Berselang dua minggu sejak dia melahirkan, tetapi Anindya harus kehilangan bayinya sesaat setelah bayi itu dilahirkan. Namun, Tuhan selalu mempunyai rencana lain. Masa laktasi yang seharusnya dia berikan untuk menyusui anaknya, dia berikan untuk keponakan kembarnya yang ditinggal pergi oleh ibunya selama-lamanya.
Mulanya, dia memberikan ASI kepada dua keponakannya secara sembunyi-sembunyi supaya mereka tidak kelaparan. Namun, membuat bayi-bayi itu menjadi ketergantungan dengan ASI Anindya yang berujung dia dinikahi oleh ayah dari keponakan kembarnya.
Bagaimana kelanjutan kisah mereka, apakah Anindya selamanya berstatus menjadi ibu susu untuk si kembar?
Atau malah tercipta cinta dan berakhir menjadi keluarga yang bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2. Menyusui Pertama Kali
“Cup, cup, cup. Diamlah, aku harus bagaimana lagi supaya kalian diam, hah?”
Puk, puk, puk.
Arsatya menepuk-nepuk pantat salah satu bayinya yang terbangun di malam hari, sedangkan bayi yang lainnya dibiarkan menangis di atas ranjangnya.
“Hei, diamlah. Aku sudah lelah, besok ayahmu ini harus bekerja. Kenapa kalian tidak bisa diam?” ocehnya sendiri pada dua bayinya yang menangis bersaut-sautan.
Bukannya diam, kedua bayi itu malah menangis semakin kencang setelah mendengar suara keras Arsatya. Bukan hanya kedua bayi itu yang terganggu dengan suara omelannya, tetapi anggota keluarga lainnya pun turut terganggu karena masih dalam suasana berkabung dan mereka masih berkumpul di rumah Arsatya karena pengajian akan terlaksana sampai 40 hari mendatang.
Ranti datang, “Ada apa, Nak? Ansha dan Chesa terbangun?” tanya Ranti pada putranya.
“Tadi Ansha ngompol dan sekarang malah semuanya jadi bangun, sudah diberi susu formula tapi tidak mau diam, Ma,” kata Arsatya mengadu. Pasalnya sejak sore tadi, bayi-bayi itu tenang dan tertidur damai, tetapi ketika tengah malam menjelang mereka akan menangis dan menjerit tidak bisa diprediksi.
“Kepalaku pusing, Ma. Suara tangisan mereka membuat kepalaku nyaris pecah, mereka tidak membiarkanku tertidur barang sejenak,” adunya pria itu pada sang ibu.
“Sini, biar mama yang gendong. Kamu tidurlah kalau begitu,” Ranti mengambil alih bayi yang masih menangis itu.
“Mana bisa tidur kalau mereka terus saja menangis. Bawa saja mereka pergi dari kamar ini, aku lelah mau tidur,” kata ayah dari bayi-bayi itu.
Di luar kamar. Anindya tergopoh-gopoh berlari dari arah tangga menuju sumber suara tangisan bayi di lantai dua.
Dengan napas yang tersengal-sengal dan penampilan yang acak-acakan, matanya pun memerah tanda jika tidurnya terganggu karena suara tangisan bayi yang mengejutkannya, “Tante, ada apa? Aku mendengar suara Ansha dan Chesa menangis keras sampai terdengar sampai bawah,” tanya Anindya yang melihat kedua ponakannya menangis keras di gendongan neneknya.
“Iya, mereka menangis sejak tadi, mungkin karena mereka lapar, Nin. Diberi sufor tidak mau,” kata Ranti menggendong dan menimang dua cucunya yang sesekali masih merengek.
“Biar Anin yang gendong salah satunya, Tante,” pinta Anindya mengambil Chesa dari tangan kanan Rianti.
“Hush, cup cup cup. Ponakan Onty yang cantik, yang kuat, yang cerdas, yang pintar, jangan menangis, sayang, Cup, cup, cup,” kata Anin menimang-nimang Chesa di gendongannya.
Bayi berusia dua hari itu langsung tertidur tenang dan tidak berkutik di gendongan Anindya. Sekarang giliran Ansha yang masih terbangun di gendongan neneknya.
Sebelum menimang Ansha, Anindya ingin menidurkan Chesa di ranjang bayi miliknya yang itu berarti dia harus masuk ke dalam kamar si ayah dari anak bayi itu. Dengan perlahan, Anindya membuka pintu kamar itu dan secara pelan menidurkan bayi itu ke ranjangnya dengan sangat hati-hati.
“Bobo dulu, ya, sayangnya Onty. Nanti Onty bawakan adikmu kemari, ya, janji jangan nangis, oke?” kata Anindya berbicara dengan bayi yang sudah terlelap di dalam ranjangnya.
Samar-samar, Arsatya masih bisa mendengar suara Anindya yang berbicara pada bayinya itu, tetapi dia biarkan saja selama bayinya tidak menangis.
