NovelToon NovelToon
Generasi Gagal Paham

Generasi Gagal Paham

Status: sedang berlangsung
Genre:Sci-Fi / Anak Genius / Murid Genius / Teen School/College
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Irhamul Fikri

Generasi sekarang katanya terlalu baper. Terlalu sensitif. Terlalu online. Tapi mereka justru merasa... terlalu sering disalahpahami.

Raka, seorang siswa SMA yang dikenal nyeleneh tapi cerdas, mulai mempertanyakan semua hal, kenapa sekolah terasa kayak penjara? Kenapa orang tua sibuk menuntut, tapi nggak pernah benar-benar mendengarkan? Kenapa cinta zaman sekarang lebih sering bikin luka daripada bahagia?

Bersama tiga sahabatnya Nala si aktivis medsos, Juno si tukang tidur tapi puitis, dan Dita si cewek pintar yang ogah jadi kutu buku mereka berusaha memahami dunia orang dewasa yang katanya "lebih tahu segalanya". Tapi makin dicari jawabannya, makin bingung mereka dibuatnya.

Ini cerita tentang generasi yang dibilang gagal... padahal mereka cuma sedang belajar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 22 Dita Menjauh

Dita selalu datang paling pagi ke sekolah akhir-akhir ini. Bukan karena semangat, tapi karena ia ingin menikmati keheningan sebelum dunia mulai ribut. Ia berjalan melewati koridor yang masih sepi, melirik ke dinding-dinding kelas yang memajang hasil karya siswa, beberapa di antaranya adalah miliknya sendiri. Tapi ia tidak merasa bangga. Ia merasa asing dengan semuanya.

Rasanya seperti kembali menjadi orang luar dalam cerita yang dulu ia bantu bangun.

Setelah pembicaraan sore itu dengan Nala dan Raka, Dita mencoba meyakinkan dirinya bahwa semuanya baik-baik saja. Bahwa jujur tentang perasaan adalah satu langkah menuju kedewasaan. Tapi malam setelah itu, ia menangis cukup lama di kamarnya. Tidak karena cinta, tapi karena ia merasa... tertinggal.

Ia merasa bukan bagian dari lingkaran itu lagi.

Bukan karena mereka mengusirnya, tapi karena ia sendiri yang merasa tak sanggup bertahan.

Ia membuka loker dan menemukan surat kecil yang terselip di sela buku. Tulisan tangan Raka. "Kamu masih penting, Dit. Apapun yang kamu rasakan, jangan kamu simpan sendiri. Kita masih tim."

Dita menggenggam kertas itu erat. Raka memang baik. Terlalu baik. Tapi justru itu yang membuatnya semakin merasa kecil. Ia bukan pemimpin. Bukan pahlawan. Ia hanya seseorang yang dulu suka menulis puisi dan sekarang kehilangan inspirasi.

---

Sementara itu, Juno sedang berdiri di depan ruang seni. Di tangannya, ada karya terbarunya: lukisan tiga siluet remaja di bawah langit abu. Ia menunggu guru seni datang untuk meminta izin memajangnya di dinding lorong. Ia ingin meninggalkan jejak—bukan untuk dikenang, tapi untuk mengingatkan dirinya sendiri bahwa ia pernah berani jujur.

Tiba-tiba, Nala muncul dari balik pintu.

“Keren banget,” katanya sambil menatap lukisan itu.

“Masih belum puas,” jawab Juno. “Masih banyak yang belum tergambar.”

“Kayak kita semua, ya?” Nala tersenyum. “Belum selesai... belum utuh.”

Juno mengangguk. “Tapi paling nggak, kita jalan.”

Nala menatap mata Juno lama. Ia ingin bicara sesuatu yang lebih dari sekadar pujian. Tapi langkah kaki terdengar dari lorong. Dita.

Mereka bertiga saling pandang, dan dalam sekejap, suasana yang tadinya nyaman berubah canggung.

“Dita...” sapa Nala hati-hati.

“Lukisannya bagus, Jun,” kata Dita, menghindari kontak mata. “Aku mau ke perpustakaan.”

Ia berjalan cepat melewati mereka.

