Adara terpaksa menerima kehadiran seorang madu di rumah tangganya, dia tidak dapat berbuat apa-apa karena sang suami dan mertua yang begitu kekeuh menghadirkan madu tersebut. Madu bukannya manis, tapi terasa begitu menyakitkan bagi Adara.
Awalnya Adara merasa sanggup bila dirinya berbagi suami, tapi nyatanya tidak. Hatinya terasa begitu sakit saat melihat sang suami dan adik madunya sedang berduaan. Apalagi hubungan sang mertua yang terlihat sangat dekat dengan adik madunya. Ditambah lagi suami dan mertuanya juga memperlakukan sang adik madu dengan begitu istimewa, bak seorang putri yang harus selalu dilayani dan tidak boleh melakukan pekerjaan apapun. Berbanding terbalik dengan Adara yang harus mengerjakan semua pekerjaan rumah termasuk menyiapkan kebutuhan sang adik madu.
Hati Adara sangat sakit menerima perlakuan tidak adil tersebut.
Sejauh mana Adara sanggup bertahan membina rumah tangganya yang tak sehat lagi?
Yuk ikuti terus cerita ini. InsyaAllah happy ending.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 01Khaira Lubna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dikurung
Alarm yang berasal dari handphone nyaring terdengar, alarm yang sengaja aku stel untuk membangunkan tidurku diwaktu subuh.
Bangkit aku dari pembaringan, tubuhku terasa pegal-pegal, mungkin karena kelamaan mengurung diri di kamar dan juga karena pikiranku yang begitu kacau serta hatiku yang terasa amat sakit.
Semalaman aku terus berpikir langkah apa yang harus aku ambil kedepannya. Apakah aku akan melanjutkan pernikahan ku dan Mas Erlang atau aku akhiri saja?
Aku tidak boleh gegabah, karena dalam kondisi apapun aku harus bisa berpikir dengan jernih agar tak salah mengambil keputusan untuk masa depan ku.
Aku berpikir akan pulang ke Panti, tapi aku tidak bisa. Aku takut membuat Ibu sedih, karena aku tahu saat ini kondisi kesehatan ibu sedang tidak baik-baik saja.
Lalu aku harus apa dan kemana?
Tadi malam Mas Erlang sudah menekankan kalau dia tidak akan pernah menceraikan aku. Egois sekali dia.
*
Setibanya aku di kamar mandi, aku buang air kecil, dan aku baru sadar ternyata sekarang tamu bulanan ku sudah datang. Syukurlah, setidaknya selama masa haid aku bisa menjadikan alasan agar Mas Erlang tak menggauli ku. Sungguh, aku tak sudi lagi tidur dengan pria yang sudah pernah meniduri wanita lain. Jijik sekali rasanya, kayak tidak ada pria lain saja di dunia ini.
Setiap bulannya aku selalu rutin buang darah kotor, aku subur. Tapi entah kenapa aku tak kunjung hamil anaknya Mas Erlang.
Setidaknya aku harus bersyukur, karena dari sinilah aku bisa melihat sebatas mana kesetiaan suamiku pada ku. Dia bukanlah jodoh yang pantas untuk menemani aku hingga hari tua ku. Karena pria yang benar-benar mencintai kita akan menerima kita apa adanya tanpa banyak menuntut sebelah pihak.
*
''Cepetan dong masaknya, aku sudah sangat lapar ini,'' Winda berucap sembari memukul meja makan menggunakan sendok berulangkali. Sementara aku sibuk dengan peralatan dapur. Beberapa menu sarapan pagi sudah siap aku sajikan, tinggal menunggu satu menu lagi yang masih berada di dalam wajan di atas tungku.
Aku sama sekali tidak menyahut ucapnya. Aku masih menahan diri untuk tetap bersabar.
''Dia itu memang begitu Sayang. Dia adalah wanita yang tidak pernah becus melakukan apapun. Entah kenapa dulu Erlang bisa jatuh ke pelukan wanita seperti dia. Mungkin Erlang sudah dia guna-guna,'' Mama mertua datang, lalu duduk di kursi meja makan di samping Winda.
''Kalau aku tidak becus, mending Mama saja yang masak!'' sentakku kasar. Gemuruh di dada begitu hebat aku rasakan. Aku membanting spatula yang aku pegang ke lantai, hingga mengeluarkan suara yang cukup bising. Akhirnya amarahku pecah juga setelah mendengar perkataan Mama yang selalu menyudutkan aku.
''Wah kurang ajar sekali kamu, Kak! Berani-beraninya kamu membentak Mama!'' Winda berdiri dari duduknya, hingga kini kami saling menatap lekat dengan wajah sama-sama tak bersahabat.
