Seorang wanita muda, Luna, menikah kontrak dengan teman masa kecilnya, Kaid, untuk memenuhi permintaan orang tua. Namun, pernikahan kontrak itu berubah menjadi cinta sejati ketika Kaid mulai menunjukkan perasaan yang tidak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. y, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aturan Main dalam Pernikahan Kontrak
Malam itu, Luna terjaga di tempat tidur, menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang terus bergulir. Kata-kata Kaid masih terngiang di kepalanya: “Kamu juga punya alasan sendiri untuk setuju, kan?”
Ia benci mengakuinya, tapi Kaid benar. Tidak ada pilihan lain. Ayahnya sedang terlilit utang besar akibat salah langkah bisnis, dan bantuan dari keluarga Kaid adalah satu-satunya harapan untuk menyelamatkan perusahaan keluarga mereka dari kebangkrutan.
Namun, sekarang setelah semuanya terjadi, Luna bertanya-tanya: apakah harga yang ia bayar terlalu tinggi? Pernikahan ini terasa seperti sangkar emas—terlihat sempurna di luar, tetapi mengekang di dalam.
Pikiran itu membawanya kepada keputusan. Jika ia harus menjalani pernikahan ini, maka ia harus menetapkan aturan mainnya sendiri. Ia tidak bisa membiarkan Kaid terus-menerus memperlakukannya seperti boneka yang hanya mengikuti perintah.
Pagi-pagi sekali, Luna sudah bangun dan menunggu di dapur. Ketika Kaid muncul, mengenakan setelan jas abu-abu rapi, ia tampak sedikit terkejut melihat Luna di sana.
“Kamu bangun pagi sekali,” katanya singkat, mengambil cangkir kopi yang sudah Luna siapkan.
“Kita perlu bicara,” jawab Luna tanpa basa-basi.
Kaid mengangkat alis. “Tentang apa?”
“Kontrak ini. Jika kita akan hidup bersama selama setahun, kita perlu menetapkan beberapa aturan,” kata Luna sambil menyilangkan tangan di dadanya.
Kaid meminum kopinya pelan sebelum menjawab. “Aturan? Aku pikir semuanya sudah jelas. Kita berpura-pura menjadi pasangan yang bahagia di depan keluarga kita dan siapa pun yang bertanya. Setelah setahun, kita berpisah. Apa lagi yang perlu diatur?”
Luna menatapnya tajam. “Aku tidak berbicara tentang pernikahan ini secara publik. Aku berbicara tentang bagaimana kita menjalani hidup kita sehari-hari.”
Kaid mendesah, seolah-olah percakapan ini membuang-buang waktunya. “Baiklah. Apa yang kamu inginkan?”
Luna mengangkat dagunya, merasa sedikit lebih percaya diri. “Pertama, kita harus saling menghormati. Aku tidak mau ada perlakuan dingin atau ucapan kasar.”
“Sejauh ini aku belum melanggar aturan itu,” balas Kaid, nada suaranya terdengar defensif.
“Belum,” Luna menekankan. “Tapi aku ingin memastikan tidak akan terjadi.”
Kaid mengangguk pelan. “Oke. Apa lagi?”
“Kedua, aku ingin privasi. Aku tidak akan mengganggumu, jadi kamu juga tidak boleh mencampuri urusanku.”
“Setuju.”
“Dan yang terakhir,” Luna berhenti sejenak, menatap Kaid dengan serius. “Aku ingin hubungan kita tetap profesional. Tidak ada yang lebih dari itu.”
Kaid menyipitkan mata, seolah menganalisis maksud di balik kata-kata Luna. “Apakah kamu khawatir aku akan mulai menyukaimu?”
Luna memutar bola matanya. “Tidak, aku khawatir kamu akan mencoba mengendalikan hidupku lebih dari yang sudah kamu lakukan.”
Sebuah senyuman kecil, hampir tak terlihat, muncul di wajah Kaid. “Baiklah. Aku setuju dengan semua aturannya. Tapi aku juga punya satu syarat.”
Luna mengangkat alis. “Apa itu?”
“Jangan membawa masalah dari keluargamu ke dalam rumah ini. Aku tidak ingin urusan pribadi mereka memengaruhi kehidupan kita. Ini kontrak antara kamu dan aku, bukan mereka.”
Luna terdiam sejenak, mempertimbangkan permintaan itu. Ia tahu betapa rumit keluarganya, dan betapa sering mereka menciptakan masalah yang melibatkan dirinya. Tapi ia juga tahu, jika ia tidak setuju, Kaid tidak akan ragu untuk membatalkan pernikahan ini—dan itu akan menjadi bencana bagi keluarganya.
