Karya ini berisi kumpulan cerpenku yang bertema dewasa, tapi bukan tentang konten sensitif. Hanya temanya yang dewasa. Kata 'Happy' pada judul bisa berarti beragam dalam pengartian. Bisa satir, ironis mau pun benar-benar happy ending. Yah, aku hanya berharap kalian akan menikmatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riska Darmelia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sensasi atau Cinta? part 1.
Sejak dulu aku adalah orang yang tidak percaya cinta bisa membuat segalanya jadi lebih baik karena orang tuaku bercerai dan mereka pernah mengaku padaku kalau mereka saling mencintai. “Lalu rasa itu hilang,”kata Ayahku. “Yang tersisa hanyalah sebuah komitmen. Rasanya seperti terikat tapi nggak saling membutuhkan lagi. Seperti menelan makanan yang rasanya udah nggak enak lagi. Kamu nggak usah mencoba jatuh cinta. Rasanya nggak seindah yang para pujangga gambarkan.”
Ayahku berkata begitu sehari sebelum ia kutemukan bunuh diri di kamarnya. Ia melakukannya karena Ibuku berselingkuh sampai kabur dan menikah lagi dengan sahabatnya. Walau pun begitu aku tidak mendengarnya menjelek-jelekkan persahabatan. Mungkin bagi Ayahku saat itu, persahabatan masih berarti sampai akhir hayatnya. Papaku hanya menganggap cinta yang ia agung-agungkan sebagai hal yang buruk.
Saat ini aku berhadapan dengan situasi sulit. Pacarku menawarkan komitmen yang tidak aku butuhkan. Dan aku rasa jawaban dariku akan menyakitinya.
“Kamu mau, kan jadi istriku?”tanyanya lagi.
Aku mendesah. “Aku pacaran sama kamu cuma demi seks,”kataku tenang. “Aku setia karena kamu setia. Tapi untuk sebuah komitmen bernama pernikahan aku nggak bersedia untuk menjalaninya bersamamu.”
Pacarku terdiam dan hanya bias menatapku. Bukan salahku jika dia sakit hati. Dia yang sudah berharap terlalu banyak dariku.
Aku melepas cincin berlian yang baru saja ia pakaikan. “Cari perempuan yang lebih serius. Aku bukan untuk komitmen sesakral pernikahan.” Setelah berkata begitu aku pergi.
Dia tidak mengejarku dan aku juga tidak berharap di kejar. Saat sedang melewati sebuah Café di dalam mal, aku melihat laki-laki itu. Dia baru saja di tampar seorang perempuan muda berpenampilan high class.
“Cowok brengsek tukang selingkuh kayak kamu mending ke neraka aja!”makinya.
Laki-laki itu tertawa. “Kamu bukan perempuan pertama yang berkata begitu,”katanya santai.
Saat perempuan yang memakinya pergi, aku mengikuti laki-laki itu. Ia berjalan ke basement mal. Akhirnya ia bersandar di sebuah mobil sedan hitam lalu merokok dengan santainya.
Aku menepuk bahunya.
Ia menatapku, menilai penampilanku lalu tersenyum. Sepertinya dia tidak kecewa dengan apa yang dia lihat. “Ada yang bisa saya bantu?”tanyanya.
Sikapnya yang gentle dan sopan memikat hatiku. Aku mengulurkan nomor HP yang baru saja kutulis. “Kalau butuh partner seks hubungi aja nomor ini,”kataku tanpa basa-basi.
Dia tertawa. Tatapannya menggodaku.
“Kalau ini nomor anda saya tidak keberatan.”
“Tentu saja itu nomorku. Sampai jumpa lagi. Secepatnya,”kataku sebelum meninggalkannya.
Kami tidak memberitahu nama satu sama lain, membuat perkenalan kami terasa angin-anginan sekali. Tapi bukan masalah untukku dan sepertinya bukan masalah untuknya.
∞
Malam harinya, dia menelponku. “Ini cowok yang tadi siang kamu kasih nomor HP. Bisa ngobrol bareng sekarang?”tanyanya di telepon.
“Oh, hai. Kita ketemuan atau ngobrol di telepon?”tanyaku.
“Ketemuan. Sambil makan kalo kamu mau.”
Aku menyadari bahasanya yang jadi santai. Aku suka bahasa sopannya dan lebih suka lagi bahasa santainya. “Jam makanku udah lewat. Kita ngobrol sambil minum kopi aja gimana?”
