Adinda Aisyah Zakirah adalah gadis berusia 19 tahun.
"Kakak Adinda menikahlah dengan papaku,"
tak ada angin tak ada hujan permintaan dari anak SMA yang kerapkali membeli barang jualannya membuatnya kebingungan sekaligus ingin tertawa karena menganggap itu adalah sebuah lelucon.
Tetapi, Kejadian yang tak terduga mengharuskannya mempertimbangkan permintaan Nadhira untuk menikah dengan papanya yang berusia 40 tahun.
Adinda dihadapkan dengan pilihan yang sangat sulit. Apakah Adinda menerima dengan mudah lamarannya ataukah Adinda akan menolak mentah-mentah keinginannya Nadhira untuk menikah dengan papanya yang seorang duda itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 12
“Kamu pakai baju itu saja cocok untuk dipakai di acara resmi,” pintanya Baruna yang membantu istri bocahnya memilih pakaian yang tepat untuk dipakainya.
Adinda memperlihatkan baju itu dengan mengangkat tinggi-tinggi, “Saya pantas gak pakai baju ginian Om?” Tanyanya Adinda karena dia takut salah kostum.
“Itu sesuai dengan usiamu dan mengingat kamu adalah seorang istri Kapolsek, pakaian itu yang paling cocok,” putusnya Baruna.
“Kenapa gak pakaian yang warna pink kayak orang lain yang sering saya lihat, Om?” tanyanya lagi Adinda.
“Kalau itu khusus dipakai oleh ibu-ibu bhayangkari dalam acara khusus juga, tapi karena kamu hanya menemani Om dalam kegiatan kunjungan ke daerah bukan acara resmi yang diselenggarakan oleh satuan kepolisian yang ada di kota, kita akan mengunjungi beberapa rumah warga masyarakat yang merasakan musibah,” Jelasnya Baruna.
“Oh ho gitu yah, kalau gitu saya kedalam dulu Om,” Adinda gegas ke dalam kamar mandi untuk berganti pakaian.
Adinda kembali mencuri perhatian eks duda hot itu setelah Adinda memakai pakaian yang dibelinya khusus untuk Adinda dan mengatakan kepada Adinda kalau semua pakaian yang dibawa oleh Bisma dibeli oleh Bu Riska.
“Masya Allah cantiknya, putriku memang pintar memilih pasangan hidup untukku,” Baruna membatin.
“Saya ngak cantik yah Om pakai pakaian ini?” Tanyanya Adinda yang insecure dengan penampilannya saat ini.
“Nggak kok kamu kelihatan cantik dan cocok di tubuhmu, ayo kita berangkat takutnya kita terlambat lagi sampai di sana,” Baruna berjalan lebih duluan ke arah luar sambil menarik kopernya.
Adinda pun melakukan hal yang sama,”alhmdulillah senangnya dapat pujian. Semoga aku gak malu-maluin sampai di sana. Bismillahirrahmanirrahim moga segala sesuatunya dilancarkan.”
Perjalanan dinas keluar daerah di hari pertama mereka menikah sudah direncanakan oleh
Baruna. Biasanya pengantin baru lainnya akan menolak perjalanan dinasnya, tetapi Baruna malah fine-fine dan santai saja.
Karena baginya mereka tidak perlu melakukan honeymoon yang akan berakhir buang-buang biaya saja. Mengingat pernikahan mereka hanya pernikahan kontrak.
“Aku harus belajar sama Mbak Briana cara berpakaian yang baik, merias wajah juga merawat tubuh. Aku gak mau dicap istri yang hanya bisa akan mempermalukan Om Baruna,” tekadnya Adinda sambil terus berjalan mengekori suaminya menuju ke arah lift.
Berselang beberapa menit kemudian, mereka sudah berada di jalan menuju daerah tujuan mereka yang jaraknya cukup jauh dari kampungnya Adinda.
“Om, apa masih jauh yah kita nyampenya?” Tanyanya Adinda sambil memperhatikan jalan yang dilaluinya itu.