“Baik,” akhirnya Luna setuju. “Aku akan mencoba sebisa mungkin.”
Hari-hari berikutnya berlalu dengan cepat. Luna mulai terbiasa dengan rutinitas di rumah Kaid. Kaid selalu sibuk dengan pekerjaannya di perusahaan keluarga, sedangkan Luna menghabiskan waktu di rumah, mencoba mencari tahu bagaimana mengisi hari-harinya.
Namun, Luna tidak betah hanya tinggal diam. Setelah seminggu, ia memutuskan untuk mencari pekerjaan. Kaid, tentu saja, tidak setuju.
“Kenapa kamu mau bekerja?” tanya Kaid dengan nada tidak percaya saat mereka sedang makan malam.
“Karena aku tidak bisa hanya duduk diam di rumah sepanjang hari. Aku butuh melakukan sesuatu,” jawab Luna tegas.
“Kita tidak butuh uang dari pekerjaanmu,” kata Kaid dengan datar.
“Itu bukan soal uang. Ini soal harga diri,” balas Luna, menatapnya dengan penuh tekad.
Kaid menghela napas panjang, lalu menyerah. “Baiklah. Tapi jangan sampai pekerjaanmu membuat orang curiga dengan status kita.”
Luna tersenyum tipis. “Aku akan hati-hati.”
Beberapa hari kemudian, Luna berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai asisten di sebuah perusahaan desain interior kecil. Meskipun pekerjaan itu tidak bergengsi, ia merasa senang bisa kembali memiliki rutinitas.
Namun, tidak semua berjalan lancar.
Pada hari pertama Luna bekerja, ia mendapati bahwa bosnya, Farah, adalah tipe wanita yang keras kepala dan perfeksionis. “Kamu harus lebih cepat daripada ini,” kata Farah sambil memeriksa laporan yang Luna buat.
“Maaf, Bu. Saya akan memperbaikinya,” jawab Luna dengan sopan.
Farah mendengus, tetapi tidak berkata apa-apa lagi. Luna tahu ia harus membuktikan dirinya agar diterima di tempat ini.
Namun, masalah sebenarnya datang dari tempat yang tak terduga.
Pada malam harinya, Kaid pulang lebih awal dari biasanya. Ketika ia masuk ke rumah, ia langsung menuju ruang tamu, di mana Luna sedang sibuk menatap layar laptopnya.
“Apa yang kamu lakukan?” tanyanya.
“Bekerja,” jawab Luna singkat.
“Jam segini?”
Luna mendongak, menatap Kaid dengan alis terangkat. “Bukankah kamu juga sering membawa pekerjaan ke rumah?”
“Itu berbeda,” kata Kaid dengan nada dingin. “Aku tidak ingin pekerjaanmu mengganggu waktu kita.”
Luna tertawa kecil, hampir mengejek. “Waktu kita? Kaid, kamu bahkan hampir tidak berbicara denganku kecuali untuk memberi perintah. Jadi, jangan bicara tentang ‘waktu kita’ seolah-olah itu penting.”
Kaid terdiam, tidak bisa membantah.
Luna melanjutkan, “Aku setuju dengan semua aturan kita, Kaid. Tapi kamu tidak bisa mengontrol setiap aspek hidupku. Aku akan bekerja, dan aku akan menyelesaikan pekerjaanku dengan caraku. Kalau kamu tidak suka, itu bukan urusanku.”
Kaid menatap Luna, wajahnya tanpa ekspresi. Tapi ada sesuatu di matanya yang berubah—sebuah pengakuan diam-diam bahwa Luna tidak akan mundur.
“Baiklah,” katanya akhirnya. “Tapi ingat, ini hanya sementara. Setelah kontrak ini selesai, kita akan kembali ke kehidupan masing-masing.”
Luna tersenyum tipis. “Aku tidak pernah melupakan itu, Kaid. Kamu juga jangan.”
Malam itu, Luna merasa seperti telah memenangkan sesuatu, meskipun kecil. Ia tahu hubungan mereka akan tetap sulit, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak akan membiarkan dirinya didikte begitu saja.
Sementara itu, di kamar lain, Kaid duduk sendirian, memikirkan kata-kata Luna. Ia selalu berpikir bahwa pernikahan ini hanyalah formalitas. Tapi Luna… ia berbeda. Dan untuk pertama kalinya, Kaid merasa bahwa pernikahan ini mungkin lebih rumit daripada yang ia bayangkan.