Benarkah mereka saling tergila-tergila satu sama lain?
Safira Halim, gadis kaya raya yang selalu mendambakan kehidupan orang biasa. Ia sangat menggilai kekasihnya- Gavin. Pujaan hati semua orang. Dan ia selalu percaya pria itu juga sama sepertinya.
...
Cerita ini murni imajinasiku aja. Kalau ada kesamaan nama, tempat, atau cerita, aku minta maaf. Kalau isinya sangat tidak masuk akal, harap maklum. Nikmati aja ya temen-temen
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dochi_19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejutan mendadak
Pagi itu jantung Safira berdegup kencang, bukan karna penyakitnya, melainkan rasa gugup yang melandanya. Jam di tangannya pun sampai berbunyi memberi peringatan. Sebelum keluar dari lift ia menghela napas dahulu. Bibir yang sebelumnya bersiap merekah itu kini layu. Tidak ada siapapun di meja makan. Tidak ada orang tua yang menyambutnya.
"Bi, Ibu sama Ayah di mana?" Safira bertanya pada Bi Surti yang datang menyiapkan makanan di meja.
"Sudah berangkat, Non." Bi Surti —pelayan pribadinya di rumah— pun kembali pergi ke dapur.
"Bahkan hari sepenting ini pun tidak ada." Ia bergumam pada dirinya sendiri.
.
.
Ujian masuk SMA Harapan (Halim Rangka Pandu) semakin membeludak lebih dari tahun-tahun sebelumnya. Wajar saja, mengingat SMA ini menjadi favorit di Ibu Kota. Bukan hanya fasilitas yang menjanjikan, sistem pendidikan pun jadi acuan para orang tua memilih SMA Harapan. Apalagi persentase lulusannya diterima Universitas Nasional terbaik dan Universitas luar negeri yang sangat tinggi, mencapai 85%, orang tua mana yang tidak tergiur. Semua ruang kelas di sembilan bangunan kelas penuh. Dan ujian belangsung hingga sore karena dibagi beberapa sesi.
Ya, sisi lain yang menjadikan SMA Harapan terkenal adalah karena memiliki sembilan bangunan besar untuk ruang kelas. Satu bangunan terdiri dari tiga lantai yang tiap lantainya diisi satu kelas. Dan lengkap dengan fasilitas penunjang belajarnya seperti laboratorium khusus perkelas.
Safira mengumpulkan kertas ujiannya paling awal. Sebenarnya ia masih memiliki banyak waktu dan guru pengawas pun mempertanyakan keputusannya, tapi karena kondisinya tidak mendukung ia pun memantapkan hati menyerahkan lembar ujiannya itu. Dan lagi ia sudah mengulang soal-soalnya. Kepalanya pusing, salahkan ia karena hanya meminum air saat jam istirahat. Badannya bisa saja ambruk kalau tidak ada yang menahannya begitu keluar ruang ujian.
"Kamu kenapa?"
Ternyata Gavin yang menahan tubuhnya. Laki-laki itu membantunya berdiri dengan benar. Lalu menatapnya khawatir.
"Kepalaku pusing, kak."
"Ayo ke mobil."
Safira hampir saja berteriak akan tindakan Gavin yang memangkunya tiba-tiba. "Turunin. Malu tahu."
"Gak usah malu. Daripada pingsan 'kan ribet."
Akhirnya Safira diam. Meskipun hatinya berdebar tidak karuan. Untung saja suasana masih sepi karna ujian belum berakhir. Dalam posisi sedekat ini ia jadi bisa menatap wajah pujaan hatinya dengan sangat dekat. Kulitnya yang putih, hidung mancung, dan bibir yang saat tersenyum manis sekali. Semuanya Safira suka. Dan ia bersyukur ada di lantai 3, jadi punya kesempatan lebih lama. Tapi kasihan juga Gavin, mungkin saja Safira bertambah berat badan. Kepalanya sudah tidak terlalu pusing karena lonjakan kebahagiaannya saat ini.
Akhirnya mereka sampai di parkiran. Safira pun masuk ke dalam Audi R8 milik Gavin. Dan Gavin duduk dibalik kemudi.
"Tumben bawa mobil. Apa ini gak berlebihan?"
"Ini minum dulu." Gavin memberikan botol air pada Safira. "Hari ini kan spesial sama kamu, jadi harus yang lebih privasi."
Safira tersenyum lantas meminum airnya.
"Gak sia-sia dong aku bawa sandwich buatan Mama, ternyata akan berguna. Ini makan dulu." Gavin memberikan kotak makan.
Safira menerimanya dengan suka cita. Ia memakan roti itu dengan lahap. Matanya berbinar bahagia. Ternyata di hari ini ia mendapat kebahagiaan yang tidak disangka.