---

Di perpustakaan, Dita duduk di sudut paling ujung. Ia membuka buku acak—bukan untuk dibaca, tapi sekadar pelarian. Ia tahu ia mulai menjauh, dan semakin hari ia merasa terasing.

Ia menatap rak buku. Mengingat kembali masa-masa ia dan Nala suka bersembunyi di antara buku, membahas teori konspirasi tentang guru, atau sekadar saling membaca puisi karya sendiri.

Semuanya terasa jauh sekarang.

Seketika ia membuka notes kecil di tasnya. Ia mulai menulis:

"Aku bukan yang pertama bicara.

Bukan yang paling keras suaranya.

Tapi aku juga punya rasa.

Dan aku... mulai tak tahu harus bicara pada siapa."

Ia menatap bait itu lama. Lalu menutup notes dan keluar dari perpustakaan.

---

Hari itu berlalu lambat. Di kelas, guru PKN membahas tentang kebebasan berpendapat. Ironisnya, tak ada satu pun dari mereka yang bisa bebas berpendapat di ruang itu.

Raka melirik Dita beberapa kali. Tapi Dita hanya menunduk, menggambar-gambar kecil di buku catatannya. Nala juga mencoba menyapa lewat senyum, tapi hanya dibalas dengan lirikan cepat.

Bel istirahat berbunyi. Raka memutuskan untuk bicara.

“Dit, kamu punya waktu sebentar?” tanyanya di depan kelas.

Dita ragu sejenak, lalu mengangguk.

Mereka duduk di tangga belakang sekolah. Tempat lama yang dulu jadi markas mereka sebelum podcast itu ada.

“Kamu baik-baik aja?” tanya Raka.

“Pertanyaan paling klise yang masih relevan,” jawab Dita datar.

“Aku serius.”

Dita menatap langit. “Kamu pernah ngerasa kayak... kamu nggak dibutuhkan lagi?”

Raka kaget. “Dita, kamu itu bagian penting dari kita semua. Kalau nggak ada kamu, nggak akan ada podcast itu.”

“Ya, tapi setelah itu... semua berubah. Nala dan Juno makin dekat. Kamu juga lebih sering sama mereka. Aku... sendirian.”

Raka terdiam. Ia tahu kata-kata Dita bukan tuduhan. Tapi lebih seperti ratapan. Suara dari dalam hati yang terlalu lama diam.

“Kalau kamu ngerasa menjauh, Dit... bukan berarti kamu nggak bisa balik lagi. Kita semua juga lagi bingung. Kita berempat kayak puzzle yang belum ketemu bentuknya. Tapi kita bisa nyusun bareng-bareng.”

Dita menunduk. Matanya mulai berkaca-kaca. “Aku cuma pengen ngerasa dibutuhin. Bukan cuma sebagai ‘bagian dari masa lalu’.”

“Kalau gitu... ayo jadi bagian dari masa depan juga,” ucap Raka sambil mengulurkan tangan.

Dita tersenyum kecil. Belum seutuhnya pulih. Tapi setidaknya, ia tahu masih ada yang menunggu dia kembali.

---

Sore hari, Dita menulis di catatannya:

"Hari ini, aku bicara.

Bukan untuk didengar banyak orang.

Tapi cukup satu orang yang mendengar,

dan dunia jadi lebih ringan."

Ia menutup bukunya dan melihat ke luar jendela. Di kejauhan, ia melihat Nala, Juno, dan Raka berbincang di taman. Ia tahu, semua belum selesai. Tapi setidaknya, ia siap untuk kembali menjadi bagian.

Dengan langkah pelan, ia menuju ke arah mereka.

1
Ridhi Fadil
keren banget serasa dibawa kedunia suara pelajar beneran😖😖😖
Ridhi Fadil
keren pak lanjutkan😭😭😭
Irhamul Fikri: siap, udah di lanjutin tuh🙏😁
total 1 replies
ISTRINYA GANTARA
Ceritanya related banget sama generasi muda jaman now... Pak, Bapak author guru yaaa...?
Irhamul Fikri: siap, boleh kak
ISTRINYA GANTARA: Bahasanya rapi bgt.... terkesan mengalir dan mudah dipahami pun.... izin ngikutin gaya bahasanya saja.... soalnya cerita Pasha juga kebanyakan remaja....
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!