sinopsis:
Nama Kania Abygail tiba tiba saja terdaftar sebagai peserta Olimpiade Sains Nasional.
Awalnya Kania mensyukuri itu karna Liam Sangkara, mentari paginya itu juga tergabung dalam Olimpiade itu. Setidaknya, kini Kania bisa menikmati senyuman Liam dari dekat.
Namun saat setiap kejanggalan Olimpiade ini mulai terkuak, Kania sadar, fisika bukan satu - satunya pelajaran yang ia dapatkan di ruang belajarnya. Akan kah Kania mampu melewati masa karantina pra - OSN fisikanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zuy Shimizu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#Chapter 18: Keributan Di Hotel Karantina
"Jika mencintai terasa melelahkan, maka berhentilah. Tak melulu cinta itu tentang perjalanan."
JAM di tangan Harka menunjukan pukul setengah 8 pagi.
Pemuda itu menggigit bibir bawahnya. Ia tidak bisa duduk dengan tenang di sebelah kursi kemudi. Bagaimana tidak, Sabiru mengendarainya dengan kecepatan di atas rata-rata bagai orang kesetanan.
Harka sudah berulangkali mengingatkan gadis itu soal keselamatan dan polisi yang bisa saja muncul tanpa diketahui, namun Sabiru tetap pada pendiriannya.
"Santai aja kali, gue ngebutnya juga masih pake hati."
Harka tak merespon. Pemuda itu tahu Sabiru menertawai kepanikkannya dalam hati, tapi kini Harka mulai acuh. Terserah lah pada gadis itu. Perutnya mulai mual.
"Harka..."
"Diem!" bentak pemuda itu.
Sabiru terkekeh pelan, gadis itu pun menambah kecepatan mobilnya.
Harka berdecak sebal. Ia mengeratkan tangannya yang mengepal. Pemuda itu berusaha tenang, dan dalam hitungan detik, ia mengambil nafas panjang.
"Nggak bisa pelan, kita balikan!"
Sontak Sabiru langsung memelankan mobilnya. Ia melirik pada spion, beruntung saja jarak antara mobilnya dengan kendaraan lain di belakang cukup jauh.
Sabiru mengendus sebal, lalu melajukan mobilnya dengan kecepatan rata-rata.
"Lo tau nggak, sih, seberapa bahayanya tadi!?" bentak Sabiru sebal.
"Lo sendiri lupa, kalo ngebut juga bahaya?"
Sabiru berdecak keras, namun tak berniat mendebat Harka lagi. Teruntuk pagi, ini sudah ada peraturan tidak tertulis di kelas mereka yang dilanggar.
Ya itu jangan pernah biarkan Harka dan Sabiru berdekatan dengan radius 1 meter, jika tidak ingin terjadi perdebatan hebat.
Dan mereka sendiri-lah yang melanggarnya.
"Sabiru,"
"Apa?" sahut gadis itu ketus.
"Senyum dong," ujar Harka. "Lo ngambek?"
Sabiru menyeringai. "Sejak kapan lo peduli?"
Harka terdiam, meneguk ludahnya. Pemuda itu berhasil dibuat tertohok oleh ucapan Sabiru. la tahu jelas, Sabiru sedang menyindirnya.
"Dulu emang enggak. Tapi sekarang, gue bakal lebih peduli."
Sabiru terkekeh pelan. "Percuma, Harka." ujar Sabiru tenang. "Gak usah peduli sama hal yang bukan urusan lo."
Sial, Harka kembali tertohok.
Pemuda itu pun tak menyahut lagi. Ia membiarkan Sabiru tenang sejenak, begini jadinya kalau ia terus mengungkit masa lalu keduanya.
"Sampe kapan lo mau musuhin gue gini?" tanya Harka memecah keheningan.
Sabiru tak langsung menyahut. Gadis itu terdiam cukup lama. Bahkan Harka sempat ragu, apa suaranya terlalu pelan untuk didengar? Namun ternyata tidak. Karena tak lama usai keraguan Harka, Sabiru langsung menyahut.
"Lo nggak akan pernah tau rasa sakitnya ditinggalkan bahkan setelah lo udah berusaha keras buat pertahanin suatu hubungan, Ar. Nggak akan pernah."
