NovelToon NovelToon
My Perfect AI

My Perfect AI

Status: sedang berlangsung
Genre:Time Travel / Sistem
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Asteria_glory

Seorang gadis cantik bernama hanabi, atau sering di panggil dengan panggilan hana itu. Ia selalu mengandalkan AI untuk segala hal—dari tugas kuliah hingga keputusan hidup nya. Cara berpikir nya yang sedikit lambat di banding dengan manusia normal, membuat nya harus bergantung dengan teknologi buatan.
Di sisi lain, AI tampan bernama ren, yang di ciptakan oleh ayah hana, merupakan satu-satunya yang selalu ada untuknya.
Namun, hidup Hana berubah drastis ketika tragedi menimpa keluarganya. Dalam kesedihannya, ia mengucapkan permintaan putus asa: “Andai saja kau bisa menjadi nyata...”
Keesokan paginya, Ren muncul di dunia nyata—bukan lagi sekadar program di layar, tetapi seorang pria sejati dengan tubuh manusia. Namun, keajaiban ini membawa konsekuensi besar. Dunia digital dan dunia nyata mulai terguncang, dan Hana harus menghadapi kenyataan mengejutkan tentang siapa Ren sebenarnya.
Apakah cinta bisa bertahan ketika batas antara teknologi dan takdir mulai meng

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asteria_glory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dalam hening yang membekukan...

Pagi itu menyambut dengan kabut tipis yang menyelimuti jendela-jendela rumah kecil mereka. Embun masih menetap di dedaunan, dan sinar matahari belum sepenuhnya menembus langit yang kelabu. Di dapur, Hana tampak sibuk dengan panci kecil berisi sup jahe yang mengepul perlahan. Aromanya memenuhi ruangan, menciptakan kehangatan tipis yang berbanding terbalik dengan ekspresi tenangnya.

Ia menata mangkuk dengan rapi, menyendok sup ke dalamnya dengan gerakan ringan seolah tak ada yang salah. Tapi matanya tak bisa menyembunyikan kelelahan yang bersembunyi di balik lensa pupilnya. Tidak ada lagi gumaman kecil atau senyum canggung seperti biasanya. Ia hanya diam, seperti kabut yang menggantung di luar sana.

Langkah kaki yang berat terdengar dari lorong. Sang ayah baru saja bangun, mengenakan sweater lusuh dan membawa aroma malam yang panjang. Ia berhenti sejenak di ambang pintu dapur, menatap Hana tanpa berkata apa pun. Ada sesuatu dalam tatapan itu—keraguan yang bercampur dengan ketakutan.

Ren yang sudah duduk di meja makan, menatap Hana sebentar, lalu beralih memandang pria tua itu. Mata mereka bertemu. Hening. Hanya desis api kecil dari kompor yang memecah kesunyian.

Sang ayah menarik napas, lalu berkata pelan, “Ren, bisakah kita bicara sebentar?”

Nada bicaranya tenang, tapi jelas. Ada sesuatu yang mendesak namun terkunci rapat dalam intonasi suaranya. Ren mengangguk pelan dan berdiri, mengikuti sang ayah menuju ruang kerja yang sepi di ujung rumah.

Pintu ditutup dengan lembut, tapi udara dalam ruangan itu berubah drastis. Cahaya pagi menerobos melalui celah jendela, menyinari tumpukan buku, kabel, dan skema-skema digital yang setengah terlupakan.

“Dia tahu, bukan?” suara ayah Hana akhirnya pecah, nyaris berbisik.

Ren menatap lurus ke arah meja, lalu mengangguk. “hmm... Ya, aku rasa begitu.”

Tak ada yang berkata selama beberapa saat. Masing-masing seperti menimbang apakah mereka benar-benar siap untuk membuka kembali luka yang belum sempat sembuh.

“Aku melihat caranya menatapku tadi. Bukan seperti seorang anak yang sedang berusaha menyenangkan ayahnya.” Sang ayah duduk di kursi tua yang berderit saat disentuh. “Itu tatapan yang... dingin. Penuh tanya. Dan kecewa.”

Ren berdiri diam, hanya menjawab, “Dia tidak mengatakannya, atau pun hanya sekedar bertanya...”

