"Kamu tahu arti namaku?" Ucap Acel saat mereka duduk di pinggir pantai menikmati matahari tenggelam sore itu sembilan tahun yang lalu.
"Langit senja. Akash berarti langit yang menggambarkan keindahan langit senja." jawab Zea yang membuat Acel terkejut tak menyangka kekasihnya itu tahu arti namanya.
"Secinta itukah kamu padaku, sampai sampai kamu mencari arti namaku?"
"Hmm."
Acel tersenyum senang, menyentuh wajah lembut itu dan membelai rambut panjangnya. "Terimakasih karena sudah mencintaiku, sayang. Perjuanganku untuk membuat kamu mencintaiku tidak sia sia."
Air mata menetes dari pelupuk mata Zea kala mengingat kembali masa masa indah itu. Masa yang tidak akan pernah terulang lagi. Masa yang kini hanya menjadi kenangan yang mungkin hanya dirinya sendiri yang mengingatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RahmaYesi.614, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali
{Bandara Soekarno-Hatta}
Akash Ceilo Sandrio, kembali menginjakkan kakinya di tanah kelahiran setelah hampir dua bulan di Korea untuk urusan bisnisnya. Kepulangannya disambut oleh asisten pribadinya, Lui.
"Selamat datang kembali, tuan muda Acel." sambutnya yang dibalas dengan sedikit senyuman diwajah tuan mudanya itu.
Acel melangkah lebih dulu menuju mobil yang sudah disiapkan untuk perjalanannya menuju rumah utama untuk menemui wanita yang sangat dirindukannya. Lui buru buru mengejar langkahnya sambil menarik koper berukuran kecil milik tuan mudanya.
"Apa Mama baik baik saja selama aku di Korea?"
"Nyonya baik baik saja, selain kekhawatirannya karena tuan muda belum juga memutuskan untuk segera menikah, sementara peringatan seratus hari Kakek semakin dekat."
"Haruskah aku mengurus Sky grup?"
"Karena Kakek mempercayakan Sky grup pada Tuan muda, tentu Tuan muda harus melakukan itu." Acel menanggapi dengan anggukan pelan, sementara Lui mulai melajukan mobil menuju rumah utama.
Alia menyambut kedatangan putranya dengan merentangkan kedua tangannya dimana sang putra langsung menghambur dalam pelukan hangat yang selalu dirindunya setiap saat. Acel sangat menyayangi Mamanya terlepas dari rahasia besar yang disembunyikan sang Mama darinya tentang Zea Emila Kurnia.
"Aku rindu pelukan hangat, Mama."
"Tapi, Mama sudah bosan memeluk tubuh tinggi besar ini. Mama ingin memeluk tubuh mungil yang bisa memanggil Mama dengan sebutan, Nenek." goda Alia sambil melepas pelukannya.
"Aku tidak akan pernah memberikan itu untuk, Mama."
"Kenapa? Apa kamu tidak bergairah terhadap wanita?!"
Acel tersenyum malas mendengar pertanyaan Mamanya. Kakinya dia bawa melangkah masuk ke rumah besar itu.
"Lui, ayo masuklah dulu. Mama sudah menyiapkan makanan untuk kalian."
Alia mengajak Lui ikut masuk dan dia selalu meminta Lui memanggilnya Mama sama seperti Acel, tapi Lui tidak pernah mewujudkan keinginan Nyonya besarnya itu. Sampai saat ini dia terus memanggil Alia dengan sebutan Nyonya.
"Apa kamu benar benar tidak suka wanita?"
"Ya, aku tidak suka wanita. Mereka cerewet seperti, Mama."
"Mama akan carikan wanita yang tidak cerewet..."
"Aku tidak mau, Ma."
"Ayolah, sayang. Kamu sudah 33 tahun, sudah saatnya kamu menikah dan punya anak."
"Ma, please jangan membuatku malas datang kesini karena Mama terus mendesakku untuk segera menikah."
"Mama tidak mendesak, hanya penasaran apakah putra mama ini normal atau malah..." matanya melirik kearah Lui yang baru saja tiba di ruang tengah itu.
Tatapan itu membuat Lui seperti dituduh menjadi penyebab Acel tidak mau menikah, dengan cepat Lui menggelengkan kepalanya.
"Tidak, Nyonya. Jangan salah paham, saya sungguh masih sangat normal terlepas apakah tuan muda Acel masih normal atau tidak."
"Lui!!" Teriak Acel sambil melemparkan batal kecil Sofa kearah asisten kepercayaannya itu.
"Saya rasa Tuan muda masih sangat normal, Nyonya." Ulang Lui setelah mendapat lemparan dari tuan mudanya yang membuat Alia tertawa gemas melihat interaksi dua pria dewasa yang masih setia melajang itu.
.
.
.
Handi, asisten kepercayaan David yang kini menjadi asisten Alia, baru saja tiba di Bandara untuk memastikan apa yang baru saja dia dengar dari anak buahnya yang mengabarkan bahwa hari ini Zea kembali ke Negara kelahirannya.