Seketika, Harka terdiam.
Pemuda itu benar-benar tak menyahut setelahnya. Karena Harka sadar, betapa dalam luka yang telah ia buat dari sorot mata kosong saat Sabiru meneriakkan isi hatinya.
Dan perjalanan setelahnya hingga mereka tiba di hotel, tidak ada percakapan lagi.
---- Olimpiaders ----
Ini pagi yang tenang bagi setiap siswa yang mengikuti karantina.
Para siswa dengan semangat menyantap makanan yang telah disiapkan oleh pihak hotel. Dan tentu, resto hotel tetap ramai di pagi ini, seperti biasanya.
Semua orang berkutat pada aktifitasnya masing-masing, namun semua aktifitas itu terhenti.
Seorang gadis bersurai ungu-kehitaman datang dengan seorang pria bersurai hitam. Gadis itu terlihat panik, pandangannya terus mengedar mencari seseorang. Dan tentu itu membuat semua pandangan tertoleh padanya.
"GALEN!"
Pemuda cebol yang menjadi satu-satunya orang yang tidak peduli itu menoleh ke arah suara dengan tatapan datarnya seperti biasa.
Dengan langkah berderap, gadis itu mendekat dengan diikuti pemuda di belakangnya.
"Apa?" tanya Galen datar.
"Adek gue mana?!" tanya Sabiru dengan nada tinggi.
"Tuh..," Galen mengarahkan dagunya pada seorang gadis berponi yang berdiri di sebelah seorang pemuda bersurai merah.
Sabiru melirik ke arah yang ditunjukkan Galen. Dan setelahnya, Sabiru langsung melangkah mendekati adik semata wayangnya itu.
"Ayo pulang." ujar Sabiru tegas sembari menggenggam pergelangan tangan Kania.
"Barang-barang kamu ada di lantai berapa? Ayo kita ambil."
"T-teh, tunggu bentar." Kania berusaha melepas genggaman Shinobu.
"Apa?! Kamu mau ngelawan Teteh!?"
"Kak, tunggu sebentar." tahan Liam yang berada di sebelah Kania. "Sebaiknya dibicarakan baik-baik dulu. Jangan langsung-"
"Eh, bocil! Diem lo! Lo nggak ada urusannya sama semua ini. Kalo sampe adek gue kenapa-napa, mau lo tanggung jawab?!"
Gigi Liam menggertak di dalam, ia berusaha keras untuk menahan emosinya.
Pertama, Sabiru itu kakak kelasnya. Kedua, Sabiru itu kakak Kanao. Jadi pemuda itu harus berpikir dua kali jika mau membuat masalah dengan gadis itu.
"Ada. Masih ada hubungannya dengan Liam."
Beberapa pasang mata yang sedang beradu tatap dengan begitu tegang itu menoleh ke arah suara.
Seorang gadis bersurai hitam panjang melangkah mendekati mereka.
"Pertama, nama Kania Abygail udah terdaftar dalam daftar peserta. Kedua, Liam adalah ketua tim yang di dalamnya terdapat Kania Abygail. Ketiga, Liam adalah orang yang ngerawat Kania ketika dia sakit. Sedangkan lo, yang katanya kakaknya, apa yang lo lakuin waktu Kania sakit?"
Sabiru terdiam.
Namun api yang ada di hatinya lebih dari berkobar. Dan sungguh, demi apapun, Sabiru paling benci saat ia kalah dalam sebuah perdebatan. Apalagi dengan orang yang tidak ia kenal.
"Kak Renatta, udah dulu."
Liam memberanikan diri untuk menengahi.
Pemuda itu menatap Sabiru lekat, berusaha sebisa mungkin untuk meyakinkan kakak kelasnya itu. Liam pun menghela nafasnya panjang.
"Kak, duduk dulu, kita bicarain dulu baik-baik. Kalau sekiranya kita udah sampe di persetujuan akhir, Kania bisa pulang. Gue janji."
Kania langsung menoleh pada Liam. Beberapa kalimat akhir Liam membuat Kania sedikit ragu.