“Aku nggak suka kopi.”
“Makanan manis?”
“Oke. Perlu kujemput.”
“Boleh.” Aku menyebutkan alamatku.
“Wah! Ternyata kita sekomplek loh. Kita kumpul di rumahku aja gimana? Nggak ada siapa-siapa selain aku.”
Aku membayangkannya sebagai salah satu pemilik rumah mewah di kompleks tempat kosku berada. Tampan dan kaya. Kombinasi yang sulit untuk ditolak.
“Mau ngapain di rumah? Café aja. Lebih asyik,”tolakku. Aku tidak mau masuk ke wilayah pribadinya dulu. Aku merasa kami perlu mengenal satu sama lain dulu.
“Oke,”jawabnya santai. “By the way, kamu jual diri?”
“Nggak. Aku cuma orang yang suka seks bebas. Seks without money. Just taste and doing. Keberatan sama hubungan kayak gitu?”
Dia tertawa. “Not. Kerja di mana kalau gitu?”
“Aku akuntan. Kalau kamu?”
“Aku owner Café. Aku udah mau ke kosmu. Sampai ketemu nanti.”
Aku bersiap-siap lalu keluar dari kos untuk menunggu kedatangannya di luar gerbang kos. Sekali lagi aku lupa menanyakan namanya. Biarlah. Aku akan menanyakannya nanti.
Aku melihat mobil sedan hitam yang tadi siang ia sandari berhenti di depanku. Ternyata itu mobilnya. Tidak menyiratkan kalau dia kaya sekali, tapi mobil itu terlihat bersih mengkilat. Satu lagi hal bagus yang kulihat darinya. Aku suka laki-laki yang selalu terlihat bersih.
Jendela mobil terbuka. Ia tersenyum di balik kaca yang terbuka. “Hai! Kamu lupa nulis namamu di kertas yang kamu kasih. Boleh kenalan dulu?”
Aku mengulurkan tangan. “Aku Hana.”
“Aku Latif. Salam kenal. Silakan masuk.”
Aku membuka pintu di samping pengemudi. “Kamu tau tempat dessert yang enak?”
“Café-ku?”tawarnya.
“Oke.”
Aku sebenarnya tidak peduli dia akan mengajakku makan apa. Aku butuh sekali tubuhnya malam ini. Sudah berminggu-minggu sejak seseorang yang baru saja jadi mantan pacarku terakhir kali menyentuhku. Aku butuh seks dan tubuh laki-laki ini sangat menggiurkan untukku. Aku mungkin bias mempertimbangkannya untuk jadi partner seks tetap tanpa hubungan semengekang pacaran. Aku hanya harus membuatnya tertarik pada tubuh dan pengalamanku dalan seks. Aku berharap akan semudah itu.
“Pertama kali aku lihat kamu, aku liat kamu di tampar cewek. Pacarmu?”
“Mantan tunangan. Aku juga belum lama ini di damprat Mamanya. Dia bilang nggak sudi punya menantu kucing garong kayak aku. Dia ngembaliin cincin yang pernah mengikat aku dan anak gadisnya. Dia bilang ingin punya menantu yang lebih bermoral.” Latif tertawa.
“Padahal suaminya sendiri setipe sama aku. Hanya karena takut miskin dia bertahan dengan suaminya. Tapi yah sudahlah. Mungkin dia berharap anaknya nggak ngehadapin hal yang dia hadapin. Aku bisa paham, makanya aku terima aja dibentak-bentak. Tapi, tetap aja ada yang terasa luka saat aku mengalah.”
Omongan yang panjang. Tidak kusangka dia akan mengungkapkan hal seperti ini padaku. Awalnya aku hanya ingin membuka obrolan. Sekarang aku malah jadi bingung harus menanggapinya dengan kalimat yang bagaimana.
“Kalo kamu. Apa yang kamu lakukan sebelum melihatku?”tanyanya, membuatku lega.
“Baru nolak lamaran laki-laki yang udah pacaran hampir 5 tahun denganku.”
“Wah! Dia bajingan juga?”
Aku tertawa kecil, walau jujur rasanya sedikit getir. “Cara kami pacaran yang brengsek. Aku nggak mau ada anak yang lahir dari hubungan seperti hubungan kami. Aku pergi untuk membuat dia membatalkan niat terhormatnya. Nggak ada anak yang mau punya orang tua seperti kami.”
