Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus Universitas Citra, Vano, seorang mahasiswa hukum yang cerdas dan karismatik, ditemukan tewas di ruang sidang saat persidangan penting berlangsung. Kematian misteriusnya mengguncang seluruh fakultas, terutama bagi sahabatnya, Clara, seorang mahasiswi jurusan psikologi yang diam-diam menyimpan perasaan pada Vano.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fadhisa A Ghaista, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bayang bayang kematian
Naya merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya, jantungnya berdetak begitu kencang hingga rasanya terdengar di seluruh ruangan. Dalam gelap, ia mengintip sedikit dari balik meja saksi, melihat bayangan sosok misterius itu bergerak perlahan, mengitari ruang sidang dengan pisau di tangan. Bayangan itu tampak ragu, seakan mencari sesuatu—atau seseorang.
Setiap langkah pria itu menghasilkan bunyi pelan yang menggema di lantai kayu tua ruang sidang. Naya menahan napas, tubuhnya berusaha melebur dalam kegelapan, berharap keberadaannya tidak disadari. Namun, rasa takut menyelimuti dirinya begitu kuat. Pikirannya berpacu mencari jalan keluar, tetapi tidak ada cara yang aman. Hanya ada satu pintu masuk, dan sosok itu berdiri tepat di ambang pintu, menghalangi satu-satunya jalan kabur.
Sambil bersembunyi, Naya meremas amplop berisi foto dan catatan itu, menyadari bahwa mungkin inilah alasan Vano dibunuh. Tanda-tanda ini, petunjuk ini—semua berbau rahasia yang tidak boleh terungkap.
Tiba-tiba, pria itu berhenti, mengangkat pisau di tangannya dan menatap sekeliling dengan intens. Naya mengalihkan pandangannya, merasa bahwa sosok itu bisa saja menangkap bayangan atau pergerakannya sekecil apa pun.
“Siapa pun yang di sini, keluar sekarang,” suara pria itu terdengar dingin dan tajam, bergema di ruangan hampa. Tidak ada nada marah atau panik; hanya ketenangan yang menyeramkan.
Naya merapatkan bibirnya, berusaha tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Ia memeluk lututnya erat, menundukkan kepalanya agar tidak terlihat dari sela-sela meja. Tapi di dalam dadanya, hatinya sudah kacau balau. Jika pria itu menemukannya, ia tahu tak akan ada kesempatan untuk bertanya atau memohon.
Beberapa detik berlalu, lalu pria itu melangkah lagi, kali ini mendekat ke meja saksi. Naya memejamkan mata, berharap ia tak akan menemukannya. Namun, saat suara langkahnya semakin dekat, napas Naya semakin tersengal.
Ketika pria itu sampai di dekat meja saksi, ia berhenti lagi, seperti merasakan keberadaan seseorang di dekatnya. Naya hampir menyerah pada ketakutannya, merasa bahwa detik ini akan menjadi detik terakhirnya.
Saat itu juga, terdengar suara langkah cepat dari lorong luar ruangan. Seseorang mendekat.
Pria itu menoleh ke arah pintu, tampak terkejut sesaat. Dengan cepat, ia melangkah mundur dan berlari keluar ruangan tanpa suara, menghilang ke dalam kegelapan lorong.
Naya tidak langsung bangkit. Dia tetap bersembunyi, menunggu sampai langkah kaki misterius itu benar-benar menghilang. Napasnya masih tertahan, tetapi dalam dadanya ada sedikit kelegaan. Seseorang—atau sesuatu—telah menyelamatkannya.
Beberapa saat kemudian, suara langkah yang lebih familier terdengar. Seorang penjaga kampus muncul di ambang pintu, memegang senter. Cahaya senter itu menyapu seluruh ruangan, berhenti sejenak di meja saksi di mana Naya masih bersembunyi.
“Hei! Siapa di sana?” suara penjaga terdengar curiga. Cahaya senter menyorot ke arah Naya, dan ia tahu tak ada gunanya bersembunyi lagi.
Naya bangkit perlahan, kedua tangan terangkat sedikit, menunjukkan bahwa ia tidak membawa senjata atau melakukan sesuatu yang mencurigakan. Wajah penjaga itu terlihat terkejut saat mengenalinya.