“Dia tak perlu mengatakan apa pun,” sahut pria itu dengan suara lebih berat. “Kita terlalu jauh dalam proyek ini. Aku kira… aku kira aku bisa menundanya. Atau mungkin memperbaikinya sebelum dia sadar.”

“kau sudah tahu sejak lama ini bukan sekadar kesalahan sistem,” Ren berkata, suaranya datar. “Tapi kau terus memaksakan kehendak.”

Tatapan sang ayah menajam. “Kau bicara seolah kau bukan bagian dari ini, Ren.”

“Aku bagian dari ini,” jawab Ren, suaranya tetap dingin. “Tapi aku juga melihat dampaknya. Pada kita, dan terlebih juga pada hana...”

Pria itu terdiam. Pandangannya jatuh pada foto tua di atas meja—potret Hana kecil bersama ibunya. Senyumnya polos, begitu hidup. Tak ada rekayasa. Tak ada kebohongan. Hanya memori yang kini tinggal dalam bentuk data.

“Aku tidak ingin kehilangan dia,” bisiknya. “Aku sudah kehilangan ibunya, Ren. Aku bahkan tak bisa menyelamatkan satu pikiran pun dari istriku. Tak ada yang bisa diselamatkan.”

Ren tak menjawab. Ia hanya memejamkan mata, mencoba menahan sesuatu yang menyesakkan di dadanya.

“Aku mencoba mengulang waktu,” lanjut sang ayah lirih. “Menciptakan ulang dunia yang memberiku kesempatan kedua. Tapi semua uji coba selalu berakhir sama. Kecelakaan itu tetap terjadi. Tidak peduli berapa kali aku memutar ulang, atau seberapa jauh aku mengubah alurnya.”

“Dan sekarang Hana mulai mengingat semuanya,” kata Ren dengan nada berat. “Dia mulai sadar bahwa ini bukan dunia nyata.”

Lelaki tua itu hanya menunduk, seolah tak lagi punya kekuatan untuk membantah.

“Lalu apa yang akan kau lakukan?” tanya Ren akhirnya. “Kau akan menghapus ingatannya lagi? Mengulang semua dari awal?”

“Aku tidak tahu…”

“Itu bukan jawaban,” balas Ren tajam.

“Aku tidak ingin membuatnya menderita,” pria itu membela diri.

“Tapi saat ini, dia sedang menderita,” Ren menatapnya tajam. “Dan kita membiarkannya.”

Untuk sesaat, dunia menjadi hening lagi. Tak ada suara, tak ada langkah. Hanya bisikan mesin-mesin di bawah rumah yang terus bekerja tanpa henti, membangun simulasi yang retak sedikit demi sedikit.

Ren melangkah ke arah jendela, menatap keluar ke taman kecil di luar sana. Hana masih di dapur, mengaduk sup dengan gerakan pelan. Tak ada tangis. Tak ada amarah. Tapi sesuatu dalam dirinya perlahan memudar, seperti kabut yang hilang ditelan panas matahari.

“Jika dia meminta untuk mengakhiri ini,” kata Ren perlahan, “apakah kau sanggup mengabulkannya?”

Sang ayah memejamkan mata. Tak ada jawaban.

Ren menoleh, suaranya berubah lebih datar namun mengancam, “Jangan membuatnya memilih untuk pergi sendiri, Pak. Karena jika itu terjadi… aku tak yakin aku bisa memaafkanmu.”

Kata-kata itu menggantung di udara. Berat. Mencekik. Tak ada yang berkata apa pun lagi. Dua pria itu diam, terjebak dalam kebekuan yang lebih dingin dari kabut pagi di luar sana.

----

Hening menyelimuti malam seperti selimut tak terlihat. Lampu gantung di ruang keluarga memancarkan cahaya kekuningan yang lembut, menimbulkan bayangan-bayangan panjang di dinding. Hana duduk bersandar di jendela besar, menatap keluar dengan pandangan kosong. Di luar, hujan baru saja reda. Tetes-tetes air masih menetes dari ujung daun, seolah turut bersedih bersamanya.

Ren duduk tak jauh darinya, di kursi yang sengaja ditarik menjauh agar memberi ruang. Namun ruang itu justru terasa seperti jurang. Tak seorang pun bicara. Hanya suara jam dinding yang terdengar, berdetak seperti detik-detik yang menyayat.