“Kenapa, apa kamu lapar?” Tanyanya Baruna.
Adinda cengengesan mendengar pertanyaan Baruna,” boleh gak kita mampir dulu depan kebetulan ada supermarket IndoApril di depan sana, saya mau beli cemilan sama minuman.”
“Maaf Om lupa karena terburu-buru jadi sampai melupakan sarapanmu. Ngomong-ngomong boleh gak Om minta sama kamu tidak usah pake kata saya gitu serasa kamu ngomong dengan orang lain saja,” ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya ke arah jalan raya yang dilaluinya.
“Oh boleh kenapa nggak, aku hanya nggak enak sama Om kalau pakai kata aku entar dikira gak sopan lagi,” ngaku Adinda.
Baruna segera menghentikan mobilnya di depan salah satu supermarket sejuta umat itu.
Adinda sudah membuka sabuk pengamannya tapi malah terdiam dan terkesan kebingungan apakah turun belanja atau tidak.
Kedua keningnya berkerut melihat apa yang dilakukan oleh Adinda,” kamu kok gak turun? Apa kamu gak jadi belanjanya?”
Adinda garuk-garuk puncak hijabnya,” anu itu anu Om aku tidak punya uang,” cicitnya Adinda sambil tertunduk.
Adinda sungguh malu-malu dengan fakta besar kalau dia sudah hampir tiga hari terakhir ini tidak mempunyai uang sepeserpun.
Adinda memberikan semua tabungannya yang tersisa untuk pembayaran PDAM dan listriknya kepada Bu Mayang dan sisanya untuk uang jajannya Lutfi sebagai gajinya merawat bebek-bebek dan ayam-ayamnya.
Baruna baru teringat kalau dia belum memberi nafkah kepada istri bocahnya itu. Dia mengambil dompetnya dan mengambil kartu kredit dan kartu debit.
“Ini ada dua buah kartu bisa kamu pakai untuk kebutuhan belanja kamu sehari-hari. Om nanti akan tambahkan nominalnya kalau kamu sudah kuliah, nomor pinnya tanggal lahir kamu,” jelas Baruna.
Penjelasan dari suaminya kembali membuat Adinda plonga plongo mendengarnya karena ini diluar kendali dan diluar prediksi BMKG.
“Dari mana Om Baruna tahu tanggal lahir aku?” Tanyanya Adinda.
Adinda tidak percaya kalau pria sesibuk seperti Baruna memperhatikan segala detailnya tentang kehidupannya. Dia melupakan siapa suaminya dan kemampuan dari Baruna Pratama.
“Kalau nikah itu kudu urus segala administrasi kan? So tak perlu Om jelaskan panjang kali lebar gimana caranya om dapet dan buat ATM khusus untukmu, cepatlah turun nanti Kita terlambat lagi!”
Adinda memasukkan semua atmnya ke dalam dompet baru pemberian dari Nadhira. Dia berjalan tergesa-gesa ke arah dalam supermarket itu karena dia dikejar waktu.
Ketika hendak mengambil minuman di dalam showcase tiba-tiba ada tangan yang mendahuluinya.
“Ups sorry cantik, gue yang duluan tapi karena gue lagi berbaik hati jadi gue ikhlas kamu saja yang duluan,” imbuhnya seorang pria muda yang menatap intens ke arah Adinda.
“Makasih banyak, maaf saya buru-buru soalnya,”
Adinda kemudian mengambil beberapa jenis minuman dan memasukkannya ke dalam keranjang belanjanya setelah itu dia mengambil beberapa roti, biskuit serta cemilan yang ada di dekat kasir.
“Manis, imut cantik lagi. Semoga suatu saat nanti kita bertemu kembali di lain waktu di tempat yang indah tentunya,” gumamnya pria itu.
Puk!!
“Zihan apa yang Lo lakukan? Melamun saja, anak sudah menunggumu buruan belanjanya,” ujarnya seorang pria memakai jas almamater kampus terbaik di kota itu.