Mata lelaki paruh baya itu tak berkedip saat menangkap sosok yang ditunggunya itu benar benar telah kembali. Ada sedikit air menggenang di pelupuk matanya melihat gadis itu tampak sehat dan semakin putih, serta berpenampilan berbeda dari delapan tahun yang lalu.
Zea terlihat celingukan entah siapa yang dicarinya. Saat matanya hampir saja menemukan Handi, dengan cepat lelaki paruh baya itu bersembunyi di balik punggung punggung orang yang ada didekatnya.
"Zea!" Seorang wanita seumurannya melambaikan tangan dan dengan langkah pasti Zea menghampiri lalu mereka berpelukan.
"Lia, aku kembali."
"Hmm, selamat datang kembali Zea."
Lia melepaskan pelukannya untuk melihat dengan jelas sahabat baiknya yang tiba tiba menghilang delapan tahun yang lalu, kemudian tiba tiba mengabarinya bahwa dia akan segera kembali. Tentu Lia sangat bahagia dan merindukan sahabat yang sudah dianggapnya sebagai keluarga karena mereka sama sama tumbuh dan besar di panti asuhan.
"Zea, kamu makin putih, makin cantik dan..." mata Zea menatap perut sahabatnya itu yang tampak datar. "Bayimu..." tanya Lia ragu.
Delapan tahun yang lalu, tepatnya dua hari sebelum Zea menghilang dia memberitahu Lia tentang kehamilannya. Karena itulah kini Lia mempertanyakan keberadaan bayi yang dikandung sahabatnya itu.
"Aku tidak memilikinya. Dia lahir, tapi tidak sempat melihat wajah cantikku." jawabnya dengan nada suara gemetar menahan rasa sakit dan sedihnya karena tidak bisa menyelamatkan bayinya.
Lia kembali memeluk erat Zea. Dia menitikkan air matanya dibalik punggung sahabatnya. Dia sangat mengerti bagaimana perasaan sahabatnya itu hanya dari cara bicaranya barusan.
"Suatu saat nanti, kamu akan mendapatkan penggantinya lagi, Zea."
"Entahlah Lia. Aku tidak pantas menjadi seorang Ibu. Aku jahat, aku egois, aku tidak berhak dipanggil Ibu."
"Zea..."
Lia mengeratkan pelukannya. Merasakan sakit yang dialami sahabatnya itu yang berjuang sendirian di Negara asing tanpa ada seorangpun disisinya dan tidak berani mengabari siapapun karena teringat ancaman dari Nyonya Alia sebelum mengirimnya pergi jauh dari kehidupan putra kesayangannya.
.
.
.
Lia membawa Zea ke apartemen kecilnya. Dia bisa tinggal di apartemen ini karena menjadi karyawan tetap di perusahaan besar yang gajinya fantastis untuk dirinya yang tidak pernah mendapat uang sebanyak itu sebelumnya. Lia sudah bekerja di R.D grup sejak tiga tahun lalu dan baru diangkat sebagai karyawan tetap bagian Pemasaran setahun yang lalu. R.D Grup adalah anak perusahaan milik keluarga Sandrio yang kini dipimpin oleh Raka dan sudah menjadi miliknya seperti surat wasiat sang Kakek.
"Zea, kamu istirahat saja yang nyaman ya. Anggap rumah sendiri. Makanan juga ada di kulkas, tinggal panas-in aja."
"Terimakasih, Lia."
"Iya. Gak usah sungkan, tau."
"Hmm."
"Aku tinggal dulu, ya. Aku cuma izin bentar tadi. Kalau telat nanti boss aku ngomel ngomel."
Zea menanggapi dengan anggukan saja. Dia menatap kepergian Lia hingga menghilang dibalik pintu apartemen yang kembali tertutup rapat. Kini dia sendirian, digunakannya suasana sepi sunyi itu untuk mengistirahatkan matanya yang terasa perih akibat menahan rasa ngantuk sejak masih di pesawat tadi.
Mata itu terpejam ketika punggungnya bertemu dengan kasur empuk milik Lia. Setitik air mata tiba tiba keluar dari kedua ujung matanya. Ada rasa sakit, sedih dan kerinduan yang membuat bulir bening itu jatuh begitu saja.
Tangannya menggenggam erat leher bajunya, melampiaskan rasa rindu yang tak tertahankan begitu raganya telah kembali ke Negara dimana dia sempat meninggalkan prianya tanpa kabar berita delapan tahun yang lalu.
"Kak Acel, maafkan aku..." gumanya untuk pertama kalinya menyebut nama itu lagi setelah delapan tahun mencoba untuk tidak menyebut atau mengingat pria itu lagi.
Tidak jauh berbeda dengan Zea, Acel yang tidak pernah mengungkit tentang belahan jiwanya itu sejak dia kehilangannya, saat ini tiba tiba saja hatinya terasa sakit karena merindukan gadisnya. Padahal selama ini dia terus menanamkan rasa bencinya kepada Zea yang tiba tiba menghilang pergi dengan pria lain dalam keadaan hamil.