"Enak."
"Kalau makan jangan sambil nangis." Gavin mengusap air mata yang lolos dari sudut mata Safira.
"Aku itu bahagia ada kamu hari ini."
Gavin tersenyum lalu mengangguk. Ia memandangi Safira yang menikmati sandwich-nya, menunggunya sampai selesai. "Gimana ujiannya?"
"Sejauh ini lumayan lancar. Kita tunggu hasilnya aja."
"Kerja bagus. Sebagai hadiahnya, kamu mau pergi ke mana?"
"Hadiah apa?"
"Kamu 'kan sudah kerja keras. Jadi aku kasih kamu hadiah."
"Ada satu tempat yang aku mau."
Gavin pun menancap gas pergi ke tempat yang di maksud Safira.
.
.
"Kamu yakin mau ke tempat ini?"
"Memang apa yang salah dengan ini?"
Gavin menatap restoran burger cepat saji di depannya. Tempatnya sedang populer akhir-akhir ini dan sekarang pun ada banyak pengunjung. Memang tidak ada yang salah dengan restorannya, tapi lain lagi kalau menyangkut Safira.
"Kamu kan—"
"Katanya mau ngasih hadiah." Safira cemberut.
"Asal jangan di sini."
"Please." Safira memberikan tatapan paling memelas miliknya.
Gavin mendesah. Pasrah. "Oke."
Safira hampir meloncat kegirangan. Ini kali pertama ia makan di sini, seumur hidupnya. Dan yang menemaninya adalah sang pujaan hati. Apalagi yang lebih membahagiakan dari itu.
Gavin mendorong pintu kaca restoran itu. Ternyata di dalamnya lebih ramai dari yang terlihat di luar. Mereka pun mengantri untuk memesan.
"Biar aku yang pesan. Kamu duduk aja." Gavin mengusap rambut Safira.
"Aku mau nugget dengan mustard dan double cheese burger."
"Iya. Sana kamu duduk."
"Aku duduk dipojokan sana." Safira menunjuk meja dipojokan dan Gavin mengangguk. Lalu Safira pun berjalan menuju meja itu.
Setelah menunggu sekitar tiga orang kini giliran Gavin memesan. Kasirnya ada empat, jadi proses pemesanan berlangsung cepat.
"Silakan mau pesan apa kak?"
"1 nugget dengan mustard, 1 double cheese buger, 1 beef burger duluxe, 1 french fries, dan 2 air mineral."
"Eh?"
Gavin yang sebelumnya melihat papan menu di atas kini beralih pada seruan yang keluar dari mulut petugas kasir di depannya.
Gavin menaikkan alisnya. "Kenapa? Apa kurang jelas?"
"T-tidak, kak. Saya ulangi lagi ya pesanannya—" dan petugas itu pun menyebutkan kembali pesanan Gavin.
Tidak butuh waktu lama pesanan Gavin pun selesai. Tapi ada tambahan dua cola di nampannya.
"Ini gratis untuk kamu. Sebagai ucapan terima kasih untuk waktu itu."
"Terima kasih apa?"
"Kamu... lupa?"
Gavin sedikit tidak nyaman. Dia takut menyinggung perempuan di depannya, tapi mau bagaimana lagi dirinya memang tidak mengingat apapun.
"Aku Maura."
"Oh. Tapi maaf aku gak minum soda. Terima kasih." Gavin pun pergi membawa nampannya tanpa soda. Tidak ingin memperpanjang antrian di belakangnya.
"Mba, cepetan dong! Malah asyik ngobrol." Pelanggan selanjutnya sudah berseru marah.
"E-eh, iya maaf kak." Maura pun melepaskan pandangannya dari Gavin lalu melayani pelanggan selanjutnya.
"Ini dia." Gavin meletakkan nampan berisi pesanan mereka di meja.
"Wah, selamat makan." Safira pun dengan semangat melahap makanannya.
Gavin tersenyum melihat cara makan Safira yang berbeda dari biasanya. Tanpa ada table manners, tanpa garpu dan pisau. Dan sosok Safira saat ini lebih seperti anak gadis pada umumnya. Polos dan ceria.
"Uhuk... uhuk..."
"Kalau makan itu pelan-pelan." Gavin membuka tutup botol air mineral lalu diberikan pada Safira. "Ketahuan 'kan belum pernah makan burger."
"Kan memang belum."
"Wah, apa kata orang ya kalau tahu Nona Safira yang terhormat baru pertama kali mencoba makanan sejuta umat ini."
"Udah deh gak usah ngeledek." Safira cemberut dan Gavin pun tertawa.
