Tidak semua cinta terasa indah, ada kalanya cinta terasa begitu menyakitkan, apalagi jika kau mencintai sahabatmu sendiri tanpa adanya sebuah kepastian, tentang perasaan sepihak yang dirasakan Melody pada sahabatnya Kaal, akan kah kisah cinta keduanya berlabuh ataukah berakhir rapuh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Withlove9897_1, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 03
...***...
"Kaal apa kau butuh sesuatu yang lain?"
"Tidak," sahut Kaal tegas.
"Tidak ada."
"Kau boleh pergi"
Melody memandangnya sekilas, gadis itu memaksakan senyum yang membuat suasana hatinya memburuk.
Kaal menarik lengan Melody yang hampir beranjak pergi, Ia tidak akan melewatkan kesempatan untuk sekedar menoreh luka.
"Kau memakai bajuku Melo"
Kepala Melody menunduk memeriksa baju yang tengah ia kenakan. Gadis itu lalu tertawa pelan, menganggap ini merupakan suatu momen candaan.
"Ah, itu karena semua bajuku kotor, jadi aku meminjam bajumu, aku minta maaf aku akan mencu—"
"Lepas sekarang juga Melody" Kaal memotong.
"Aku akan mencuci bajuku sendiri"
Untuk beberapa saat, Melody bergeming. Berdiri mematung di kedua kaki seraya melesatkan tatapan kosong yang tidak dapat Kaal artikan.
Kaal sungguh rela melakukan apapun demi menghadirkan ekspresi terluka pada wajah Melody saat ini.
Tanpa memutus pandangan, Melody tiba-tiba melepas baju yang menjadi sumber permasalahan. Kulit putih dengan rona merah muda terekspos perlahan, membuat Kaal segera memalingkan wajah ke arah selimut yang membungkus tubuhnya.
Kaal mendengar langkah Melody mendekat—tapak demi tapak, lalu berhenti.
Membungkuk, gadis itu meletakkan baju yang sudah terlipat rapi di pangkuan Kaal, sebelum berujar—dengan nada yang tidak melibatkan rasa tersinggung
"Pastikan kau menggunakan disinfektan terbaik Kaal."
Punggung Melody yang tidak lagi terlihat tenggelam kemudian menjauh. Bersama debum halus pintu yang tertutup, Kaal kembali sendiri.
...****...
Jam pada arloji menunjukkan pukul tiga pagi lebih ketika Kaal secara mengejutkan, kembali ke apartemen dalam keadaan sepenuhnya sadar.
Meskipun gaya hidupnya jauh dari keteraturan, Kaal Vairav memiliki keteguhan terhadap bisnis keluarganya yang ia jalankan. Ia merupakan pekerja keras yang pantang pulang sebelum memastikan segala sesuatunya telah berjalan baik.
Dengan tubuh dipukul habis setelah berkutat dengan desain hampir semalam suntuk, ia melangkah gontai. Telinganya sayup-sayup mendengar suara iklan komersial yang datang dari ruang tengah apartemen.
Melongok, Kaal melihat Melody terbaring di atas sofa. Kaki kecil gadis itu melingkar hampir mencapai dada, kepala bersandar pada sisi sofa yang tidak berfungsi baik sebagai bantal penyangga.
Meraih remote televisi yang tergeletak di meja, Kaal segera mematikan benda itu. Ia kemudian berlutut di hadapan Melody yang ternyata sudah tertidur pulas, mengamati dari jarak yang cukup dekat bagaimana dada gadis itu naik turun dalam setiap hembusan napas.
Kaal tersenyum kecil, dan mungkin ini adalah pertama kali sejak beberapa bulan terakhir ia tersenyum tulus seperti ini. Tangannya terangkat mendekat ke gadis yang sedang tertidur, ingin mengenyahkan surai hitam panjang yang menutupi sebagian wajah mungil gadis itu.
Namun ia segera berhenti sebelum ujung jarinya sempat menyentuh, senyumnya pudar tanpa sisa, kepala menunduk ditempa rasa bersalah yang nyaring di pikirannya.
Hawa magis itu datang kembali—zat tidak kasat pukul tiga pagi yang mendorong versi lain dalam diri seseorang.
Mendekat ragu, Kaal mencondongkan wajahnya—bibir nyaris menempel ke daun telinga Melody Senja yang tengah terlelap damai dalam tidurnya.
"Jangan mencintaiku Melody" bisiknya sekali.
"Jangan mencintaiku kumohon," bisik Kaal untuk yang kedua kali.
Kemudian lagi, jangan mencintaiku untuk yang kesekian kali hingga kalimat tersebut berubah menjadi sugesti yang diharapkan akan menghuni hati Melody.
