NovelToon NovelToon
Warm Life

Warm Life

Status: sedang berlangsung
Genre:Tamat / Wanita Karir
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Ariadna Vespera

. Tak terasa saat Farah melihat jam ditangannya waktu sudah menunjukkan pukul 12: 00 siang. saatnya jam makan siang. Farah yang kelaparan pun langsung turun kebawah untuk menuju kantin, namun! Dia terusik dengan perkataan salah satu tamu disana yang mengatakan ada dokter psikiater baru yang datang, seketika jantungnya mulai berdebar kencang . “Apakan itu kakak?“ ucap batinnya.Dan disaat yang bersamaan,
Farah hampir menabrak seseorang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ariadna Vespera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 3

Di saat senja perlahan menyelimuti langit, disertai rintikan hujan, Farah merasa hidupnya tidak lagi memiliki arah atau tujuan. Dalam kesepian yang mendalam, dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.

Farah berjalan sendirian melewati keramaian kota yang tampaknya tidak menyadarinya. Langkah demi langkah, dia melanjutkan perjalanan menuju bukit, tempat di mana dia berniat untuk mengakhiri penderitaannya.

Saat dia mendekati bukit, perjalanan yang panjang dan melelahkan tidak terasa membebani langkahnya. Setiap langkahnya semakin mendekat ke tempat yang telah dia pilih sebagai akhir dari segala kesulitan dan kesedihan yang dia rasakan.

Saat Farah mengikuti Ruel ke tangga darurat, dia mendengar rintihan tangisan yang memilukan. Ketika Farah mencari sumber suara, dia terkejut menemukan bahwa suara itu berasal dari Ruel. Tanpa sadar, langkahnya menjadi goyang, dan Farah terjatuh dari tangga.

Suara terjatuhnya Farah membuat Ruel sadar akan kehadirannya. Dengan cepat, Ruel menghentikan tangisannya, mengusap air matanya, dan berlari menghampiri Farah. Dengan cemas, Ruel membantu Farah berdiri dan memeriksa apakah dia terluka. Dalam momen itu, keduanya merasakan kehadiran dan dukungan satu sama lain, dengan rasa sakit dan harapan yang saling berbagi.

Farah tahu bahwa orang tuanya sangat sibuk di rumah sakit—Ayahnya adalah dokter spesialis bedah dan Ibunya adalah dokter spesialis penyakit dalam. Setelah menitipkan surat kepada perawat yang sedang bertugas, Farah berencana untuk pulang. Namun, saat akan keluar, dia melihat Ruel sedang menuju tangga darurat.

Tanpa pikir panjang, Farah memutuskan untuk mengikuti Ruel. Dengan hati berdebar, dia melangkah perlahan menuju tangga darurat, berusaha menjaga jarak agar tidak membuat kehadirannya terasa mencolok. Setiap langkahnya penuh rasa penasaran dan harapan bahwa dia bisa berbicara dengan Ruel, mungkin bahkan mengungkapkan rasa terima kasihnya atas inspirasi yang telah diberikan.

Saat Farah merasakan kehangatan tangan Ruel yang menggenggam tangannya, dia menyadari bahwa dia hanya perlu menenangkan diri sejenak sebelum bangkit kembali. Kehangatan dan dukungan dari Ruel membantunya melihat bahwa kegagalan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan sebuah kesempatan untuk memperbaiki diri dan mencoba lagi.

Dengan tekad baru, Farah berkomitmen untuk memulai semuanya dari awal. Pada seleksi kedua, dia menghadapi tantangan dengan lebih tenang dan percaya diri, menyadari bahwa kegagalan bukanlah penghalang, melainkan bagian dari perjalanan hidupnya.

Farah berharap bisa bertemu dengan Ruel lagi dan merasakan kehangatan itu sekali lagi. Dia pergi ke rumah sakit tempat orang tuanya bekerja, memutuskan untuk menyerahkan hasil seleksi kepada mereka sebagai langkah awal dalam perjalanan barunya. Dengan perasaan campur aduk antara harapan dan keteguhan, Farah melangkah menuju ruang kerja orang tuanya, siap untuk menghadapi babak baru dalam hidupnya.

