Irene, seorang gadis cantik yang gampang disukai pria manapun, tak sengaja bertemu Axelle, pria sederhana yang cukup dihindari orang-orang, entah karna apa. Sikapnya yang dingin dan tak tersentuh, membuat Irene tak bisa menahan diri untuk tak mendekatinya.
Axelle yang tak pernah didekati siapapun, langsung memiliki pikiran bahwa gadis ini memiliki tujuan tertentu, seperti mempermainkannya. Axelle berusaha untuk menghindarinya jika bertemu, menjauhinya seolah dia serangga, mendorongnya menjauh seolah dia orang jahat. Namun anehnya, gadis ini tak sekalipun marah. Dia terus mendekat, seolah tak ada yang bisa didekati selain dirinya.
Akankah Irene berhasil meluluhkan Axelle? Atau malah Axelle yang berhasil mengusir Irene untuk menjauh darinya? Atau bahkan keduanya memutuskan untuk melakukannya bersama setelah apa yang mereka lalui?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sam Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Flashback
"Loe suka sama seseorang gak, Al?"
"Kenapa? Lagi naksir seseorang loe?"
"Gw cuman nanya, gw gak mau aja, ntar gw suka sama seseorang, terus loe suka dia juga."
"Ck!! Drama amat hidup loe, udah kayak gak ada cewek lain aja sih."
"Jawab dong, gw janji, gak akan bilang siapa-siapa kok."
"Ada kok, seseorang yang bisa bikin gw bahagia dan bersyukur bisa ada disini."
"Wihh, dalem, siapa nih? Siapa?"
"Nyokap gw, gak ada orang yang bisa gw sayang selain dia."
"Anak mami, dasar."
"Loe sendiri, ada seseorang yang loe suka?"
"Wihh, ada dong, sini gw bisikin!!"
"Ihh, apaan? Cuman was wes wos doang!!"
"Protes mulu loe, kayak netizen. Dengerin dulu makanya, gak sabaran amat."
"Hah? Loe beneran suka dia? Gak lagi mabok, kan? dia baiknya kebangetan buat loe mah..."
"Dihh, bukannya didukung malah langsung dibanting..."
"Haha, gw kan jujur..."
"Jujur sebelah mananya, anjir!!"
Deg!!
Axelle membuka matanya perlahan, cahaya matahari langsung menyapanya seketika.
"Bangun, Pangeran tidur. Mau tidur sampai kapan?" Tanya Irene, membuat Axelle langsung memeluk selimutnya.
"Loe kok ada disini?" Tanya Axelle, serak.
"Emang gw gak boleh disini? Loe bangun siang banget, mimpi indah ya?" Tanya Irene, penasaran.
"Nggak, sana pergi, ganggu aja!!"
"Dih, gw udah buatin sarapan, bangunin, beres-beres kamar, gak ada imbalan gitu?" Tanya Irene, membuat Axelle menaikkan alisnya.
"Gak ada, gak ada duit." Jawab Axelle, asal. Pria itu turun dari ranjangnya, lalu berjalan menuju kamar mandi.
"Gw gak butuh duit, gw cuman pengen tau loe obrolin apa sama Kak Stuart semalam?" Tanya Irene, gadis itu menghalangi langkah Axelle untuk ke kamar mandi.
"Pergi sana, gw mau mandi." Ujar Axelle, jengah dengan tingkah gadis ini.
"Gw pengen tau rencana kalian tuh apa, gw juga berhak tau dong." Ujar Irene, dengan puppy eyesnya, ia mencoba merayu Axelle.
"Heh, bego!! Gw mau mandi, ya? Gw udah harus pergi, ngerti?" Ujar Axelle, pria itu tanpa segan menoyor kepala gadis itu agar gadis itu menjauh darinya.
"Axelle, muka loe kenapa? Kena pukul?"
"Bukan urusan loe, sana pergi!!"
"Ini masih pagi, masa udah harus pergi!!" Ujar Irene, tak mengerti.
"Diem disitu, sebelum gw seret loe keluar!!" Ujar Axelle, membuat Irene menghentikan langkahnya. Pria itu masuk ke kamar mandi, sedangkan Irene hanya menghela nafas berat.
***
Irene menghentakkan kakinya kesal, gadis itu benar-benar tak habis pikir pada Axelle. Mereka tuh ngerencanain apa sih, kan jadi penasaran. Masalahnya adalah hidup Irene itu bergantung pada obrolan mereka, kalau begini, Irene yang takkan bisa tenang.
"Kenapa lagi loe?" Tanya Gisel, membuat Irene tersadar ia tak sendiri disini.
"Gw harus gimana coba? Pusing gw ngurusin manusia satu doang, resek bener."
"Loe masih berhubungan sama Axelle? Walau gw udah suruh Stuart nyamperin loe? Hebat juga nyalinya, gak takut dia sama Stuart."
"Buat apa Axelle takut sama Stuart? Mereka ngobrol kok semalam, berdua."
"Hah?! Mereka berantem, gak?"
Irene terdiam, ia teringat luka yang ada di pipi Axelle tadi pagi. "Kayaknya..."
