kemudian,
Brak!
Sebuah tendangan keras mendarat di tubuhnya, membuatnya terjatuh dari kasur ke lantai. “Bangun, brengsek!” suara Nana terdengar tajam. “Lu mau kesiangan?”
Yuki merintih, memegangi punggungnya yang terasa sakit akibat jatuh. “Calon istri macam apa dia ini,” gumamnya kesal.
Nana meliriknya tajam. “Apa lu bilang?!”
Yuki buru-buru bangkit tanpa menjawab, lalu mengambil handuk yang tergantung di pundak Nana sebelum bergegas masuk ke kamar mandi.
Sementara itu, Nana hanya menyeringai tipis, menatap pintu kamar mandi dengan tatapan puas.
Beberapa saat kemudian, Nana sudah rapi dengan seragam sekolahnya rok hitam, kemeja putih dengan blazer khas sekolah, dan dasi merah yang menggantung di lehernya. Sementara itu, Yuki baru saja keluar dari kamar mandi, mengeringkan rambutnya dengan handuk.
Mereka berdua berangkat bersama, diantar oleh anak buah Hayashi dengan mobil hitam yang terlihat begitu mencolok di pagi hari. Selama perjalanan, Yuki hanya diam, masih agak heran dengan semua kejadian tadi malam. Sedangkan Nana, seperti biasa, duduk santai di kursinya, memainkan ponselnya seolah tidak ada hal yang perlu dipikirkan.
Setelah beberapa saat, mereka sampai di depan kontrakan Yuki. Nana melihat sekeliling, lalu menatap bangunan sederhana itu dengan ekspresi meremehkan. Sebelum turun, Nana melirik sopirnya. "Lu langsung balik aja, gua ke sekolah jalan sama Yuki," katanya santai.
Anak buah Hayashi menunduk hormat. "Baik, Nona."
Begitu mobil pergi, Nana melipat tangannya, menatap kontrakan Yuki dengan tatapan malas. “Jadi, lu tinggal di sini?” tanyanya.
Yuki mengangguk, lalu melangkah ke tangga. "Ayo naik, kamar gua di atas." Mereka menaiki tangga kayu yang agak tua, lalu berhenti di lantai dua, di depan pintu kamar Yuki. Namun, alih-alih masuk ke kamar Yuki, Nana justru menuju kamar sebelahnya.
Yuki mengerutkan kening. "Oi, oi, kamar gue yang ini!" serunya.
Nana tidak menggubrisnya, malah mulai menggedor keras pintu kamar sebelah. "Oi! Keluar!" bentaknya tanpa basa-basi.
Yuki langsung mendekat, menahan tangannya. "Nana, lu ngapain?"
“Diam.” Nana hanya meliriknya sebentar, lalu kembali menggedor pintu lebih keras. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka, menampakkan seorang pria berambut acak-acakan dengan mata yang masih setengah mengantuk. Pria itu menatap Nana dengan wajah bingung. "Siapa lu?" tanyanya dengan nada malas.
Nana menatapnya tajam. "Hari ini lu pindah, gua mau ngontrak di sini."
Pria itu mengernyit. “Hah? Siapa lu ngatur-ngatur gue?”
Nana tersenyum sinis. “Siapa gue?”
“Ya, elu siapa? Pagi-pagi nyuruh gue pindah kontrakan, lu pikir gua nggak bayar sewa?” balas pria itu, mulai kesal.
Bummp!
Tanpa peringatan, Nana melayangkan tinjunya ke wajah pria itu, mengenai hidungnya dengan keras. Pria itu langsung terpental ke dalam kamar, menabrak meja kecil di belakangnya. Yuki hanya diam, menatap pacarnya yang bengis tanpa ekspresi.
Nana mengeluarkan segepok uang dari sakunya, lalu melemparkan ke lantai. "Ambil tuh. 200,000 yen. Ganti rugi. Pokoknya pas gua pulang sekolah nanti, kamar ini harus kosong.”
Pria itu memegangi hidungnya yang berdarah, menatap uang di lantai, lalu menoleh ke Nana dengan ekspresi ketakutan. "A-a... iya… iya… gua bakal pindah…" gumamnya terbata-bata.
Tanpa menunggu jawaban lagi, Nana berbalik dan berjalan menuju kamar Yuki. Yuki menatapnya dengan wajah datar. “Lu bisa gak sih gak kasar sama orang?” tanyanya.
Nana melirik sekilas, lalu menyeringai. “Dih, siapa elu, ngatur-ngatur gua?”
Yuki menghela napas, malas berdebat lebih jauh. "Terserah lu aja," katanya sambil masuk ke dalam kamar. Nana mengikutinya masuk. Yuki berhenti, lalu berbalik dengan ekspresi bingung. "Eh, lu tunggu dulu di luar?! Gua mau ganti baju!"
Nana hanya mengangkat bahu. "Ya udah tinggal ganti, ngapain malu?"
Yuki mengerutkan dahi. "Lah?!"
“Lagian,” lanjut Nana santai, “gua udah liat daleman lu, ngapain malu-malu?"
Mata Yuki membesar. "NANA ANJIR!!" bentaknya, mendorong Nana keluar dari kamar sebelum mengunci pintunya dari dalam. Nana tertawa kecil, lalu bersandar di pintu sambil menyilangkan tangan.
Setelah beberapa menit, Yuki akhirnya keluar, sudah mengenakan seragam sekolahnya dengan dasi yang masih sedikit longgar.
“Udah kelar? Ayok,” kata Nana santai, lalu melangkah pergi duluan.
Yuki menghela napas panjang. Hidupnya bener-bener nggak bakal tenang setelah bersama cewek ini. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia mengikutinya dari belakang, berjalan bersama menuju sekolah.