Saat Farah mendekati puncak bukit, teriakan yang mengejutkan memecah kesunyian malam. Suara itu berasal dari Ruel, yang tampaknya sedang berada di sekitar area tersebut. Teriakan itu penuh dengan semangat dan tekad, dan Farah merasa tergetar oleh energi yang disalurkan oleh suara tersebut.

Ruel, yang pernah Farah temui dalam keadaan yang penuh keputusasaan, tampaknya menunjukkan sikap yang sangat berbeda kali ini. Dia menghadapi kegagalan dengan keberanian dan semangat untuk bangkit kembali, bukannya menyerah. Melihat Ruel mampu menghadapi kegagalan dengan cara seperti itu membuat Farah merasa bingung.

Dia bertanya-tanya bagaimana Ruel bisa berbuat demikian, sedangkan dia sendiri merasa tersandung dan terpuruk oleh kegagalannya. Keputusan Ruel untuk terus berjuang, bukannya menyerah seperti yang dia lakukan, menciptakan perasaan yang membingungkan dalam diri Farah.

Ruel telah memberikan Farah perspektif baru tentang kegagalan—bahwa itu bukan akhir dari segalanya, melainkan sebuah kesempatan untuk mencoba lagi dan memperbaiki diri. Dengan pikiran yang penuh dengan kebingungan dan refleksi, Farah mulai mempertimbangkan kembali keputusan akhir yang telah dia buat.

Saat Farah merasakan kehangatan tangan Ruel yang menggenggam tangannya, dia menyadari bahwa dia hanya perlu menenangkan diri sejenak sebelum bangkit kembali. Kehangatan dan dukungan dari Ruel membantunya melihat bahwa kegagalan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan sebuah kesempatan untuk memperbaiki diri dan mencoba lagi.

Dengan tekad baru, Farah berkomitmen untuk memulai semuanya dari awal. Pada seleksi kedua, dia menghadapi tantangan dengan lebih tenang dan percaya diri, menyadari bahwa kegagalan bukanlah penghalang, melainkan bagian dari perjalanan hidupnya.

Farah berharap bisa bertemu dengan Ruel lagi dan merasakan kehangatan itu sekali lagi. Dia pergi ke rumah sakit tempat orang tuanya bekerja, memutuskan untuk menyerahkan hasil seleksi kepada mereka sebagai langkah awal dalam perjalanan barunya. Dengan perasaan campur aduk antara harapan dan keteguhan, Farah melangkah menuju ruang kerja orang tuanya, siap untuk menghadapi babak baru dalam hidupnya.

Farah tahu bahwa orang tuanya sangat sibuk di rumah sakit—Ayahnya adalah dokter spesialis bedah dan Ibunya adalah dokter spesialis penyakit dalam. Setelah menitipkan surat kepada perawat yang sedang bertugas, Farah berencana untuk pulang. Namun, saat akan keluar, dia melihat Ruel sedang menuju tangga darurat.

Tanpa pikir panjang, Farah memutuskan untuk mengikuti Ruel. Dengan hati berdebar, dia melangkah perlahan menuju tangga darurat, berusaha menjaga jarak agar tidak membuat kehadirannya terasa mencolok. Setiap langkahnya penuh rasa penasaran dan harapan bahwa dia bisa berbicara dengan Ruel, mungkin bahkan mengungkapkan rasa terima kasihnya atas inspirasi yang telah diberikan.

Saat Farah mengikuti Ruel ke tangga darurat, dia mendengar rintihan tangisan yang memilukan. Ketika Farah mencari sumber suara, dia terkejut menemukan bahwa suara itu berasal dari Ruel. Tanpa sadar, langkahnya menjadi goyang, dan Farah terjatuh dari tangga.