Pulang, artinya Kania tidak lagi mengikuti karantina dan terpaksa belajar di rumah. Namun arti lainnya adalah, Kania mundur dari olimpiade.
Kanaia tidak paham mana yang Liam maksud.
Namun Liam adalah pemuda yang cukup peka. Liam menoleh, menatap Kania dengan senyum tipis dan sekali anggukan. Seolah Liam akan selalu ada di pihak Kania.
Sementara itu, Sabiru yang masih begitu ragu itu mengepalkan tangannya erat. Namun tiba-tiba saja Harka meraih genggaman itu.
Sabiru pun menoleh, dan di detik yang sama, Harka mengangguk tegas. Seolah kedua pemuda itu yakin, perundingan memang jalan terbaik saat ini.
"Gue bukannya tanpa alasan ke sini. Tapi lo tau sendiri, Kania itu nggak pernah ikut seleksi olim. Tapi seperti yang lo liat sekarang, Kania ada di sini. Dikarantina. Bukannya ini aneh?"
Liam mengangkat dua alisnya, cukup terkejut. Namun pemuda itu masih menahan diri di hadapan Sabiru.
"Gue baru denger ini. Karena seharusnya panitia juga tau, tapi nyatanya nggak ada sesuatu yang aneh." tutur Liam lirih.
"Gue nggak peduli. Yang penting gue cuma mau Kania pulang. Udah, itu aja." ujar Sabiru tegas. "Lagian sebenernya nggak di karantina juga nggak apa-apa, kan?" ujar Sabiru sembari menatap Harka, mencari pembenaran.
Harka menghela nafasnya panjang. "Gimana ya, masalahnya gini, lho. Yang diwakili Kania dan teman-temannya itu provinsi, bukan sekolah. Jadi-"
"Jadi lo lebih ngedukung argumennya si bocah rambut merah itu?"
Harka mendesah jengah. Bagaimana ya, berdebat Sabiru itu melelahkan sekali, memang.
Dihadapan orang lain, Sabiru bisa berlaku semanis tebu. Namun tentu Liam, Harka, Kania dan Jayden adalah pengecualian. Mereka semualah yang paling mengerti sisi galak dari gadis penyuka kupu-kupu itu.
"Serah. Mending ternak ayam broiler dari pada ngomong sama lo." Harka bangkit dari sofa dan beranjak pergi. "Gue tunggu di luar."
Sabiru mengendus sebal. Gadis itu bersumpah dalam hatinya, sebelum pulang nanti ia harus menjambak rambut Harka dulu sampai ke akarnya.
"Nah, kalo pribadi gini kan lebih leluasa." Liam menghela nafasnya lega. "Gini, Kak. Kalaupun lo bersikeras untuk ngebawa Kania pulang, kasih gue alasan pasti. Biar gue ngomong ke panitia." ujar Liam tegas.
"Emangnya masih kurang jelas?" Sabiru terkekeh pelan. "Gue ini kakak kandung dari Kania Abygail. Ada darah gue di tubuh Kania. Gue lebih bisa jaga dia, dari pada kalian yang cuma temen-temennya."
"Oh, gitu, kah?" Liam menyeringai. Ada hawa panas yang mulai membakar hatinya. "Kalo gitu, bersikap lah seakan lo emang kakaknya Kania. Lo nggak pantas perlakuin dia seolah dia itu hama di hidup lo!"
"Maksud lo?!" nada ucapan Sabiru mulai meninggi. "Emangnya sebaik apa lo, sampe udah berani bilang gitu ke gue?"
Tanjirou memainkan lidah di dalam mulutnya. Dan sungguh, bila hidup adalah panggung sandiwara, Sabiru adalah pemain terbaiknya.
Liam bangkit dari sofa, dan mendekati wajah Sabiru dengan tatapan yang begitu lekat.
"Semua perlakuan lo ke dia, semua perkataan yang lo tujuin buat dia, jangan kira gue nggak tau!"
Nafas Sabiru nyaris tercekat. Detik berikutnya, matanya membelalak begitu menyadari ada sorot kemarahan yang membara di mata Liam.
Rupanya pemuda itu tahu semuanya.
Kania bukan adik kandung Sabiru.
✩₊̣̇. To Be Continue