DILARANG PLAGIASI! KARYA ORISINIL NURUL NUHANA.
Apa yang akan kalian lakukan jika menyadari kehidupan kalian dalam bahaya? Tentunya takut bukan?
Itulah yang saya alami, setelah secara tidak sengaja membantu membayarkan makanan seorang pria di sebuah Kafe. Sebuah kebaikan dan ketidaksengajaan yang membuat hidup saya masuk ke jurang kesengsaraan dan kriminalitas. Pria yang sempat saya tolong itu menjadi obsesi dan semua tindakannya untuk mendapatkan saya sudah sangat mengganggu ketenangan dan membahayakan.
Gilanya obsesi pria itu sampai memaksa saya untuk menikah dengannya. Saya yang ketakutan dan terancam, menerima pernikahan itu dengan terpaksa. Saya tetap saja tidak mencintai suami saya, walau perlakuannya seperti malaikat. Tapi suami saya juga bisa langsung berubah menjadi iblis jika saya memberontak.
"Kurang ajar! Kabur sejauh ini ternyata kamu ingin mengaborsi anak kita!" Hans membentak dan mencengkram dagu saya.
"Kamu tidak akan pernah bisa lari dari saya Mona!" ejeknya tertawa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NURUL NUHANA., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LARI DARI KEJARAN TITAN.
"Kita belum sampai tujuan, mengapa kamu turun di sini?" tanya Riko.
"Karena kamu ugal-ugalan Riko!" jawab saya berteriak.
"Tenanglah Mona, jangan takut seperti itu. Saya sudah ahli dalam mengendarai mobil. Saya tidak akan membuatmu mati," ujar Riko.
"Saya mau turun, Buka!" perintah saya tak mempedulikan ucapannya.
Bukannya menuruti permintaan saya, Riko malah tersenyum mengejek dan kembali menginjak pedal gasnya dengan sangat kencang. Saya kembali di bawanya melaju dengan kecepatan tinggi di jalanan raya yang sedikit sunyi.
"RIKO BERHENTI! ARHHHHHHHHH!" Saya menjerit sekuatnya dan terus mencengkram kuat tali pengaman. Saya bahkan menutup kedua mata saya tak berani melihat ke depan, rasanya lebih mengerikan daripada naik roller coster. Riko malah tertawa melihat saya yang ketakutan dan meringkuk menutup wajah. Tawanya terdengar sangat bahagia, sementara saya seakan mati ketakutan.
Saya memberanikan diri mengintip sekilas, namun bukannya jalanan lengang, malah pemandangan sebuah mobil yang hendak kami tabrak dari belakang.
"ARHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH!" Saya menjerit sekuatnya saat menyadari mobil kami akan menabrak dalam kecepatan tinggi. Tapi ternyata sedetik kemudian Riko langsung membanting setirnya sehingga kecelakaan terhindari, ternyata ia sengaja melakukannya untuk membuat saya takut. Ia kembali mengemudikan mobilnya ugal-ugalan membuat nyawa saya tidak lagi bisa duduk dengan tenang.
"Riko berhenti! Kamu hampir menabrak orang lain! Kita bisa kecelakaan Riko!" teriak saya, namun tak ada respon selain tawa dari mulutnya.
"Riko berhenti!" mohon saya.
Riko tetap tak mengindahkan jeritan dan permohonan saya. Ia terus saja melajukan mobilnya dalam kecepatan tinggi, melewati siapa saja yang menghalangi jalannya. Bahkan badan saya sudah terhuyung ke sana-ke sini karena aksi ugal-ugalannya. Kepala saya semakin pusing, perut saya mulai mual dan hendak mengeluarkan isinya. Namun saya berusaha menahannya, agar tak memuntahkannya di dalam sini.
Saya menepuk tangan Riko dan mengodenya untuk menepi, karena saya tidak bisa berbicara. Isi muntah saya sudah memenuhi mulut, saya semakin tidak kuat untuk menampungnya jika Riko tidak berhenti sekarang juga.
Wajah Riko terlihat sedikit panik melihat saya yang hendak muntah, ternyata hal itu berhasil membuatnya menurunkan kecepatan mobil dan menepi ke pinggir jalan. Saat mobil sudah berhenti, Riko membuka kunci mobilnya, saya langsung turun dari mobil dan memuntahkan seluruh isi perut saya di semak-semak.
Badan saya rasanya langsung kehilangan energi dan keseimbangan tubuh. Mual di perut saya terus memicu seluruh isi perut saya untuk keluar. Hingga mulut saya rasanya pahit sekali, benar-benar muntah sampai titik akhir isi perut. Saya berjongkok menunggu hingga muntahnya selesai. Jika terus berdiri, saya merasa terhuyung dan sedikit berkunang-kunang. Ini yang saya tidak suka jika naik mobil, karena bila saya mabuk, rasanya seperti sedang menuju kematian, melebihi demam. Dan jika saya mabuk kendaraan, sudah dipastikan kejadian selanjutnya adalah deman tinggi.
Riko sama sekali tidak menghampiri saya, saya pun tidak peduli entah ia sudah pergi atau masih di tempatnya. Memang lebih baik ia pergi dari sini, saya tidak mau naik mobilnya lagi setelah ini semua selesai. Mempermainkan nyawa orang lain saja dibuatnya mainan, lebih baik saya tidak pernah bertemu dengannya lagi. Dan ini semua tidak pernah terjadi, maka saya jauh lebih tenang dari sebelumnya.