"Kenapa? Mereka ngerebutin loe, ya?"
"Ngawur loe!! Mana ada Axelle suka sama gw, dia itu cowok paling kasar yang pernah gw kenal." Ujar Irene, sebal. "Jadi, semalam loe sengaja nyuruh Stuart ke rumah gw?"
"Ya, buat bantuin loe." Jawab Gisel, innocent.
"Ya ampun, Gisel, loe mah kok gitu. Stuart mergokin gw..."
"Kenapa dia?"
Irene menghela nafas berat, Stuart adalah pria yang dia sukai selama ini, pasti bakal aneh keliatannya kalo dia keluar dari rumah pria yang bahkan tak pernah di kenalnya.
"Loe bengong lagi..."
"Hei, ngapain kalian masih pagi ada disini?" Tanya Joy, gadis itu menyeruput minumannya sambil duduk di hadapan kedua gadis itu.
"Loe ngapain disini?" Tanya balik Irene, membuat Joy tersenyum.
"Ngecengin berondong..." Jawab Joy, asal.
"Udah bosen sama bujank ya loe?"
"Bujang lapuk." Ujar Joy, membuat keduanya mau tak mau tertawa mendengar banyolan gadis tinggi itu. "Hm, loe sendiri hubungan sama berondong, gimana rasanya?" Tanyanya sambil menatap Irene, membuat Irene terdiam.
"Ha? Gw?"
"Loe pacaran kan sama Axelle? Sibuk mulu loe kayaknya, sampe gak bisa lama-lama sama kita."
"Bu-bukan gitu..."
"Bener juga, loe kayak gak ada waktu buat kita. Jangan lupain temenlah, Rene, kita kan bareng terus."
"Gw gak pacaran sama Axelle, anjir, siapa juga yang mau sama mahkluk kutub itu?" Ujar Irene, sewot. "Masih mending Stuart kemana-mana, bocah gitu."
"Yakin loe? Kalo gitu, Axelle buat gw ya?" Ujar Joy, setengah menggoda Irene.
"Jangan, jangan mau..."
"Kenapa? Loe suka sama Axelle, kan?"
"Nggak, maksud gw,..."
Deg!!
Irene terdiam, ia menatap sekelilingnya, entah kenapa dia merasa ada yang memperhatikannya. Irene menyipitkan matanya, saat menemukan seseorang terlihat mencuri pandang padanya.
"Kenapa, Rene?"
Irene terdiam, jantungnya berdegup kencang. Siapa mereka? Temen Axelle bukan, sih? Kok gw parno, ya?
***
Tiinn!!
Axelle terperanjat kaget, saat ia mendengar suara klakson mobil mengagetkannya. Ia membenarkan topinya, tatapannya mengikuti mobil yang baru saja masuk kedalam rumah itu. Pria itu melihat rumah di hadapannya, lebih tepatnya menatap kamar yang dulunya sering ia pakai nongkrong bersama teman-temannya.
"By, loe apa kabar?"
Axelle terdiam, saat pintu beranda kamar itu terbuka. Seseorang berdiri disana, ikut menatapnya tajam dari sana.
"Sedang apa kamu di depan rumah saya?"
Axelle terdiam, kali ini ia berada di hadapan Pak Wijaya, ayah dari sahabatnya itu. "Sa-saya ingin bicara sama Om, tapi mereka gak pernah mau nerima, Om."
"Saya juga gak mau nerima kamu, siapa juga yang mau nerima pembunuh seperti kamu?" Ujar Wijaya, ketus.
"Saya mau minta maaf sama Om, saya... Akan jelasin semuanya, saya..."
"Kamu gak akan mengakui kesalahan kamu, kan? Kamu sama seperti ayah kamu, kalau saja saya tau siapa kamu dari awal, Abby mungkin masih disini."
"Saya akan bertanggungjawab, kalau saya memang salah, Om, tapi izinkan saya menyelesaikan semuanya."
"Kamu mau ngakuin semuanya?"
"Bukan saya yang melakukannya, Om, percaya sama saya. Saya akan mencari pelakunya, saya janji."
"Buat apa saya percaya sama pembunuh kayak kamu? Bodoh sekali saya, gak mungkin orang salah mau ngaku."
"Om, saya gak melakukan apapun, semuanya terbukti, makanya saya bebas sekarang. Tapi saya bakal selidiki semuanya, saya akan..."
"Pergilah, lakukan apapun yang kamu mau..." Ujar pria paruh baya itu, ia melambaikan tangan untuk memanggil security yang berdiri tak jauh dari mereka.
"Tapi, Om, saya... Pak, tolong..."
"Apapun yang kamu lakukan, kamu gak akan bisa buat Abby kembali."
"Om..."
Axelle menghela nafas berat, ia sangat maklum jika mereka memang sebenci itu padanya. Lagi-lagi Axelle menghela nafas, pria itu tampak frustasi.
"Axelle?! Loe temen Bryan, kan? Axelle Kang?"
Axelle menatap gadis tinggi kurus itu, dia tampak tak asing di matanya. "Siapa, ya?"