Lewat tangah malam, Anindya masih menimang Ansha dalam gendongannya. Ansha yang sedikit-sedikit terus merengek, sedangkan susu formula yang dibuatkan berulang kali oleh neneknya sama sekali tidak mau masuk ke dalam perutnya.
“Tante, kalau Anin kasih dia ASI nya Anin, boleh nggak, ya?” kata Anindya pada mertua dari mendiang kakaknya.
“Memangnya ASI Anin masih keluar?” tanya Ranti yang kemudian memandang dada Anindya yang terlihat padat dan berisi penuh
“Tidak tahu, tapi seringnya sakit, Tan, mungkin karena tidak dikeluarkan. Boleh tidak Anin berikan ini pada Ansha?” tanya Anindya.
“Coba saja, Nin. Kalau memang keluar berarti itu rezeki Ansha,” ujar Ranti memberi dukungan.
Di hadapan Ranti, Anindya membuka bajunya. Dibantu oleh Ranti, Anindya dituntun untuk memposisikan bayi yang baik dan benar saat akan menyusui.
Anindya mengarahkan mulut bayi Ansha pada posisi yang benar, bayi itu langsung menyesap ASI Anin dengan lahap sesuai nalurinya.
“Aduh, kok, rasanya seperti ini, Tan?” Anindya meringis saat bayi Ansha menyesap kuat-kuat ASI Anindya.
“Kenapa?”
“Sakit, auh. Sakit sekali, Tante. Ssshh… ” Anindya meringis menahan rasa sakit yang tidak tertahankan saat ASI-nya disesap oleh bayi Ansha sekuat tenaga.
“Pelan-pelan, Sayang. Onty kesakitan. Tante sakit, kenapa dia tidak mau berhenti sejenak atau pelan-pelan, Tante?”
Bayi itu memang menjadi tenang, kini gantian Anindya yang menangis sampai mengeluarkan air mata saking tidak nyamannya ketika sang bayi menyesap ASI-nya.
“Sakit, Tante,” ucapnya seraya menarik paksa sumber ASI dari mulut bayi Ansha.
Namun, malah membuat bayi Ansha menangis keras karena terkejut.
“Nin, pelan-pelan, Nak. Jangan ditarik paksa seperti itu. Dia masih bayi, dan punyamu nanti bisa lecet. Memang seperti itulah yang dirasakan oleh semua ibu di awal masa menyusui, terasa sakit itu pasti. Permukaan lidah bayi yang baru lahir memang bertekstur kasar, tapi lama-lama akan terbiasa,” nasihat lembut dari Rianti.
“Sakit, Tan. Anin tidak tahan. Hush, hush, cup-cup. Maafkan Onty, Sayang,” kata Anindya menyesal telah menarik paksa ASI dari mulut bayi Ansha.
Ansha masih menangis, Anindya merasa kasihan tetapi ia harus memberikan ASI itu lagi. Dengan menelan ludah susah payah, dia akan mencoba sekali lagi memberikan ASI untuk bayi Ansha walau permukaan payu-dara itu sudah terasa perih karena lecet.
“Coba gantian sebelah kanan, Nin,” saran Rianti.
Anindya menurut, dia membiarkan ASInya diminum oleh bayi Ansha meskipun tubuhnya terlonjak-lonjak karena sesekali permukaan lidah si bayi terasa menyayat ujung payu-dara Anindya.
Di kamar Ranti, keduanya duduk bersandar di atas ranjang dengan Ansha yang berada di pangkuan Anindya. Membiarkan semalaman ASI Anindya disesap bayi Ansha yang kehausan.
Tidak terasa pagi telah tiba, matahari sudah menyorot terang dari barik celah jendela yang terbuka sebagian.
“Auh!!” kembali pu-ting Anindya terasa sakit karena bayi Ansha kembali menyesap ASI tanpa dilepas sejak semalam hingga bayi itu bangun kembali.
“Kamu sudah bangun, Sayang? Ah, pintarnya tidak menangis, Ansha mau nenen lagi sama Onty? Iya? Ansha lapar, ya?” kata Anindya mengajak bayi Ansha mengobrol.
“Huk, uks,” seakan bayi itu mengerti saat Anindya berbicara dengannya. Si bayi Ansha menjawabnya dengan gulatan tangan dan kaki yang bergerak-gerak diselingi suara bayi yang khas dan menggemaskan.
Kembali Anindya mengarahkan payu-daranya supaya posisinya tepat masuk ke dalam mulut Ansha. Seketika bayi Ansha menyesapnya dengan lahap dan Anindya sadar bahwa rasa sakit dan menegang di daerah sekitar dadanya yang biasanya dirasakan setiap paginya, kini sudah tidak terasa.
“Memang ini rezekimu, Sayang. Mimi cucu yang banyak, ya, biar onty juga tidak merasa sakit lagi. Terima kasih, Sayang,” kata Anindya mengusap kepala bocah yang penuh keringat karena meminum ASI dengan lahapnya.
maaf ya thor
gak cmn mewek kak, gemes,kesel pokoknya nano nano