Rumput yang rimbun dan hijaunya kini telah ternodai oleh muntah saya. Bahkan suara kodok dan serangga lainnya menemani saya dengan nyanyian mereka. Suara kendaraan yang melintas ikut memenuhi ruang hampa alam semesta. Saya mengelap mulut saya dengan tangan switer, karena saya tidak membawa sapu tangan. Saya menoleh ke belakang, Riko melihat saya dari dalam mobil dengan pintu mobil saya yang masih terbuka lebar. Bahkan ia tidak mematikan mesin mobilnya sama sekali, tangannya masih bersiap memegang setir. Pedal gas mobilnya ia injak-injak sehingga suara mobilnya menggelegar seperti suara balapan, seolah ia mengatakan "Ayo cepat masuk, kita mulai balapannya lagi!". Saya benar-benar emosi melihat wajahnya, entah mengapa rasa benci langsung muncul dalam benak saya. Saya melirik tas kecil coklat muda milik saya masih terletak di atas kursi mobilnya, saya lupa membawanya. Tanpa pikir panjang, saya langsung bergegas mengambil tas saya tanpa melirik dan mempedulikan Riko sedikitpun. Tidak lupa saya banting pintu mobilnya dengan sangat kuat, hingga suaranya terdengar keras. Saya berlari ke belakang melewati jalan yang kami lintasi sebelumnya, menuju jalan pulang. Jika berlari ke depan, Riko bisa mengejar saya dengan mobilnya, lagi pula saya tidak tahu menuju kemana jalan ke depan sana, jadi lebih baik menuju ke arah pulang saja. Yang terpenting sekarang adalah saya harus pergi jauh dari Riko, saya tidak mau bertemu dengannya lagi.
Sudah cukup jauh saya berlari, hingga ginjal saya rasanya sakit sekali. Saya berhenti sejenak, sekaligus mengatur napas yang sudah tersengal. Sudah mabuk kendaraan, pusingnya bahkan belum hilang, sekarang saya harus lari-larian dengan paru-paru dan ginjal yang sakit. Suara napas saya sudah seperti mesin motor yang mogok, bahkan jika dibandingkan dengan atlet lari 12 Km, saya lebih terlihat letih daripada mereka. Memang benar-benar lemah sekali diri saya ini, maklum saya juga tidak pernah olahraga apalagi lari.
Saat sedang berjalan sambil mengatur pernapasan, saya menoleh ke belakang, dan betapa terkejutnya ternyata Riko sedang mengejar saya. Melihat hal itu, tanpa pikir panjang saya langsung berlari lagi dengan kencang. Tak peduli mau mati kehabisan napas ataupun ginjal yang rontok, yang lebih penting sekarang selamatkan diri dari Riko. Rasa ketakutan saya sekarang bahkan mengalahkan rasa ketakutan saat pria itu masuk ke dalam kamar saya. Riko jauh lebih menakutkan daripada pria misterius itu.
Di gelapnya malam yang dingin dan sunyi dari kendaraan yang lewat, seorang gadis kecil seperti saya dikejar oleh pria berbadan besar dengan langkah panjangnya. Bayangkan, saya seperti seorang kurcaci yang tengah dikejar oleh seorang titan. Apa tidak mau lumpuh rasanya kaki ini bahkan nyawa pun seolah hendak keluar saking habisnya energi untuk berlari.
Namun sekencang apapun saya berusaha berlari menjauhi Riko, langkah panjangnya bisa dengan mudah mengejar saya. Riko sudah di belakang saya bahkan tangannya yang panjang berhasil meraih tangan kiri saya dan menariknya. Saya memberontak hingga berhasil terlepas, saya terus berlari sambil mengelak dari cengkraman tangannya yang akan menarik saya.
"TOLONG! TOLONG! TOLONG SAYA!" saya berteriak sekuatnya meminta pertolongan pada siapa saja yang mendengar. Bahkan saya melambaikan tangan kepada kendaraan seperti mobil yang melintas, namun bukannya menolong mereka semua terus melanjutkan perjalanannya.
"Tolong! Tolong! Tol ...." Saya menjerit meminta bantuan namun Riko berhasil menangkap saya kembali dan membekap mulut saya. Saya memberontak melepaskan diri dari pelukannya, namun tak bisa. Bahkan gigitan saya pada tangan kanannya tak membuat mulut saya lepas dari bekapannya.
Tubuh lemas dan kecil saya kalah tenaga dengan Riko, bahkan tubuh saya seakan membeku saking ketakutannya. Riko menyeret saya menuju mobilnya sekitar 700 meter di depan sana. Dalam keadaan mulut yang masih dibekapnya, saya terus diseretnya menuju mobilnya. Kedua tangan saya terus mencakar tangannya hingga berdarah bahkan menyubiti dan menyiku perutnya, namun Riko seperti mati rasa. Sedikitpun tidak ada suara dari dalam mulutnya, diamnya ini semakin membuat saya takut. Karena biasanya orang yang marahnya diam, itu lebih menyeramkan.
Jalanan sunyi tanpa ada satupun kendaraan yang melintas, entah mengapa jalanan ini sunyi sekali. Sepertinya Riko sudah merencanakan hal ini sebelumnya, ia sengaja mengajak saya melewati tempat ini. Ditambah sudah tengah malam, pasti kendaraan yang melintas semakin sedikit, bahkan kini tak ada satupun. Hanya bulan sabit dan suara serangga yang memenuhi tempat ini, bahkan areanya seperti hutan.
Riko membanting tubuh saya ke dalam mobil, hingga kepala saya terantuk bangku tengah mobil.
Untung berhasil selamat.
Walau baju sudah compang-camping!
Tapi masa Mona mati?/Sob/
Makanya jangan banyak tingkah Hans!
Masuk ICU kan jadinya/Drowsy/
Riko siapa ini?/Scream/