Jesslyn tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah drastis dalam satu malam. Demi menyelamatkan keluarganya dari kehancuran finansial, ia dipaksa menikahi Neo, pewaris kaya raya yang kini terbaring tak berdaya dalam kondisi koma. Pernikahan itu bukanlah perayaan cinta, melainkan sebuah kontrak dingin yang hanya menguntungkan pihak keluarga Neo.
Di sebuah rumah mewah yang sunyi, Jesslyn tinggal bersama Neo. Tanpa alat medis modern, hanya ada dirinya yang merawat tubuh kaku pria itu. Setiap hari, ia berbicara kepada Neo yang tak pernah menjawab, berharap suara dan sentuhannya mampu membangunkan jiwa yang terpenjara di dalam tubuh itu. Lambat laun, ia mulai memahami sosok Neo melalui buku harian dan kenangan yang tertinggal di rumah itu.
Namun, misteri menyelimuti alasan Neo koma. Kecelakaan itu bukan kebetulan, dan Jesslyn mulai menemukan fakta yang menakutkan tentang keluarga yang telah mengikat hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lusica Jung 2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Miracle Itu Ada
Malam semakin larut, namun gadis itu masih terjaga. Jesslyn berdiri di depan jendela kamar yang terbuka lebar, menatap hamparan bintang yang menghiasi langit malam.
Dia tertawa kecil, tapi tawanya terdengar getir. Gadis itu menghela napas. "Lucu sekali," katanya, Jesslyn berbicara pada kehampaan yang kosong. "Baru kali ini ada orang menikah, tapi yang dinikahi orang koma."
Kepalanya sedikit menunduk, jari-jari lentiknya menggenggam tirai di samping jendela. "Bahkan aku tidak tahu siapa dia sebenarnya," lanjutnya, suaranya nyaris berbisik. "Semua ini terasa seperti lelucon."
Dia memalingkan wajahnya dari jendela, menatap ke arah pria yang terbaring tak bergerak di ranjang besarnya. Wajah itu begitu tenang, terlalu damai untuk seseorang yang meninggalkan begitu banyak beban di pundaknya.
"Apa kau tahu betapa sulitnya ini untukku?" Jesslyn memandangnya dari tempatnya berdiri, ia berbicara meski dia tahu tidak akan ada jawaban. "Aku bukan pahlawan dari cerita yang berakhir bahagia. Aku hanya seseorang yang terjebak dalam skenario yang tidak pernah kuinginkan."
Jesslyn menghela napas panjang, lalu melangkah mendekati ranjang. Dia berhenti di sisi pria itu, menatapnya dengan tatapan kosong. "Tapi di luar semua ini, aku hanya ingin tahu apa kau akan bangun?"
Derap langkah kaki yang berjalan mendekat mengalihkan perhatiannya. Jesslyn menoleh dan mendapati seorang wanita setengah baya berjalan memasuki ruangan. Dia tidak tau siapa wanita itu.
"Kau pasti, Jesslyn, wanita yang menikahi putraku? Aku Veronica, ibu mertuamu." wanita itu, Veronica, memperkenalkan dirinya pada Jesslyn.
Gadis itu membungkuk sopan. "Selamat malam, Nyonya, senang bertemu dengan Anda." katanya dengan nada canggung.
Nyonya Veronica menghela napas panjang, pandangannya bergulir pada sang putra. "Aku harap dia segera bangun, rumah ini benar-benar hampa tanpa dirinya. Putraku yang malang, kecelakaan itu yang membuatnya seperti ini."
Jesslyn hanya diam, bahkan dia tidak tahu harus berkata apa untuk menanggapi ucapan Ibu mertuanya.
"Jesslyn, aku harap kau bisa menjaga dan merawat putraku dengan baik. Meskipun dokter sudah mengatakan tidak ada harapan, tetapi aku percaya miracle itu ada. Dokter hanya manusia biasa, dan bukan Tuhan. Sebagai seorang Ibu, aku yakin suatu saat putraku akan bangun kembali," tuturnya.
"Saya yakin doa Anda akan di dengarkan oleh, Tuhan. Suatu saat, dia pasti akan bangun." Setelah cukup lama diam, akhirnya Jesslyn bersuara.
Nyonya Veronica tersenyum simpul. Dari Neo, dia menggulirkan pandangannya pada menantunya. Wanita itu meraih tangan Jesslyn dan menggenggamnya. "Kau benar, karena doa seorang Ibu bisa menembus langit. Istirahat, kau pasti lelah. Mulai malam ini dan seterusnya, kamar ini akan menjadi kamarmu."
Jesslyn tersenyum. "Terima kasih, Nyonya."
"Mama, panggil aku Mama, Jesslyn. Sekarang kita adalah keluarga, ingat itu baik-baik," ucapnya sebelum melangkah pergi meninggalkan Jesslyn dalam kehampaan.
