Gadis cantik selesai mandi, pulang ke gubugnya di tepi sungai. Tubuh mulus putih ramping dan berdada padat, hanya berbalut kain jarik, membuat mata Rangga melotot lebar. Dari tempatnya berada, Rangga bergerak cepat.
Mendorong tubuh gadis itu ke dalam gubug lalu mengunci pintu.
"Tolong, jangan!"
Sret, sret, kain jarik terlepas, mulut gadis itu dibekap, lalu selesai! Mahkota terengut sudah dengan tetesan darah perawan.
Namun gadis itu adalah seorang petugas kesehatan, dengan cepat tangannya meraih alat suntik yang berisikan cairan obat, entah apa.
Cross! Ia tusuk alat vital milik pria bejad itu.
"Seumur hidup kau akan mandul dan loyo!" sumpahnya penuh dendam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Syarifah Hanum, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Hari masih terlalu pagi, namun Nadira dengan terburu buru meninggalkan rumah keluarga ayahnya.
Kejadian semalam sore sangat mengganggu mentalnya dan ia tidak ingin rentetan peristiwa itu semakin panjang dan semakin ruwet.
Kini di sinilah dia, di dalam sebuah bus besar lintas provinsi yang membawanya entah kemana.
Saat ia membeli tiket ia cuma mengatakan ingin ke pemberhentian terakhir bus ini.
Tentu saja petugas tiket kebingungan karena ulah Nadira.
"Gadis stres!", pikir petugas tiket itu.
Di bangku bus yang tinggi inilah Nadira membenamkan tubuhnya. Ia memejamkan matanya dan mencoba menghalau kejadian yang mengerikan tersebut.
Ketakutan Nadira semakin memuncak, mana kala ia ingat jika dia baru tiga hari selesai haid. Sebagai calon perawat tentu ia tahu ia sedang memasuki masa subur.
" Aku bisa hamil! Ya Tuhan, bagaimana ini?", keluhnya.
Sempat terpikirkan olehnya untuk membeli obat merk ge*****d, untuk melunturkan calon janin, namun ia takut, jika ia hamil anaknya bisa terlahir cacat atau bahkan mati.
Karena obat hormon itu tidak seratus persen ampuh. Bisa gugur, bisa tidak, jika calon janin tersebut kuat tertanam di rahimnya.
"Arkh..!"
Dengan kuat Nadira menggelengkan kepalanya, ia mencoba menghalau pikiran buruk yang menyesaki otaknya.
"Mau kemana dek", tanya seorang ibu yang duduk di sebelahnya. Ibu itu kira kira seumuran dengan bik Mira.
" Ke Jakarta bu!", sahut Nadira malas. Ia sengaja menguap lebar, agar ibu itu tidak lagi bertanya.
"Di Jakarta dimananya?"
Sepertinya keinginan Nadira untuk tidur tidak terlaksana, ibu itu terus saja bertanya.
"Nggak tahu bu, nanti kerabat saya jemput di terminal. Maaf bu saya mau tidur, saya ngantuk!", sahut Nadira jutek.
Malas berlama lama melayani ibu itu,Nadira menggeser tubuhnya menghadap jendela, karena ia duduk memang di samping jendela.
Kedua kakinya ia angkat dan tangannya ia gunakan untuk mengganjal kepalanya.
Nadira cukup waspada, ia memakai tas selempang berukuran sedang, yang ia letakkan di dada lalu ia menutupnya dengan hijab panjangnya yang ujungnya sengaja ia duduki.
Ia tidak mau kecopetan seperti kisah kisah di sinetron atau di novel, jika pertama kali datang ke kota besar.
Ibu itu tersenyum, di dalam hatinya ia bersorak gembira.
" Ada calon mangsa ini, gadis, cantik dan masih muda pula!"
Diam diam ibu itu mengamati wajah cantik yang sedang memejamkan matanya itu.
"Cantik alami tanpa polesan. Hidung sedang, bibir sensual, bulu mata lentik, alis tebal tanpa celak, ini pasti mahal!"
Satu persatu ia pindai wajah molek Nadira.
Setelah beberapa jam bus melaju, sopir membawa ke sebuah restoran yang cukup ramai yang terletak di pinggir jalan besar.
"Dek, bangun! Bus berhenti, sebaiknya kita turun untuk makan atau buang air!", ucap ibu itu sambil mengguncang tubuh Nadira.
" Hem..! Nadira berdehem, ia membuka matanya yang masih layu.
"Apakah kita sudah sampai bu?", tanya Nadira linglung. Nyawanya masih mengambang.
" Ha ha ha, masih jauh sekali dek! Kita belum menyeberangi lautan".
"Jadi dimana ini?"
"Baru pertama naik bus ya dek?"
"Iya, biasanya aku naik pesawat", dusta Nadira. Sengaja ia bicara tidak jujur agar tidak dianggap sepele.
Entah kenapa hatinya berkata, jika ibu itu bukan perempuan baik baik.