“Naya? Apa yang kamu lakukan di sini malam-malam begini?” tanya penjaga itu, dengan nada heran namun waspada.
Naya, yang masih sedikit gemetar, berusaha menenangkan diri. “Maaf, Pak… Saya… saya cuma mencari beberapa bahan untuk tugas.”
Penjaga itu menatapnya dengan ekspresi tak percaya, tetapi tidak menanyainya lebih lanjut. “Seharusnya kamu tidak berkeliaran di tempat ini malam-malam, apalagi setelah kejadian kemarin.”
Naya mengangguk pelan, masih memegang amplop di tangannya. “Ya, maafkan saya, Pak. Saya akan segera keluar.”
Penjaga itu mengangguk, lalu mengantar Naya keluar dari gedung fakultas. Saat melangkah pergi, Naya merasakan hawa dingin yang aneh merayapi kulitnya. Ada sesuatu yang tidak terjawab, sesuatu yang bersembunyi di balik amplop di tangannya.
Begitu ia mencapai asrama, Naya menutup pintu kamarnya dan mengunci rapat-rapat. Amplop itu ia letakkan di mejanya, dan di bawah sinar lampu, ia memeriksa foto-foto dan catatan itu dengan seksama. Matanya tertumbuk pada satu foto terakhir—foto Vano yang tampak berdiri di depan gedung fakultas hukum dengan ekspresi tegang. Di belakangnya, samar-samar terlihat sosok lain yang berjarak beberapa langkah, seolah-olah sedang mengawasi.
Perasaan takut Naya berubah menjadi tekad. Ada yang tidak beres. Ia tahu, apa pun yang telah ditemukan Vano sebelum kematiannya, adalah sesuatu yang berbahaya. Dan ia pun bersumpah, di antara rasa takut dan dorongan ingin tahu, bahwa ia tidak akan berhenti sampai menemukan kebenaran, meskipun itu berarti ia harus menghadapi kegelapan yang membayangi kematian Vano.
°°°°
Naya duduk di depan meja, mengatur ulang pikiran dan emosinya. Amplop yang berisi foto dan catatan itu tergeletak di hadapannya, menunggu untuk diungkap. Ia meraih foto-foto yang ada di dalam amplop itu, meneliti satu per satu, berusaha mengingat setiap detail. Beberapa di antaranya adalah foto Vano yang tersenyum, sedangkan lainnya menampilkan momen-momen di antara teman-teman kuliah mereka, tampak penuh kehidupan dan harapan. Namun, saat matanya terarah pada foto terakhir, rasa khawatirnya kembali muncul.
Vano tampak berbeda di foto itu—wajahnya tegang, seolah menyimpan rahasia yang berat. Naya kemudian beralih ke catatan yang ada di belakang foto. Dengan hati-hati, ia membuka selembar kertas yang terlihat usang, dan mulai membaca tulisan tangan Vano yang rapi.
"Naya, jika kamu menemukan ini, berarti aku sudah tidak ada. Aku terjebak dalam permainan yang lebih besar dari diriku. Mereka tidak akan membiarkan ini terungkap. Jaga dirimu. Jika kamu ingin tahu kebenarannya, kamu harus mencari di tempat yang aku sebutkan. Ada petunjuk di balik suara. Temukan suara itu."
Mata Naya melebar saat ia membaca kalimat terakhir. "Di balik suara?" pikirnya. Apa maksudnya? Suara apa yang harus dicari?
Dalam pikirannya, berputar beragam kemungkinan. Mungkin Vano pernah berbicara tentang sesuatu, atau ada rekaman yang bisa dijadikan petunjuk. Dia mencoba mengingat setiap obrolan, setiap momen di mana Vano terlihat gelisah atau tertekan. Namun, saat ia meraba-raba dalam ingatannya, sebuah nama tiba-tiba muncul: Andra.
Andra adalah teman dekat Vano yang sering membahas isu-isu hukum dan politik, terkadang dengan nada berapi-api. Dia memiliki banyak koneksi di fakultas dan bahkan di luar kampus. Jika Vano merasa terancam, Andra mungkin tahu sesuatu yang bisa membantu.