Dengan benak berhamburan, Kaal akhirnya berdiri. Ia melepaskan sekilas pandang terakhir ke Melody tidak juga melewatkan dengkuran halus yang gadis itu hasilkan sembari berucap lemah...
"Aku ingin kau segera patah, Melody Senja."
Tatapan sendu bertahan beberapa detik, Kaal mendesah kepada diri sendiri.
Karena jika tidak, maka aku yang akan terlebih dahulu patah.
...***...
Suara peraduan tubuh berdecak keras, diiringi jeritan wanita yang terus menerus di hujam dari arah belakang. Pinggang wanita itu dicengkeram erat, pergerakan brutal tidak juga surut dari lelaki yang kini—seolah masih belum puas dengan teriakan wanita itu, berbisik memerintah.
"Lebih keras"
Menurut tanpa bicara, wanita itu melenguh lantang. Kepalanya yang terkulai dekat dengan dinding kali ini menempel pasrah. Ia menerima hentakan kuat dari lelaki yang hanya menggeram tanpa menyebutkan nama sedari tadi.
Wanita itu tentu tidak mengerti bahwa lelaki yang membawanya ke apartemen adalah orang yang memiliki prinsip untuk tidak membawa partner manapun ke dalam ruang tidurnya.
Tetapi Kaal Vairav mengaku memiliki alasan.
Bukan. Tentu bukan karena wanita ini benar-benar menarik sehingga ia pantas mendapatkan perlakuan lebih. Melainkan karena ia ingin melihat jatuhnya ekspresi Melody, gadis kecilnya ketika ia membawa masuk wanita asing ke dalam apartemen mereka.
Kaal memang mendapatkannya—perubahan signifikan dari sambutan senyum yang berganti menjadi kernyitan di dahi dan tatapan terluka dari gadis dihadapanya
Namun itu hanya bertahan sementara, bahkan tidak lebih dari satu menit sebab Melody hanya merespon dengan menundukkan kepalanya sembari berpesan bahwa ia akan kembali ke ruang tidurnya.
Bagi Kaal Vairav, itu sama sekali belum cukup. Ia ingin respon yang lebih dari sekedar tatapan terluka, ia menginginkan Melody marah. Ia menginginkan Melody melemparkan tatapan menghakimi.
Kaal menginginkan senyum muak Melody yang hadiahkan padanya—senyum yang menyiratkan bahwa ia adalah serendah-rendahnya manusia.
Maka dari itu Kaal terus-menerus memancing. Membuat suara-suara kenikmatan, mendesah sekeras mungkin, suara menjijikan yang dibuat-buat karena ia sama sekali tidak menikmati ini.
Bercinta dalam keadaan marah adalah sesuatu yang buruk. Kaal sama sekali tidak meredakan amarahnya saat ini, sungguh ini benar-benar buruk
Tidak adah hasrat bermain di sana, hanya tumpukan emosi yang berusaha dilampiaskan lewat gerakan tajam demi mempercepat klimaks. Konsentrasinya terbagi antara menjaga ereksinya dan menunggu seseorang berwajah marah mendobrak pintu kamar dengan urai air mata.
Akan tetapi keinginan itu segera sirna begitu telinganya mendengar suara pintu utama apartemen tertutup kasar. Ya sepertinya Melody pergi, alih-alih memarahinya dan menyuruhnya berhenti gadis itu lebih memilih mengabaikannya dan pergi begitu saja...
Kaal harap gadis itu pergi untuk selamanya, atau ia akan lebih membenci dirinya sendiri.
Kaal menghela napas panjang. Menarik keluar miliknya dari wanita yang sontak menoleh kebingungan. Ia mungkin tidak sepenuhnya mendapatkan drama yang ia inginkan, namun paling tidak reaksi dari Melody menyiratkan bahwa sisi manusiawi gadis itu tidak rusak.
Menoleh pada wanita yang masih bergetar dan kehilangan kemampuan bicara, Kaal menyodorkan pakaian yang berserakan.
"Pergilah, aku sudah tidak membutuhkanmu" ujar Kaal singkat.
Alis wanita itu berkerut tidak percaya, sehingga Kaal memperjelas kembali apa yang ia katakan sebelumnya.
"Cepatlah. Aku sudah muak melihat wajahmu nona"
Terdapat jeda sejenak yang digunakan wanita itu untuk memproses ucapan Kaal sebelum akhirnya sebuah tamparan kuat mendarat di pipinya.
Isak tangis bercampur umpatan datang beruntun, suara melengking lalu menyumpah serapah.
Kaal tersenyum kecut. Sebegitu sulitkah untuk mendapatkan respon serupa dari Melody Senja? Kenapa gadis itu sangat patuh padanya.....
...TBC...