''Aku bukan Kakak kamu, jadi jangan pernah panggil aku dengan sebutan itu lagi!'' tekan ku. Baru sehari saja Winda tinggal di rumah ini sudah membuat aku stres, aku rasa aku memang tidak bisa berbagi suami dan tinggal terlalu lama bersama orang-orang yang tak punya hati.
''Gila kamu!'' seru Winda tersenyum sinis.
''Mas! Lihatlah kelakuan istri tua mu, dia sudah begitu keterlaluan sama Mama! Dia membuat Mama menangis!'' sambung Winda dengan meninggikan nada suaranya.
Mama Sari menunduk, suara isakan nya semakin lama semakin nyaring terdengar.
Bersamaan dengan itu, terdengar langkah kaki memasuki ruang makan yang terhubung langsung dengan dapur.
''Ada apa ini? Apa yang terjadi? Kanapa pagi-pagi begini kalian sudah ribut-ribut?'' Mas Erlang bertanya. Dia berdiri diantara aku dan Winda.
''Mas, Kak Adara tadi membentak Mama, sehingga membuat Mama menangis. Dia juga membanting spatula ke lantai. Dia sangat kasar Mas. Padahal aku dan Mama meminta agar dia memasak lebih cepat, karena aku sudah sangat kelaparan, tapi dia langsung emosi! Aku kan kelaparan karena tadi malam aku melayani kamu cukup lama,'' Winda berjalan menghampiri Mas Erlang, lalu tangannya bergelayut manja pada lengan kekar Mas Erlang.
''Benar begitu Adara?!'' bentak Mas Erlang, netranya menatap ku tajam.
''Iya, benar. Mama yang duluan mulai,'' jawabku sekenanya. Setelah itu aku dengar tangis Mama semakin kencang saja. Sungguh, aku muak melihat sandiwara yang di lakukan oleh wanita yang tak muda lagi itu. Di sisa-sisa usianya yang tak banyak lagi, bukannya beliau taubat, tapi sikap jahatnya malah semakin menjadi-jadi. Dari dulu Mama tidak pernah lelah untuk merusak rumah tangga aku dan putranya.
''Hati Mama sangat sakit di bentak oleh menantu sendiri. Dari dulu Adara memang tidak pernah menghormati Mama sebagai mertuanya, sebagai wanita yang telah melahirkan suaminya, hiks hiks ... Sakit sekali hati Mama. Padahal selama ini Mama sudah berusaha untuk menerimanya di rumah ini,'' racau Mama Sari dengan suaranya yang serak. Aku menggeleng kecil, aku tidak habis pikir, bisa-bisanya Mama berkata seperti itu.
''Adara, sini kamu!'' Mas Erlang menghampiri aku, lalu dengan sedikit menyentak dia memegang pergelangan tangan ku. Dia terus menarik tubuh ini agar mengikuti langkahnya.
''Mas, lepaskan!'' protes ku seraya berusaha melepaskan pegangan tangan Mas Erlang, tapi usaha ku sia-sia saja. Tenaga ku kalah kuat dari Mas Erlang.
''Kamu sekali-kali harus dikasih pelajaran agar tidak menjadi istri dan menantu pembangkang lagi!''
''Aku tidak salah apa-apa Mas! Mama berkata menyinggung perasaan aku, sehingga membuat aku marah!''
''Itu karena kamu tidak bisa menjadi menantu yang sabar menghadapi wanita berumur seperti Mama!''
''Lepaskan aku!''
''Masuk kamu, hari ini Mas kurung kamu di dalam kamar, supaya kamu tidak berulah lagi!'' Mas Erlang membanting tubuh ku ke kasur, hingga tubuh ku terjatuh terjengkang. Setelah itu dengan cepat dia menutup pintu kamar dari luar. Dia mengunci pintu kamar dari luar.
Cepat-cepat aku berdiri.
''Mas, buka pintunya,'' teriakku sambil memukul-mukul daun pintu.
''Buka!'' sambung ku lagi.
''Berpikir lah dengan baik Adara, bahwa apa yang kamu lakukan ke Mama itu salah. Pintu ini akan Mas buka lagi setelah Mas pulang dari Kantor,''
Aku mendengar langkah kaki semakin menjauh dari pintu. Mas Erlang telah pergi.
Luruh tubuh ku ke lantai, teriak pun aku rasa percuma saja, tak akan ada siapapun yang peduli kepadaku di rumah ini.
Lagi-lagi aku hanya bisa menumpahkan air mata untuk melonggarkan dada yang rasanya begitu terhimpit.
Perut ku terasa begitu perih, karena sedari sore kemarin, tak ada makanan yang masuk ke perut ku.
Mas Erlang sungguh suami yang kejam.
Bersambung.
saga kasihan Thor😢😢
dan semoga rajin lagi Up nya 😍