.
.
"Makasih ya kak untuk hari ini. Tidak akan pernah aku lupakan."
Mereka sudah sampai di depan rumah Safira tapi ia masih enggan turun dari mobil Gavin.
"Iya. Aku juga senang hari ini."
"Aku mau kita sering-sering kaya tadi, ya."
"Kaya tadi yang mana? Digendong apa yang lain?" Gavin menggoda Safira.
"Ih, apaan sih malah bahas digendong." Wajah Safira memerah. "Maksud aku itu yang makan burger."
"Oh, yang itu. Kan janjinya juga sekali. Berarti tadi itu terakhir."
"Gak seru banget."
"Kondisi kamu itu kan lebih penting."
Tiittt Tiittt
Gavin menoleh pada jam tangan Safira yang berbunyi. Jam digital itu menunjukkan detak jantung Safira dan sekarang jantungnya sedang berpacu tidak normal.
"Safira!"
"Ah..."
"A-ada apa?" tanya Gavin panik.
"S-sakit..."
Safira menekan dadanya yang mulai terasa nyeri. Rasa sakit yang ia rasakan itu membuat napasnya pun seakan ikut terenggut. Lalu perlahan kesadarannya memudar.
Gavin langsung berlari keluar mobil lalu memutar untuk membuka pintu samping. Dan kemudian menggendong tubuh Safira yang tidak sadarkan diri. Dia berlari secepat mungkin untuk sampai pintu utama.
"Bi... Bi Surti!" Dia berteriak.
Bukan hanya Surti yang datang, melainkan beberapa pelayan yang mendengar teriakan Gavin ikut datang ke ruang tamu.
"A-ada apa, Den?" tanya Surti gelagapan.
"Cepat panggil Dokter Lukman!" Setelahnya Gavin menggendong Safira menuju lift naik ke lantai atas. Dua orang pelayan mengikutinya.
Gavin membaringkan Safira di atas ranjang dan meminta pelayan yang lain untuk membawa alat-alat medis yang biasa Safira butuhkan. Gavin bersyukur karna dokter Lukman tiba setelah alat-alat medis siap.
"Bagaimana kondisinya tadi?" tanya Dokter Lukman begitu masuk ke kamar. Pria jangkung itu melemparkan tas kerjanya pada Gavin.
"Aku tidak tahu persis. Tiba-tiba saja jamnya berbunyi lalu dia pingsan."
"Mari kita lihat."
Dokter Lukman pun segera memasang alat-alat medis pada tubuh Safira. Dua orang wanita berpakaian perawat muncul dengan koper berisi botol-botol cairan. Salah satu perawat itu memasang infus dan yang lain membantu dokter memberikan suntikan obat. Monitor yang menunjukkan tanda vital Safira itu kini berbunyi normal setelah sebelumnya tidak stabil. Dua perawat tadi keluar dari kamar.
"Bukan serangan jantung?" tanya Gavin memperhatikan Safira yang terbaring.
"Bukan. Syok. Apa kalian melakukan sesuatu tadi siang?"
"Ya, dia terus memaksa makan burger."
"Terkadang kita harus lebih keras kepala daripada dia."
"Ini yang terakhir." Gavin tersenyum getir lalu perlahan mendekat ke ranjang dan duduk ditepi. "Hebat juga ya dokter bisa cepat sampai kemari."
"Kebetulan aku baru pulang dari rumah sakit."
"Terima kasih, dok. Apa perawat tadi juga tinggal di komplek ini?"
"Mereka 'kan tinggal di rumah ini."
Gavin mengerutkan dahi. "Apa?"
"Kamu tidak tahu? Satu bulan ini kondisi Safira memburuk. Ivan sengaja mempekerjakan dua perawat untuk situasi seperti tadi."
"Aku tidak tahu." Gavin berucap pelan.
"Ya sudah, aku pulang dulu." Dokter Lukman menepuk bahu Gavin lalu mengambil tas yang sebelumnya diletakkan Gavin di atas meja rias.
"Bagaimana keadaan Non Safira?" Surti datang menghampiri setelah kepulangan dokter.
"Sekarang baik-baik saja. Apa Om dan Tante sudah pulang?"
"Tuan dan Nyonya ada acara makan malam. Saya akan memberitahu kalau keadaan Nona sudah membaik." Surti pun kembali keluar kamar.
Gavin memandang sendu sosok Safira yang terpejam. Wajahnya pucat. Padahal beberapa jam yang lalu wajah itu masih berseri. Bibirnya pun masih merona. Ia mengusap puncak kepala Safira.
"Semoga mimpimu indah di sana. Sampai jumpa besok, sayang."
.
.
TBC