Naya menepuk-nepuk pipinya, menyadari bahwa ia tidak bisa berlama-lama. Ia harus segera mencari Andra. Dalam kegelapan malam yang pekat, ia mengambil jaketnya dan bergegas keluar dari kamarnya. Suasana kampus yang tenang dan sepi semakin menambah rasa mencekam di hatinya.
Langkahnya cepat menuju asrama Andra, yang terletak tidak jauh dari gedung fakultas. Setiap bunyi langkahnya menggema di lorong, menambah ketegangan yang mengisi udara. Sesampainya di depan pintu kamar Andra, ia mengetuk dengan cepat, berharap sahabatnya itu sedang tidak tidur.
Beberapa detik terasa seperti selamanya sebelum suara langkah kaki terdengar mendekat. Pintu dibuka, dan Andra muncul dengan ekspresi bingung, rambutnya acak-acakan. "Naya? Apa yang terjadi? Kenapa kamu datang malam-malam begini?"
"Nggak ada waktu untuk penjelasan panjang. Aku butuh bantuanmu, Andra. Ini tentang Vano," Naya menjawab cepat, merasakan kepanikan mulai merayap di dadanya.
Andra tampak terkejut. "Vano? Apa kamu sudah mendengar sesuatu?"
"Ya. Aku menemukan beberapa hal di ruang sidang, dan aku rasa dia terlibat dalam sesuatu yang sangat berbahaya. Kita harus mencari tahu," ucap Naya, berusaha menyampaikan urgensi situasinya.
Andra menatapnya serius, lalu mengangguk. "Oke, masuklah. Kita perlu membahas ini."
Naya melangkah masuk ke dalam kamar yang tidak terlalu besar, dikelilingi oleh tumpukan buku dan catatan kuliah yang berserakan. Andra menutup pintu dan mengunci rapat-rapat.
"Jadi, apa yang kamu temukan?" tanya Andra, duduk di tepi tempat tidur.
Naya mengeluarkan amplop dan foto-foto yang telah ia kumpulkan, menyebarkannya di atas meja. "Aku menemukan ini di ruang sidang. Vano menulis pesan ini untukku. Dia menyebutkan sesuatu tentang permainan yang lebih besar dari dirinya dan mencari petunjuk di balik suara."
Andra melihat foto-foto itu satu per satu, matanya menyipit ketika melihat foto terakhir yang memperlihatkan Vano di depan gedung fakultas. "Dia tampak sangat gelisah di sini. Ada sesuatu yang jelas terjadi, Naya. Kita harus mencari tahu."
"Siapa yang bisa kita hubungi? Siapa yang mungkin tahu lebih banyak tentang Vano dan apa yang terjadi padanya?" tanya Naya, semakin tidak sabar.
Andra berpikir sejenak, lalu berkata, "Ada seorang dosen yang bisa membantu. Dia terlibat dalam penyelidikan kasus-kasus hukum yang kompleks dan sering bekerja sama dengan mahasiswa hukum. Namanya Dosen Hwang. Dia tahu banyak tentang jaringan di fakultas ini. Tapi kita harus hati-hati. Jika ada orang yang mencurigakan, mereka bisa saja mengawasi kita."
Naya mengangguk. "Kita harus bertindak cepat sebelum semuanya terlambat."
Mereka berdua segera bersiap-siap, berpikir tentang apa yang akan mereka katakan kepada Dosen Hwang dan bagaimana cara mendapatkan informasi tanpa menarik perhatian. Dalam hati, Naya berdoa agar langkah mereka tidak sia-sia. Kegelapan menyelubungi kampus, tetapi dia tahu, jika mereka bisa menemukan kebenaran, mungkin Vano bisa mendapatkan keadilan yang ia inginkan sebelum ajal menjemput.
Ketika mereka melangkah keluar dari kamar Andra, Naya merasakan ketegangan di udara, seolah-olah sesuatu sedang menunggu di ujung kegelapan. Suara langkah mereka menggema di lorong sepi, tetapi langkah kaki di belakang mereka tidak terdengar. Naya merasa seolah ada mata yang mengawasi mereka dari kegelapan. Mungkin ketakutannya bukan tanpa alasan. Apakah mereka akan menjadi target selanjutnya dalam permainan berbahaya ini?
Setiap detik berlalu, ketegangan itu semakin menguat, dan Naya tahu, perjalanan mereka baru saja dimulai.