"Apa dia putrimu yang akan kau berikan padaku, Gan...?!!" ujar pria itu dengan senyuman yang enggan untuk usai.
Deg...!!
Sontak saja otak Liana berkelana mengartikan maksud dari penuturan pria tua berkelas yang berada di hadapannya tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itsaku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembalinya Ibu Tiri
"Sepertinya putrimu perlu penjelasan darimu, Gani." ujar pria itu. "Kalau begitu aku pergi dulu, bicaralah dengannya." imbuhnya.
"Iya, paman." jawab ayah Liana.
"Cepatlah sembuh, aku menantikan kedatanganmu di rumah." pria itu menepuk bahu pak Gani.
Pria itu beranjak dari kursinya dengan tongkat yang setia menemaninya.
"Jaga ayahmu dengan baik, nak." pesan pria itu pada Liana.
Liana hanya mengangguk kaku. Pikirannya seolah belum kembali dari kelananya. Dia menoleh ke belakang sampai pria asing itu benar-benar tak terlihat lagi.
"Ayah...?!" Liana menuntut penjelasan dari ayahnya.
Pak Gani hanya tersenyum.
"Apa ayah menjualku pada kakek-kakek itu? Ayah punya hutang dan aku jaminannya? Ayah menjodohkan aku dengan pria itu karena harta, iya...?!! Ayo katakan padaku, ayah...!!!" Liana benar-benar dibuat penasaran dengan ucapan kakek itu.
Lagi-lagi ayahnya tersenyum.
"Duduklah dulu, tenangkan hatimu, nak." tuturnya dengan lembut.
Liana yang patuh, mengikuti perintah sang ayah. Meski gerakannya terlihat canggung. Karena dia sangat takut dengan penjelasan yang akan ayahnya sampaikan sesaat lagi.
"Dengarkan ayah baik-baik. Pria tua itu adalah sahabat baik kakek dan nenekmu. Dia yang merawat ayah ketika ayah menjadi yatim piatu, karena paman dan bibi ayah hendak mengirim ayah ke panti asuhan." katanya.
"Lalu ayah memberikan aku padanya untuk balas budi begitu?!" sahut Liana yang kesabarannya setipis tisu dibagi dua.
"Nak..., sejak kapan kamu pandai memotong ucapan orang lain?" tegur sang ayah, tapi tetap dengan nada yang halus.
Iya, pak Gani adalah sosok pria yang lembut. Dan tidak pernah meninggikan suaranya ketika berbicara pada orang, terutama pada seorang wanita.
"Maaf, ayah..." balas Liana dengan suara lirih.
"Paman Sudibyo namanya. Sejak dulu menginginkan ayah dan bunda untuk tinggal bersamanya. Tapi ayah menolak, karena bundamu merasa canggung tinggal bersamanya. Ketika bunda meninggalkan kita, paman kembali datang dan ingin membawa kita bersamanya. Tapi ayah masih menolak. Dan saat ini, ayah harus mengambil keputusan terbaik buat kamu, nak. Karena ayah tidak mau kamu tinggal bersama ibu dan adik tirimu itu. Jadi alangkah baiknya kamu ikut bersama paman, kakek Sudibyo."
"Kan masih sama ayah juga tinggalnya. Lagian mereka juga sudah minggat." kata Liana.
"Nak..., cepat atau lambat mereka pasti akan kembali mencarimu. Ayah khawatir, saat itu tiba ayah tidak bersamamu lagi." ujarnya.
"Ayah..., ayah kenapa bicara seperti itu? Ayah akan baik-baik saja. Bukankah kakek itu orang baik. Aku yakin pasti yang membawa ayah ke kamar ini adalah dia. Dan dia juga pasti mengerahkan dokter-dokter terbaik untuk menyembuhkan sakit jantung ayah. Iya kan...??" Liana berbicara dengan penuh keyakinan.
"Kemarilah peluk ayah." kata pak Gani.
"Hidup dan matinya semua makhluk di dunia ini, adalah urusan Allah, nak. Dokter sehebat apapun tidak akan bisa melawan takdir. Ayah sudah ikhlas untuk pergi kapanpun. Karena sekarang ayah sudah menemukan orang yang bisa menjagamu lebih baik dari ayah." tuturnya.
"Ayah..." hanya rengekan yang keluar dari bibir Liana. Matanya pun kian basah.
"Aku takut ayah, jangan bicara seperti itu." kata Liana.
"Naiklah sini, berbaring bersama ayah." ujar sang ayah.
Liana pun berbaring di samping ayahnya. Pelukan dari tangan ayahnya yang semakin kurus tetap terasa hangat dan nyaman bagi Liana.
"Putri ayah sudah sebesar ini saja. Padahal rasanya baru kemarin ayah menggendongmu."
"Bagaimana kalau ayah menggendongku lagi." Liana berusaha menghibur hati yang saat ini sedang gamang.
"Ayah rasa, ayah sudah tak sekuat itu." pak Gani mempererat pelukannya.
Obrolan mereka semakin santai. Hingga Liana melupakan hal-hal serius yang mereka bicarakan di awal.
......................
Sementara di tempat yang lain. Dua orang wanita beda usia sedang kesal karena mendapati pintu rumah yang terkunci. Sehingga mereka tidak bisa memasuki rumah itu.
"Coba telepon ayah, bu." kata putrinya.
"Tidak bisa. Ibu tidak punya nomornya. Kamu kan tahu HP dan nomor ibu baru." ujarnya dengan bangga, sambil memamerkan handphone barunya.