Suara terjatuhnya Farah membuat Ruel sadar akan kehadirannya. Dengan cepat, Ruel menghentikan tangisannya, mengusap air matanya, dan berlari menghampiri Farah. Dengan cemas, Ruel membantu Farah berdiri dan memeriksa apakah dia terluka. Dalam momen itu, keduanya merasakan kehadiran dan dukungan satu sama lain, dengan rasa sakit dan harapan yang saling berbagi.

Ruel mengulurkan tangannya dengan cemas dan bertanya, "Kamu tidak apa-apa?" Farah tersenyum, merasakan kehangatan dari tangan Ruel yang penuh perhatian. "Iya, aku tidak apa-apa," jawab Farah sambil meraih dan menggenggam tangan Ruel dengan lembut.

Farah memandang Ruel dengan penuh rasa ingin tahu dan bertanya, "Kamu dokter muda, ya?" Ruel menganggukkan kepala, mengonfirmasi statusnya sebagai dokter muda. Dalam kehangatan genggaman tangan mereka, Farah merasa seolah ada jembatan yang menghubungkan kembali harapan dan kekuatan dalam dirinya.

Farah menatap Ruel dengan serius dan bertanya, “Berarti kamu lebih tua dari aku. Bolehkah aku memanggilmu kakak?” Ruel tersenyum dan menjawab, “Silahkan, panggil lah sesukamu.”

Farah melanjutkan, “Kakak, aku sebenarnya juga ingin menjadi dokter sepertimu, tapi aku merasa tidak cocok dan tidak sanggup.” Suara Farah bergetar sedikit, mencerminkan keraguan dan kesulitan yang dia rasakan.

Farah melanjutkan dengan nada yang lebih lembut, “Aku berpikir itu bukan keahlianku. Sudah dua kali aku gagal seleksi jurusan kedokteran.” Dia berharap dengan berbicara tentang kegagalannya, Ruel bisa melupakan masalah yang membuatnya menangis, walaupun hanya untuk sementara.

Ruel mengangguk dengan bijaksana dan berkata, “Menurutku, jika kamu merasa tidak cocok dan malah menjadi beban untuk diri sendiri, sebaiknya kamu ambil jurusan yang sesuai dengan minatmu. Agar kamu bisa menikmati setiap jalan yang akan dilewati.” Saran Ruel tersebut terasa menenangkan, seolah memberikan Farah izin untuk mengeksplorasi pilihan yang lebih cocok untuk dirinya.

Ruel melanjutkan dengan penuh keyakinan, “Semua jalan yang kamu pilih pasti tidak akan selalu mulus. Tapi jika jalan itu memang sesuai dengan yang kamu inginkan, saat ada yang menghambat bahkan menghalangi jalanmu, kamu tidak akan menyesali atau menyerah pada pilihanmu sendiri. Kamu malah menjadikan semua itu pengalaman, yang selalu kamu jadikan pelajaran di kemudian hari.”

Kata-kata Ruel terasa seperti pelukan hangat yang membangkitkan semangat Farah, memberinya kekuatan baru untuk terus berjuang meskipun menghadapi rintangan.

Ruel benar-benar telah mengubah pola pikir Farah untuk kedua kalinya. Farah menghela napas panjang, merasa lebih ringan setelah berbicara dengan Ruel. “Aku ingin mendengarkan masalah orang lain, membantu mereka menentukan pilihan terbaik versi diri mereka masing-masing,” ucap Farah dengan penuh tekad.

Ucapan Farah mencerminkan perubahan dalam dirinya, bahwa dia kini lebih fokus pada membantu orang lain dan menemukan kepuasan dalam mendukung mereka daripada sekadar mengejar cita-cita yang mungkin tidak cocok dengan dirinya.

Ruel mengangguk dan berkata, “Aku masih ada urusan,” sebelum berjalan keluar dari tangga darurat.

