Bertahun-tahun aku berusaha melupakan kenangan kelam itu, namun mimpi buruk itu selalu menghantuiku bahkan setiap malam. Akupun tidak bisa bersentuhan dengan laki-laki. Entah sampai kapan ini akan terjadi. Ku kira selamanya tidak akan ada pria yang masuk dalam hidupku. Hingga dia datang dan perlahan merubah kepercayaanku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Pertama
"Sya, apa kamu yakin kalau kamu tidak papa?" Lia bertanya pada Nasya untuk memastikan keadaanya.
"Aku sudah tidak papa. Tidak perlu khawatir." Nasya menanggapi dengan senyum tipis dibibirnya.
Sejak tadi Alex terus menatap wajah Nasya. Dia ingin bertanya tentang apa yang terjadi padanya, namun ada rasa ragu yang menahannya.
"Lex, kenapa kamu menatap Nasya seperti itu?" tanya Lia yang memperhatikan Alex.
"Tidak, itu … Sya, sebenarnya kamu sakit apa? Obat apa yang kamu minum tadi?" Alex tidak bisa lagi menahan rasa ingin tahunya. Dia bertanya pada Nasya dengan ragu-ragu.
"Bukan apa-apa. Itu hanya obat penenang biasa saja." Nasya menjawab pertanyaan Alex dengan sikap yang santai.
"Kamu yakin kalau kamu tidak sakit serius?"
Dahi Nasya berkerut saat dia mendengar pertanyaan dari Alex.
"Tidak. Aku tidak memiliki penyakit serius apapun." Jawab Nasya disertai gelengan kepala perlahan.
"Oh begitu." Alex menjawab dengan senyum paksa dibibirnya.
"Dia tidak memiliki penyakit apapun? Lalu kenapa dia tadi seperti itu? Jika aku memiliki istri seperti itu ... Apa yang akan terjadi pada anakku nanti. Aku tidak ingin punya istri canti tapi malah menyusahkan nantinya." pikir Alex setelah mendapat jawaban dari Nasya.
"Apa ini restoran yang kamu maksud?" tanya Lia setelah mereka tiba disebuah restoran yang didepannya dipenuhi karangan bunga dengan ucapan selamat.
"Ya, benar. Ini restorannya. Ayo kita masuk ke dalam!"
Pembicaraan mereka terhenti setelah mereka tiba direstoran untuk makan siang.
"Selamat datang. Maaf kursi kami sedang penuh. Apa tidak papa untuk bergabung dengan pengunjung lain? Atau kalian mau menunggu hingga ada meja yang kosong?"
Salah seorang karyawan restoran menyambut Alex, Lia dan Nasya saat mereka masuk. Dia juga bertanya dengan sopan mengenai tempat duduk yang ada.
Alex, Lia dan Nasya pun menoleh ke setiap sudut restoran dan melihat kalau memang semua meja yang ada disana sudah terisi penuh.
"Bagaimana? Apa mau makan disini atau kita bawa ke kantor saja?" tanya Lia pada Nasya dan Alex.
"Aku terserah kalian saja." Nasya mengangkat kedua bahunya serempak dan menyerahkan keputusan pada Lia dan Alex.
"Kalau begitu kita makan disini saja. Aku sudah sangat lapar." Setelah melihat Nasya dan Alex yang tidak bisa mengambil keputusan, akhirnya Lia yang memutuskan.
"Kalau begitu silahkan ikut saya. Disana ada kursi yang cukup untuk kalian bertiga."
Karyawan restoran itu pun membawa Alex, Lia dan Nasya ke tempat duduk yang cukup untuk mereka bertiga.
"Permisi, Pak. Bisakah ketiga orang ini bergabung dengan anda disini? Meja lain sudah terisi semua. Hanya ini meja tersisa yang cukup untuk mereka." Karyawan restoran bertanya pada salah satu pengunjung agar mengizinkan Alex, Lia dan Nasya untuk bergabung.
Tamu itu berhenti makan dan meletakkan sendok yang sedang dipegangnya. Dia mengangkat kepalanya dan menatap wajah karyawan restoran dengan sorot mata yang tajam. Tatapannya terasa sangat menusuk hingga bulu kuduk karyawan restoran terasa merinding dan tangannya sedikit gemetar karena takut.
"Kenapa kami harus berbagi? Kami juga tamu disini?". Pemuda itu menanggapi dengan sikap yang dingin.
"Ma-maaf Pak. Jika anda tidak mengizinkannya, maka saya akan membawa mereka ke tempat duduk yang lain. Permisi" karyawan restoran itu tergagap saat bicara karena dia merasa takut. Diapun berbalik untuk bicara pada Alex, Lia dan Nasya.