"Bagaimana sih, nomor suami sendiri tidak disimpan." gerutu anaknya.
Mereka adalah Ratih dan Rosa. Mereka datang dengan membawa dua koper besar. Namun tidak bisa masuk ke rumah karena pintu terkunci.
"Eh, bu Ratih...!" seru tetangga sebelah.
"Iya, bu. Ini pada kemana ya, kok sepi." tanya bu Ratih.
"Memangnya ibu tidak tahu?" tanya tentangga yang sudah tiba di teras rumah pak Gani.
"Pak Gani dibawa ke rumah sakit. Kemarin sepertinya ada orang datang dan mengancamnya. Gayanya sih kayak penagih hutang begitu. Pakai hitam-hitam dan garang." si tetangga bicara dengan bibir yang meliuk-liuk.
Bu Ratih mulai gelisah saat mendengar penuturan tetangganya. Tapi dia berusaha tetap tenang.
"Ah, yang benar bu. Masa suami saya punya hutang...?!" sahut bu Ratih.
"Iya kali saja bu. Dia hutang tanpa sepengetahuan ibu." bisiknya.
"Terus kalian ini dari mana? Kok bawa koper besar begitu." tetangga melirik koper mereka.
"Oh ini..." bu Ratih senyam-senyum. Merasa bahwa ini saatnya dia pamer pada tetangganya.
"Kami habis ada acara keluarga. Jalan-jalan keliling begitu. Biasalah, keluarga saya memang selalu begitu. Setiap bulan mengadakan pertemuan. Family gathering begitu..."
"Waah, enak sekali. Tapi kenapa pak Gani dan Liana tidak ikut?" lagi-lagi tetangga itu mengulik informasi sebagai bahan gosip esok hari.
"Mas Gani menolak karena sibuk. Dan Liana kan kuliah, bu."
"Lha, emang Rosa tidak sekolah?" celetuk si ibu tetangga.
"Oh, kalau Rosa kebetulan lagi libur habis ujian." bagitu jawab bu Ratih.
"Oh seperti itu..." balas tetangga. "Bagaimana kalau kalian istirahat di rumah saya dulu."
Bu Ratih menoleh pada putrinya. Lalu dia mengiyakan tawaran tetangga.
"Lumayan kan, nanti pasti kecipratan oleh-oleh sebagai ucapan terimakasih." begitu batin tetangga.
......................
Pagi harinya Liana tiba di rumah bersama Damar. Rosa yang melihat kedatangan mereka segera berlari menghampiri.
"Kak Liana...!!" serunya. "Hallo kak Damar..." suaranya melambai ketika menyapa Damar.
"Kapan kamu pulang?" tanya Liana sambil memutar kunci pintu.
"Semalam. Kami kekunci. Kok kakak nggak kasih kabar ayah sakit?"
"Harusnya aku yang tanya. Kenapa nomor kalian tidak bisa dihubungi?" balas Liana dengan nada datar.
Liana mendaratkan tubuhnya di kursi ruang tamu.
"Oh, itu. HP kami hilang, kak." jawab Rosa. Jawaban yang sudah disepakati oleh Rosa dan juga ibunya.
"Bisa barengan begitu ya." sahut Liana dengan senyuman miring.
"Soalnya waktu itu aku titipkan di tas ibu. Dan tasnya dijambret." Rosa memberi alasan sekenanya. Tentunya dia juga memasang wajah sedih. Yang justru terlihat konyol bagi Liana.
"Moga saja besok benar-benar dijambret itu tas mereka. Aamiin...!!" Liana mengumpat dalam hatinya.
Damar yang sedang bersandar di pintu hanya menahan tawa mendengar jawaban dan ekspresi Rosa.
"Aku akan mandi lalu kembali ke rumah sakit." Liana beranjak dari tempat duduknya.
"Mar, kalau mau minum cari sendiri ya." pesan Liana pada Damar.
"Oke." Damar mengacungkan jempolnya.
"Kamu tidak mau kasih tahu ibumu kalau kami datang? Barang kali nanti mau sekalian ke rumah sakitnya." kata Damar.
"Ah, iya. Baiklah." Rosa pun keluar dari rumah itu dengan penuh semangat.
Tak lama kemudian dia kembali bersama ibunya sambil menarik kopernya masing-masing.
"Astaga..., suami lagi sakit di rumah sakit. Bisa-bisanya dia tetap bergaya begitu." batin Damar.
Bagaimana tidak. Bu Ratih memakai dress bunga-bunga nuansa merah menyala di atas lutut. Dengan warna lipstik yang senada dengan bajunya. Jangan lupakan heelsnya juga, yang selalu setia menyertai langkah kaki jenjangnya. Bu Ratih memang selalu berpenampilan seperti itu. Diusianya yang tak lagi muda, kecantikannya masih terpancar jelas, ditambah lagi kulit putih dan postur tubuh yang benar-benar ideal. Sehingga membuat dia makin percaya diri mengumbar kemolekannya.
"Ayo, Mar!" ajak Liana sambil memeriksa isi tas selempangnya.
"Bentar. Ibu dan adikmu mau ikut katanya." balas Damar.
Tak lama kemudian yang ditunggu keluar dari dalam kamar masing-masing. Liana memutar bola matanya dengan malas saat melihat penampilan mereka yang lebih cocok untuk pergi jalan-jalan, daripada ke rumah sakit.
"Nggak waras...!!" batin Liana.
......................