“Namaku Farah, jangan sampai lupa, ya, Kakak!” seru Farah, berharap agar nama dan kenangan mereka tetap terjaga dalam ingatan Ruel.

Sejak saat itu, Farah tidak pernah bertemu lagi dengan Ruel. Berita yang dia terima dari perawat di rumah sakit mengatakan bahwa Ruel melanjutkan studinya ke luar negeri untuk mengambil spesialis psikiatri. Meskipun mereka terpisah oleh jarak dan waktu, Farah selalu berharap bisa bertemu lagi dengan Ruel, terinspirasi oleh pertemuan singkat yang telah mengubah hidupnya.

KEMBALI KE MASA KINI

Farah menghela napas panjang dan berkata dengan nada lelah, “Sedang apa kamu di sini? Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk mencari orang lain saja yang ingin menemanimu ke bioskop?”

Iplan tidak menghiraukannya dan langsung masuk ke mobil Farah. Farah yang sudah lelah dengan sikap semena-mena Iplan pun membiarkannya dan mengikuti permintaannya. Dia tahu bahwa Iplan kesepian, tapi Farah merasa ada cara yang lebih baik untuk mengatasi perasaan itu daripada memaksakan diri pada orang lain.

Mereka berdua pergi ke bioskop, dan saat sampai di sana, Farah berusaha membeli tiket sambil bertanya kepada Iplan film apa yang ingin ditonton. Namun, Iplan sudah mengeluarkan dua tiket dari sakunya. Farah hanya bisa menghela napas mengetahui hal itu, merasa terpaksa mengikuti keputusan Iplan.

“Jika begitu, aku akan membeli minuman. Kamu mau aku belikan apa?” tanya Farah.

Iplan hanya menggelengkan kepala, tidak ingin menambah beban. Farah akhirnya membeli air mineral dan mereka segera masuk ke dalam bioskop karena filmnya akan segera dimulai.

Setelah hampir dua jam menonton film, Farah dan Iplan keluar dari bioskop dan menuju parkiran mobil. Iplan tiba-tiba bertanya, “Apakah kamu dan aku bisa menjadi sahabat seperti SpongeBob dan Patrick di film tadi?”

Farah menjawab singkat, “Bisa.”

Iplan kemudian bertanya dengan suara pelan, “Kalau lebih...”

Farah kebingungan dan memiringkan kepalanya, tidak mengerti maksud Iplan. Namun, Iplan segera mengubah topik, “Lupakanlah!” lalu berlari menjauh sambil melambaikan tangan.

Farah terkejut dan hanya bisa mengangkat alisnya, sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil dan pulang setelah melihat Iplan pergi begitu saja.

Setelah hampir dua jam menonton film, Farah dan Iplan keluar dari bioskop. Di parkiran mobil, Iplan bertanya, “Apakah kamu dan aku bisa menjadi sahabat seperti SpongeBob dan Patrick di film tadi?”

“Bisa,” jawab Farah.

Kemudian Iplan bertanya dengan suara pelan, “Kalau lebih...”

Farah bingung dan hanya memiringkan kepalanya, tidak mengerti maksud Iplan. “Lupakanlah!” ucap Iplan dengan cepat. Farah masih terkejut dan mengangkat alisnya melihat Iplan yang berlari menjauh sambil melambaikan tangan.

Farah hanya bisa melihat Iplan pergi dan segera masuk ke dalam mobilnya, merasakan campur aduk antara kebingungan dan keheranan.

“Nenek mau kamu pergi ke acara perayaan tahunan yang diadakan di komunitas tetangga. Itu adalah acara yang sangat penting bagi nenek dan biasanya dihadiri oleh banyak orang,” ucap nenek dengan senyum penuh arti.

Farah terlihat sedikit ragu, tetapi dia menyadari betapa pentingnya acara itu bagi neneknya. “Baiklah, nenek. Aku akan pergi ke acara itu,” jawab Farah, berusaha menenangkan diri dan menghibur neneknya.