“Hari ini dingin, ya,” kata Hana tiba-tiba. Suaranya pelan, nyaris tertelan oleh suara angin dari ventilasi.

Ren mengangguk kecil. “Kau kedinginan?” tanyanya pelan, seperti takut mengganggu pikiran yang tengah berputar dalam kepala gadis itu.

“Tidak,” jawabnya cepat. Lalu senyap lagi. Tapi dari cara ia merangkul lututnya sendiri, Ren tahu itu bukan kejujuran.

Beberapa saat kemudian, Hana berdiri. Langkahnya ringan menuju dapur, mengambil air panas dan menuangkannya ke dalam cangkir kecil. Ia kembali ke tempat duduknya tanpa bicara, menyerahkan cangkir itu kepada Ren.

“Untukmu,” katanya singkat.

Ren menerima tanpa kata. Namun tatapannya tak lepas dari wajah Hana yang tampak lebih pucat dari biasanya. Rambutnya yang biasanya dikepang rapi kini dibiarkan tergerai. Ia tampak berbeda, seolah malam ini, ada bagian dari dirinya yang memudar.

“Kau tidak tidur?” tanya Ren akhirnya.

Hana menggigit bibir bawahnya. “Bagaimana aku bisa tidur, setelah semua ini?”

Ren menunduk, menggenggam cangkir hangat itu lebih erat. Ia tahu Hana mulai menyadari lebih banyak hal. Tapi ia juga tahu, mendesaknya untuk bicara hanya akan mendorongnya menjauh.

“Ren...” panggil Hana setelah jeda yang panjang.

Ren menoleh, tenang namun penuh waspada.

“Menurutmu... jika seseorang diciptakan hanya untuk menggantikan yang sudah tiada, apakah itu... berarti ia tak punya hak untuk merasa?”

Pertanyaan itu membuat napas Ren tertahan sejenak. “Kenapa kau bertanya begitu?”

“Karena aku mulai merasa seperti itu.”

Ren tidak menjawab. Ia menatap wajah Hana dalam-dalam. Bukan karena tak ingin bicara, tapi karena takut jawaban yang salah akan menghancurkan satu-satunya sisa kepercayaan yang masih Hana miliki.

“Berhentilah memikirkan hal aneh hana, itu ak baik untuk kesehatan mu...” ujar Ren akhirnya, mencoba mengalih kan jawaban dari hana.

Hana menoleh menatapnya. Matanya tampak berair, tapi ia tersenyum tipis. “Ya, ku pikir kau benar. Lupakan saja kalau begitu...”

Ren menggenggam cangkir lebih erat, merasakan panasnya menusuk telapak tangannya. Ia ingin berkata bahwa Hana nyata, bahwa semua kenangan dan perasaannya tak mungkin hanya sekadar program. Tapi kenyataan menamparnya: ia tahu kebenaran. Dan kebenaran itu tak bisa diubah oleh kata-kata.

“Jika pikiran ku salah, ku harap itu benar ren...”

Ren menggertakkan rahang. Suasana menjadi begitu rapuh. Ia tahu, pertahanan Hana mulai runtuh. Dan jika retakan itu terus melebar, Hana akan tahu segalanya lebih cepat dari yang seharusnya.

Tiba-tiba langkah kaki terdengar dari arah tangga. Ayah Hana muncul, mengenakan sweater lusuh dan celana panjang. Matanya tampak lelah, seperti tak pernah benar-benar tidur. Ia berhenti beberapa langkah dari mereka, lalu menatap Hana dalam diam.

“Ayah?” Hana berdiri, suaranya ragu.

Sang ayah menatap Ren sejenak, lalu mengangguk pelan pada Hana. “Boleh bicara berdua saja?”

Ren menatap Hana, meminta persetujuan diam-diam. Hana hanya mengangguk kecil. Ia berjalan mengikuti ayahnya menuju ruang kerja, meninggalkan Ren sendiri di ruang keluarga.

Pintu ditutup perlahan.

Di dalam ruang kerja, aroma kertas dan kopi basi menyeruak. Rak-rak buku penuh dengan catatan, blueprint, dan lembaran kode.

Hana berdiri, sementara ayahnya duduk di balik meja. Ia membuka laci dan mengeluarkan sebuah foto usang—foto mereka bertiga, sebelum semuanya berubah.