“Prinsip yang bagus. Tapi seharusnya kamu menerima niat pacarmu untuk melangkah kehubungan yang lebih serius. Mungkin dia menganggap kamu adalah orang yang tepat setelah apa yang kalian jalani.”
“Aku membenci pernikahan.”
“Kenapa?”
“Orang tuaku bercerai dan Ayahku bunuh diri karena putus asa. Sepanjang hari sebelum mengakhiri hidupnya, Ayahku bercerita banyak hal tentang masa lalunya bersama Ibuku. Ayahku bilang jatuh cinta bukanlah hal yang sepele. Kehilangan kekasih yang dia cinta membuat hidupnya memburuk. Hanya itu yang kumengerti dari cerita panjangnya. Saat itu aku berpikir Ayahku cuma ingin bercerita. Tapi malam harinya saat aku memanggilnya untuk makan malam, aku melihat mayatnya yang terlihat seperti tertidur. Keesokan paginya aku baru menyadari kalau Ayahku mati.”
“Kamu nyalahin Ibumu?”
“Nggak. Aku nyalahin Ayahku karena terlalu lemah. Ibuku sudah lama menderita karena penghasilan Ayahku tidak seberapa. Kami sering menahan lapar sampai aku menangis dan Ibuku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku lega Ibuku menikah lagi. Tapi aku tidak bisa berpura-pura bahagia karena aku hanya ingin ada Ayahku di sisi Ibuku selama-lamanya. Kalo kamu? Apa yang bisa kamu ceritakan tentang keluargamu?”
“Aku nggak mau dan nggak bisa cerita banyak. Orang tuaku bahagia dengan apa yang mereka miliki. Tapi suasana rumah kami dingin. Itu saja yang ingin kubagikan tentang mereka.”
“Saudara?”
“Dua abang dan dua kakak. Aku anak terakhir.”
“Bungsu, toh.”
“Iya. Masih mau makan dessert?”
“Nggak terlalu. Kenapa?”
“Hotel favoritmu di mana?”
Aku mengerti arah pembicaraan ini. “Nggak punya,”jawabku santai.
“Aku punya kamar kos di sekitar sini. Tempatnya bersih. Mau ke sana?”
Rasanya terlalu terburu-buru karena aku masih ingin melanjutkan obrolan. Tapi aku suka karena dia sudah ‘panas’ duluan. Aku tertawa.
“Apanya yang lucu?”tanyanya.
“Aku suka sifatmu. Itu aja.”
∞
Aku merasakan tangan hangat menyentuh pipiku yang dingin. Butuh beberapa detik sebelum aku merasa bisa membuka mataku yang masih butuh tidur.
“Aku punya waktu sejam sebelum cafeku buka. Mau kuantar ke tempat kerjamu?”kata Latif.
Saat aku membuka mata, aku mendapati Latif hanya memakai handuk putih yang menutupi pinggang sampai lututnya. Aku mendesah. HP-ku pasti kehabisan baterai lagi. Kalau tidak, alaramnya parti sudah berbunyi dari tadi. “Jam berapa sekarang?”tanyaku.
“Baru jam 6.”
Aku bingung. “Cafemu buka jam 7?”
“Iya. Kami buka dari waktu sarapan sampai makan malam selesai. Jadwal bukanya sengaja kuatur lebih pagi. Targetnya karyawan kantoran yang belum sarapan.”
Aku kembali menyelimuti tubuhku. “Aku bisa pergi kerja sendiri. Makasih untuk tawarannya. Aku mau tidur sebentar lagi. Jam kerjaku mulai jam 9 pagi. Kalo boleh, aku pinjam kunci kamar kosmu. Nanti kuantar kuncinya ke Café-mu. SMS-in aja alamat Café-mu ke nomorku,”kataku dengan suara lemah karena masih mengantuk.
“Kamu aja yang pegang kuncinya. Kalo kamu suka, kita ke sini lagi kalo ada waktu.”
Aku tersenyum dengan dada di penuhi rasa menang. Akhirnya aku punya partner seks tetap lagi. Semalam dia tidak mengecewakanku. Sepertinya aku juga tidak mengecewakannya.
∞
gabung di cmb yu....
untuk belajar menulis bareng...
caranya mudah cukup kaka follow akun ak ini
maka br bs ak undang kaka di gc Cbm ku thank you ka