Saat Farah pulang, pikirannya masih terjebak pada permintaan nenek. Meski dia sudah berjanji untuk bertemu dengan calon yang nenek pilihkan, dia merasa campur aduk antara keengganan dan rasa ingin tahu. Dalam perjalanan pulang, Farah mencoba untuk fokus pada kegiatan sehari-harinya, tetapi bayangan pertemuan yang akan datang terus menghantuinya.

Farah berhati-hati saat mendekati lokasi ledakan, memastikan dirinya tetap aman dari sisa-sisa api dan puing-puing yang mungkin masih panas. Dia mencari petunjuk mengenai kemungkinan adanya korban di sekitar area tersebut. Dengan mobil yang terbakar habis, Farah sadar bahwa upayanya mungkin tidak membuahkan hasil, tetapi rasa kemanusiaan mendorongnya untuk memastikan tidak ada yang terluka atau terjebak di dalamnya.

Sambil terus mencari, dia menghubungi layanan darurat untuk melaporkan insiden tersebut dan memberikan informasi yang diperlukan. Selama menunggu bantuan, Farah tetap waspada dan terus mencari di sekitar lokasi untuk memastikan tidak ada yang membutuhkan pertolongan.

Farah melajukan mobilnya dengan hati-hati menuju lokasi ledakan, menghindari puing-puing yang berserakan. Dia memeriksa sekitar area dengan cermat, berharap menemukan tanda-tanda seseorang yang mungkin terjebak atau membutuhkan bantuan.

Dia menghubungi layanan darurat untuk melaporkan insiden tersebut dan memberi tahu mereka tentang ledakan dan kebakaran. Sambil menunggu bantuan tiba, Farah memastikan untuk menjaga jarak dari api dan puing-puing yang mungkin masih panas.

Dalam kegelapan malam dan asap tebal, Farah berusaha mencari di area sekeliling untuk memastikan tidak ada korban yang terabaikan. Keberanian dan rasa kemanusiaan mendorongnya untuk terus mencari dan membantu sesuai kemampuannya.

Farah kembali ke mobilnya, merasa lega bahwa mobil yang terbakar kosong, namun kekhawatiran tetap membayangi pikirannya. Dia memeriksa area sekitar dengan seksama, memastikan bahwa tidak ada korban lain yang mungkin terjatuh di luar pandangan.

Ketika layanan darurat akhirnya tiba, Farah memberikan informasi yang dia miliki dan menjelaskan situasinya. Petugas kemudian melakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan tidak ada yang terluka atau terjebak di sekitar lokasi.

Setelah memastikan semuanya aman, Farah melanjutkan perjalanannya pulang dengan hati yang masih diliputi kekhawatiran. Dia merasa lega karena bisa membantu, namun tetap berdoa agar tidak ada orang yang terlibat dalam kejadian tersebut.

Dalam gelap malam yang diselimuti hujan, suara rintihan minta tolong mengisi udara dingin, menggema di sepanjang jalan besar yang sepi. Farah, dalam kecemasan dan kebingungan, berusaha mencari sumber suara itu. Dengan kecepatan dan ketegangan yang semakin meningkat, dia melihat kilatan cahaya dari api yang berkobar dari mobil yang baru saja meledak. Namun, perhatian Farah segera tertuju pada sesuatu yang lebih mendesak.

Di pinggir jalan, terhalang oleh sisa-sisa puing, ada sosok pria yang tergantung di pembatas jalan, hanya berpegangan pada sehelai baju yang tersangkut. Kegelapan malam semakin membuat situasi ini terasa menakutkan. Hujan yang turun deras menambah kesulitan, membuat permukaan jalan menjadi licin dan tidak stabil.