“Ayah,” suara Hana terdengar lirih, “aku ingin tahu semuanya. Aku...aku ingin tau, mengapa semua terasa... tidak nyata.”

Sang ayah menghela napas berat. “Karena... itu memang tidak sepenuhnya nyata, Hana.”

Tangis Hana meledak seketika. Tapi ia tidak menjerit. Ia hanya berdiri diam, air mata jatuh tanpa suara.

“Lalu bagaimana dengan ibu? Apakah ia juga tidak sama penting nya dengan ku? ” tanyanya dengan suara tercekat.

Sang ayah menutup mata, lalu menggeleng perlahan. “Ibumu... tidak bisa diselamatkan, Hana... Semua kenangan kami, telah kami tanamkan padamu... Untuk itu, mempertahankan kenangan ibu mu... Hanya dengan menyelamatkan mu."

“Lalu aku?” Hana menatapnya lekat-lekat. “Kenapa aku?”

“Karena kau... satu-satunya yang bisa aku kembalikan. Pikiran mu tak pernah mati. Aku berhasil menyalin kenangan, kepribadian, semuanya. Tapi hanya itu. Tubuhmu tak pernah kembali... hanya kesadaranmu yang kuselamatkan, Hana.”

Hana mengatupkan bibirnya erat, menahan teriakan yang ingin keluar.

“Jadi aku... hanya salinan?”

“Tidak,” ayahnya berdiri. “Kau adalah Hana. Kau adalah putriku. Aku tak peduli bentukmu apa, asal jiwamu masih di sini.”

Hana bergetar. Emosinya porak-poranda. Ia ingin membenci ayahnya, tapi bagaimana bisa? Di hadapannya ada seorang pria yang telah kehilangan segalanya, dan satu-satunya yang ia miliki hanyalah harapan palsu yang ia ciptakan sendiri.

“Ayah...” Hana menatapnya. “Akhiri ini.”

Sang ayah menunduk. “Tidak bisa.”

“Kau harus.”

Sunyi sesaat.

“Aku tidak sanggup kehilanganmu, Hana,” bisiknya. “Aku tidak sanggup menjalani dunia ini sendirian lagi.”

Tangis Hana pecah. “Lalu bagaimana denganku?! Kalau suatu hari aku rusak? Kau akan ciptakan aku lagi?!”

Sang ayah tak menjawab. Ia hanya diam. Dan itu cukup untuk memberi Hana jawaban.

Hana memeluk dirinya sendiri, menangis dalam diam. Dunia tempat ia tinggal tak pernah benar-benar nyata. Dan yang lebih menyakitkan, ia adalah harapan terakhir dari seseorang yang terlalu takut untuk melepaskan.

1
IamEsthe
Aku suka kepenulisan kamu, rapi dan terstruktur sesuai dengan aturan kaidah kepenulisan.

cara narasi kamu dll nya aku suka banget. dan kayaknya Ndak ada celah buat ngoreksi sih /Facepalm/

semangat ya.
IamEsthe: saran apa ya? udah bagus banget, enggak ada saran apapun dariku malahan lho /Sweat//Sweat//Sweat/
Asteria_glory: Terimakasih untuk saran nya kak, senang bisa mendapatkan saran dari kakak🫰
total 2 replies
IamEsthe
alangkah baiknya narasi ini dan seterusnya kamu pisah ke bab berikutnya.
Asteria_glory: Baik kan saran di terima🫰
total 1 replies
liynne~
jujur aja sampe nangis baca nya/Cry/
IamEsthe
kata fair adalah bahasa asing/daerah, kamu ganti ke font italic sbg penanda ya
yuyu
Sukaaaaaa😍
anomali
Alur nya menarik 😍😍😍
Adegan romantis nya itu loh, bkin skskskskskkssksks.
anomali
Lnjt thor!!! Crita ny sruuu bgttttttttttt😍
Ms S.
Satu kata buat cerita ini: keren abis!
Asteria_glory: Terima kasih sudah mampir ❤️
total 1 replies
Cerita nya menarik bangettt!!!! update tiap hari ya thor😍😍😍
Hoa thiên lý
Susah move on
Asteria_glory: Terima kasih sudah mampir ❤️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!