Sedangkan Adinda bergegas menuju mobil suaminya yang terparkir menunggu kedatangannya dengan dua buah kantong plastik kresek di kedua tangannya.
“Maafin aku, agak lama banyak antrian di kasir soalnya,” ucap Adinda kemudian kembali memasang sabuk pengamannya.
Adinda menikmati perjalanannya dengan nyaman, santai dan happy karena perutnya sudah terisi kembali makanan sehingga sudah tidak keroncongan lagi.
“Om, suka minuman kopi atau yang bersoda?” Tanyanya sambil mengarahkan ke depan Baruna dua botol minuman.
“Air putih saja, masih pagi-pagi soalnya,”
Adinda segera membuka segel tutup botol minuman air mineral kemudian menyerahkan minimum tersebut ke dalam tangannya Baruna.
“Makasih banyak,” ucapnya datar Baruna.
Adinda kembali menikmati beberapa cemilan yang dibelinya dan sesekali dia menyuapi suaminya dengan makanan yang dimakannya itu.
Waktu tak terasa, keduanya sudah sampai ditujuan. Mereka akan berada di kampung itu selama tiga hari kedepan.
Kedatangan mereka disambut hangat oleh orang-orang yang bekerja di pemerintahan setempat. Semua staf desa menyambut kedatangan kedua pasutri itu.
Baruna tampak gagah dengan setelan pakaian seragam kebesarannya yang pas di body. Sedangkan Adinda memakai celana kain berwarna coklat muda dan dipadukan dengan baju kemeja putih bunga-bunga di kerahnya berwarna putih dan di luarnya memakai blazer senada dengan celana panjangnya.
“Selamat datang di kampung kami, Pak Baruna Dewantara Pratama,” ucap pak kades setempat sambil mengulurkan tangannya ke arah Baruna.
“Sama-sama Pak Budi maaf kalau saya datang terlambat karena kondisi jalan yang sedikit macet,” balasnya Baruna.
“Tidak apa-apa Pak Baruna kami paham, karena bapak pengantin baru yang terpaksa harus berkunjung ke desa kami yang kecil ini,” balas pak Budi selaku kepala desa setempat.
Rombongan beberapa rekan sesama polisi dari Kapolsek sudah terlebih dahulu sampai di desa tersebut.
“Tidak apa-apa pak Budi demi rakyat saya dan istri sengaja meluangkan waktu untuk datang langsung ke sini,” ujarnya.
Adinda hanya cengir-cengir atau menebar senyuman khas ibu bhayangkari yang memiliki suami yang jabatannya lebih tinggi dari polisi biasa sampai-sampai wajahnya sedikit kram dan kaku karena selalu tersenyum.
Setelah mereka disambut hangat oleh orang-orang desa setempat, Baruna dan Adinda mengunjungi desa yang terdampak banjir.
Baruna secara pribadi membawa beberapa bantuan untuk para korban banjir tersebut. Karena besok pagi barulah acara yang sesungguhnya dimulai karena mengingat kedatangan mereka cukup terlambat sehingga ditunda hingga besok pagi.
Kedua pasangan suami istri itu tidak terlihat seperti pasangan yang berbeda jauh usia mereka bahkan malah seperti pasangan suami istri 20an tahun usia mereka.
Keduanya sama sekali tidak canggung berinteraksi dan bercengkerama satu sama lainnya dengan masyarakat sekitar. Kekompakan keduanya dan chemistry yang terjalin diantara mereka tidak terlihat seperti pasangan baru.
“Sayangnya yah pak Baruna sudah menikah lagi padahal niatnya saya ingin menjodohkan putriku tercinta dengan beliau,” ucapnya pak Budi.
“Anda terlambat pak kades, mereka sudah menjadi suami istri,” sahut sekdesnya.
"Aku akan berusaha membuat Pak Baruna tergila-gila padaku," gumam seseorang yang diam-diam memperhatikan Baruna dari balik hordeng kamarnya.