Selepas Nyonya Veronica pergi, ruangan itu menjadi hampa kembali. Hanya ada Jesslyn dan Neo. Gadis itu menghela napas untuk kesekian kalinya. Dengan ragu dia berbaring di samping Neo, suami komanya.
***
Pagi hari telah tiba. Mentari pagi mengintip masuk melalui tirai kamar, menghangatkan dan menerangi suasana kamar yang sunyi. Jesslyn berdiri di samping ranjang sambil membawa baskom kecil berisi air dan waslap di tangannya.
Dia menarik napas dalam, Jesslyn mencoba mengumpulkan keberanian. "Baiklah, ini adalah tugas baruku sekarang," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Dengan ragu, Jesslyn membuka pakaian yang melekat di tubuhnya dan mulai membersihkan tubuh Neo, mengikuti arahan yang diberikan pelayan sebelumnya. Saat menyentuh dada bidang pria itu, tangannya berhenti sejenak.
"Wow," bisiknya pelan, matanya membulat sempurna. "Kau memiliki tubuh yang bagus. Ototmu ini, apa sebelumnya kau seorang atlit? Tapi aku rasa itu tidak mungkin, keluargamu sangat kaya raya, mungkin saja kau seorang CEO." Jarinya tanpa sadar bergerak menyusuri garis otot di dada Neo yang kokoh. "Sayang sekali kau koma."
Dia tertawa kecil, Jesslyn merasa sedikit aneh berbicara dengan seseorang yang tidak merespons. "Dan kalau dilihat-lihat, wajahmu juga tampan. Andaikan saja kau hidup dan normal, pasti aku sudah memamerkanmu pada mereka yang selalu meremehkanku. Aku bisa bilang, 'Hei, ini suamiku! Lihat betapa beruntungnya aku!' Tapi sayangnya, kau seperti patung."
Jesslyn mendesah berat, lalu menatap lengan Neo. "Tapi, apa benar kau benar-benar koma? Atau jangan-jangan kau hanya pura-pura?"
Dengan cepat, dia mencubit lengan Neo. Tidak ada reaksi. Dia mendekatkan wajahnya, menggigit lengan itu dengan lembut. "Hmm, keras seperti batu. Kau benar-benar tidak bisa merasakan apa-apa, ya?"
Jesslyn menghela napas, mengusap lengan Neo yang baru saja dia gigit. "Maaf, aku hanya penasaran. Kalau saja kau bisa bicara, aku yakin kau akan menertawakanku sekarang."
Gadis itu bangkit dari posisinya lalu berjalan menuju lemari besar yang ada disisi kiri tempat tidur. Jesslyn membuka dua pintu besar dan tinggi di depannya, deretan pakaian mewah dan mahal berjajar di depan matanya. Dia tampak menimbang pakaian mana yang akan dia kenakan pada sang suami.
Setelah beberapa saat menimbang dan memilih, dia menarik sehelai kemeja hitam lengan terbuka dan memadukannya dengan celana panjang hitam. "Meskipun koma, tetap harus fashionable," gumamnya sambil tersenyum kecil. "Sepertinya kemeja ini tidak terlalu buruk."
Dia mengambil singlet, celana, dan dia berhenti sejenak—sehelai cel4n4 d4lam. Matanya terpaku pada kain kecil itu. "Baiklah, ini bagian yang pasti akan membuatku gugup," katanya pelan.
Jesslyn melangkah mendekati Neo, lalu meletakkan pakaian dengan rapi di atas meja kecil di samping ranjang. Saat tiba waktunya untuk mengganti cel4n4 d4l4m Neo, dia menggigit bibir bawahnya, menatap pria itu dengan alis berkerut.
"Oke, aku bisa melakukannya. Ini adalah tugas seorang istri, lagipula dia juga tidak akan tau apa yang sedang kulakukan," katanya, Jesslyn berusaha menyemangati dirinya sendiri. Tapi saat tangannya mulai bergerak membuka p4ka!an bagian bawah Neo, wajahnya langsung memerah.
"Tidak, tidak, aku tidak siap melihat itu!" Jesslyn menutup matanya rapat-rapat dengan satu tangan sementara tangan lainnya mencoba memasangkan cd dengan canggung.
"Astaga, kenapa ini terasa seperti ujian moral?" gumamnya dengan nada kesal. Tangan gemetar, dia meraba-raba, memastikan semuanya terpasang dengan benar tanpa harus membuka matanya. "Kalau saja kau sadar, aku pasti sudah memarahimu karena membuatku melakukan ini!"
Setelah merasa tugasnya selesai, Jesslyn membuka matanya perlahan, wajahnya masih merona. Dia menatap Neo yang tetap diam seperti sebelumnya. "Oke, satu masalah selesai. Dan sekarang ke tugas selanjutnya. Meskipun koma, tapi harus tetap menawan. Dan sekarang kau sudah berada di tangan yang tepat, jadi saat bangun suatu saat nanti. Kau harus balas budi padaku, oke,"
***
Bersambung
.