Farah merasa jantungnya berdegup kencang. Dia mengerahkan seluruh tenaga dan tekadnya, melawan rasa takut dan kedinginan, menuju pria yang terjebak itu. Dengan sekuat tenaga, Farah mulai menarik baju yang tersangkut, berusaha untuk membebaskan pria itu dari cengkeraman pembatas jalan yang mengancam keselamatannya. Tangannya terasa dingin dan basah, tetapi dia tidak berhenti.

Setelah beberapa saat yang terasa seperti berjam-jam, Farah akhirnya berhasil mengangkat pria itu ke atas dengan susah payah. Pria itu, dalam kondisi lemah dan penuh kesakitan, tidak mampu membantu dirinya sendiri. Farah segera meraih tangan pria itu, dengan hati-hati menghindari luka-luka yang sudah mulai mengeluarkan darah. Farah tahu waktu sangat berharga; setiap detik bisa berarti perbedaan antara hidup dan mati.

Dalam cahaya redup dari lampu jalan, wajah Farah tampak penuh tekad dan kepedihan, sementara hujan terus menetes tanpa henti, seolah menjadi saksi bisu dari upaya heroiknya. Dengan tangan yang bergetar tetapi pasti, Farah berusaha menenangkan dirinya dan pria itu, berharap bantuan segera datang sebelum terlambat.

Farah dengan hati-hati menarik baju yang tersangkut di pembatas jalan dan meraih tangan pria tersebut. Dengan segenap tenaga, dia berhasil mengangkat pria itu ke atas, memastikan agar dia bisa kembali ke posisi yang aman.

“Terima kasih, aku hampir tidak bisa bergerak,” kata pria itu dengan napas terengah-engah.

“Tidak apa-apa, kamu baik-baik saja?” tanya Farah, memastikan keadaan pria itu.

Pria itu mengangguk, “Ya, tapi aku rasa aku mengalami beberapa luka lecet. Aku berterima kasih atas bantuanmu.”

Farah mengeluarkan ponselnya dan segera memanggil layanan darurat untuk meminta bantuan medis. Sambil menunggu, Farah memberikan beberapa pertolongan pertama sederhana kepada pria itu, memastikan dia merasa lebih nyaman dan aman hingga bantuan tiba.

Farah memutuskan bahwa waktu sangat penting dan tidak bisa menunggu ambulan. Dia segera menghubungi Iplan dan meminta bantuan untuk membawa pria itu ke rumah sakit. Iplan, dengan cepat, membantu Farah memindahkan pria itu ke kursi belakang mobil.

Sambil mengemudikan mobil ke rumah sakit, Farah terus memantau kondisi pria itu. Sesampainya di rumah sakit, mereka segera membawanya ke ruang gawat darurat.

“Cepat, ini kasus darurat!” seru Farah kepada petugas medis di ruang gawat darurat.

Petugas medis segera mengambil alih, dan Farah serta Iplan menunggu di luar sambil memastikan pria itu mendapatkan perawatan yang dibutuhkan. Farah merasa lega setelah mengetahui pria itu akhirnya mendapatkan pertolongan yang diperlukan.

Farah segera bergegas ke bagasi mobilnya dan mengambil baju cadangan yang dia miliki. Dengan cepat, dia membalut luka di tangan pria itu untuk menghentikan pendarahan. Sambil bekerja dengan cekatan, dia terus berbicara kepada Iplan agar tetap tenang dan membantu dengan segala yang diperlukan.

Setelah luka pria itu dibalut dengan cukup baik, Farah dan Iplan kembali ke rumah sakit. Farah menjelaskan situasinya kepada petugas medis dengan jelas, memastikan bahwa semua informasi penting sudah disampaikan.

Petugas medis, yang sangat berpengalaman, mulai menangani pria itu dengan cepat dan profesional. Farah merasa cemas namun lega karena pria itu sudah berada di tangan yang tepat.

Sementara itu, Iplan melihat Farah dengan penuh perhatian, jelas terkesan dengan keberanian dan kepedulian yang ditunjukkan Farah. Farah, meskipun lelah dan khawatir, tetap berusaha menjaga ketenangannya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!