Nasya terlihat sedikit kesal karena pria itu.
"Permisi, apa restoran ini milikmu? Atau kursi ini milikmu secara pribadi? Kenapa kami tidak bisa duduk dan makan disini? Kurasa kamu tidak membayar secara khusus untuk duduk disini?" ujar Nasya dengan sikap yang sinis dan kesal.
Pemuda itu kini menatap Nasya. Dia adalah Juna dan Yudi yang sedang makan siang sebelum menghadiri rapat berikutnya.
"Bagaimana kalau aku bilang ini termasuk salah satu restoran milikku?" ujar Juna menanggapi Nasya.
"Maka seharusnya kamu memberikan pelayanan terbaik karena kami akan makan direstoran milikmu. Kamu harus meninggalkan kesan yang baik pada pengunjung agar kami mau kembali makan disini kan?" Nasya tidak ingin kalah dan menanggapi Juna dengan sikap yang tegas.
"Sya, udah Sya. Malu dilihat semua orang." Lia berusaha menenangkan Nasya karena kini semua orang yang ada direstoran menatap ke arah mereka.
"Tidak. Kalau kita tidak makan sekarang, maka kita bisa kembali bekerja tanpa makan. Dan hanya meja ini yang punya tiga kursi kosong." ujar Nasya bersikeras.
"Maaf, Pak. Kita biarkan saja mereka bergabung disini. Bukankah bagus jika makan bersama banyak orang?" Yudi berusaha menenangkan Juna agar keributan ini tidak berkepanjangan.
Juna langsung menoleh pada Yudi dengan tatapannya yang sinis.
"Aku tidak suka makan dengan banyak orang!" Tegasnya singkat. Yudi tidak bisa berkata apa-apa lagi pada Juna dan kembali diam.
Dari kejauhan seorang pekerja lain melambaikan pada rekannya dan memberitahu jika ada meja yang baru saja ditinggalkan pengunjung restoran.
"Permisi, Pak, Bu, tolong hentikan. Disana kebetulan sudah ada meja kosong, jadi anda bertiga bisa duduk disana." Karyawan restoran melerai Nasya dan Juna dengan memberitahu kalau ada meja yang sudah tersedia.
"Oh baiklah. Permisi kalau begitu." Nasya yang kesal bersikap sinis saat dia berbalik meninggalkan Juna dan berjalan menuju meja yang dimaksud diikuti Lia dan Alex dibelakang.
"Sya, kenapa kamu bersikap kasar pada pria itu? Ini pertama kalinya aku melihatmu bersikap begitu." Lia sedikit berbisik saat dia bertanya pada Nasya.
"Tidak papa. Aku hanya kesal dengan sikapnya yang sombong itu." Nasya masih terlihat kesal saat membahas Juna.
"Tapi … Apa kamu tidak lihat kalau dia sangat tampan? Daripada bertengkar dengannya, kenapa kamu tidak mendekatinya saja?" ujar Lia sambil menyenggol tangannya Nasya.
"Tampan? Dia? Apa kamu rabun? Mana ada pria sombong itu terlihat tampan?" Nasya menanggapi dengan nada mencibir dan juga bibir mengerucut.
"Kamu yang rabun. Standarmu terlalu tinggi jika pria tadi tidak kamu anggap tampan." ujar Lia yang terlihat kesal pada Nasya. Dia sesekali masih menoleh kebelakang untuk melihat Juna.
"Bukankah yang dikatakan Nasya itu benar? Aku jauh lebih tampan jika dibandingkan dengan pria tadi. Memang sih pria tadi itu memiliki wajah yang cukup sempurna. Tapi jika dibandingkan denganku … Kurasa itu bukan apa-apa."
Alex langsung menyela pembicaraan Lia dan Nasya dengan pendapatnya.
"Kamu lebih tampan darinya? Sepertinya kamu pakai cermin retak saat berkaca. Lebih baik kamu beli cermin yang lebih bagus jika ingin membandingkan penampilanmu dengan orang lain." Lia menanggapi Alex dengan nada mencibir.
"Apa maksudmu? Kamu saja yang punya selera jauh lebih rendah dibandingkan Nasya." Alex tidak terima dengan ucapan Lia dan menanggapi cibirannya.
Nasya memperhatikan interaksi Alex dan Lia. "Sepertinya kalian berdua ini sangat cocok satu sama lain." ujar Nasya yang membuat Alex dan Lia terdiam dan langsung menoleh padanya.
"Omong kosong!" ujar Alex dan Lia secara bersamaan. Nasya hanya tersenyum melihat respon keduanya.
tapi tetep suka karena sifat laki²nya tegas no menye² ...