Gayanya terlalu berlebihan untuk perempuan seumurannya.
Celana panjang ketat, dengan atasan tunik leher sabrina dan dandanan menor, serta rambut berwana pirang, ibu itu mirip dengan gaya tante tante girang atau mami mucikari.
Nadira membungkuk, sengaja membuka tas pakaian yang ia letakkan di bawah kakinya dengan maksud untuk menunjukkan pada ibu itu jika isi tasnya bukan benda berharga.
Hanya berisikan pakaian murah, handuk dan sedikit perlengkapan mandi serta make upnya.
Dugaan Nadira benar, ibu itu melirik ke dalam tasnya.
" Ayo kita turun bu!"
Kemudian Nadira meminta jalan pada ibu itu untuk turun dari bus.
Setelah selesai urusannya di kamar mandi, Nadira memesan makanan dan memilih makan sendirian, karena ia tidak mengenal satu pun dari penumpang bus itu, termasuk.si ibu tadi.
Selesai makan, Nadira berjalan jalan di sekitar bus, sambil menunggu bus berangkat.
Ia melakukan hal itu, agar kakinya tidak bengkak karena berjam.jam duduk di dalam bus.
Setengah jam berlalu, bus kembali jalan.
Nadira memakai headset, lalu ia memainkan ponselnya.Ia malas beramah tamah dengan perempuan yang duduk di sebelahnya itu.
Walau telinganya mendengarkan lagu lagu dari ponselnya, namun pikiran juga terus berlari ke waktu kemarin.
Sebenarnya ia tidak sengaja membawa jarum suntik ke gubugnya.
Saat itu ia hanya berpikiran jarum suntik yang berisi obat bius dengan kadar yang cukup tinggi itu, hanyalah untuk berjaga jaga jika ada ancaman terhadap keselamatan dirinya.
Obat bius itu memang diperuntukan untuk melumpuhkan seseorang yang akan menyerangnya.
Ternyata Rangga berhasil merampas asetnya, sebelum ia berhasil melumpuhkannya.
Bus terus berlari, mengikis jarak dan mengejar waktu, pikiran Nadira juga berpacu menggilas hatinya yang kian nelangsa.
Ia tidak mungkin lagi melanjutkan kuliahnya.
Kota tempatnya menuntut ilmu hanya berjarak puluhan kilo meter saja dari desanya.
Mudah bagi Rangga jika ia ingin menemukan Nadira.
Berdasarkan keterangan dari bik Mira dan paman Bardi, tentu Rangga akan mendatangi kampusnya dan mencari keberadaannya.
Dalam diamnya dan sibuknya pikirannya, sesekali Nadira melantunkan doa pada Tuhannya.
Memohon perlindungan dan keselamatan dirinya dari orang orang yang ingin menyakitinya.
Namun Nadira tersentak kaget, saat ia merasakan seseorang meraba dadanya dan mencari cari keberadaan tas selempangnya.
Nadira mempererat dekapan tasnya itu, ia tahu, ibu yang di sebelahnya itu bermaksud ingin mencuri isi tasnya.
Karena merasa terganggu, dengan sekuatnya Nadira menampik tangan ibu itu lalu menegakkan tubuhnya pada sandaran kursi.
"Apa yang ibu lakukan hah!?", seru Nadira marah dan menoleh ke arah ibu itu.
Tapi Nadira heran, ternyata si ibunya seperti sedang tertidur lelap dan mengecap ngecapkan mulutnya.
Ibu itu bermimpi, ia juga menggerakan tangannya kemana mana.
" Benarkah ibu itu sedang bermimpi? Atau hanya berpura pura?", pikir Nadira.
Karena tidak ingin menimbulkan keributan, Nadira tidak mempedulikan si ibu itu.
Tubuh ibu itu yang sedikit condong ke arahnya, ia dorong perlahan hingga tubuhnya duduk tegak.
Tas selempang yang berisi benda benda berharga miliknya, ia geser ke sisi tubuhnya, dia jepit ke dinding bus.
"Jangan pernah percaya pada siapa pun di tempat asing!"
Begitu Nadira menanamkan prinsip itu pada dirinya sendiri.
"Tidak ada orang yang benar benar tulus membantumu!", bisik Nadira mensugesti dirinya.
Bus menikung, tubuh itu kembali mencondong, bahkan kali ini kepalanya jatuh ke bahu Nadira.
Tentu saja Nadira merasa risih sekali.
Apa lagi bau parfum murahan ibu itu sangat menyengat indra penciumannya membuat perut Nadira mual dan ingin muntah.
" Bu, tolong duduknya yang benar!", ucap Nadira sambil mendorong pelan kepala si ibu.
Namun tampaknya, ibu itu tidak senang akan perlakuan Nadira0 terhadapnya, ia menegakkan tubuhnya dan menatap Nadira dengan tajam.
"Mau enak, naik mobil pribadi kau!!", bentak.ibu itu marah dan tidak terima.