Jessy, 30th seorang wanita jenius ber-IQ tinggi, hidup dalam kemewahan meski jarang keluar rumah. Lima tahun lalu, ia menikah dengan Bram, pria sederhana yang awalnya terlihat baik, namun selalu membenarkan keluarganya. Selama lima tahun, Jessy mengabdi tanpa dihargai, terutama karena belum dikaruniai anak.
Hingga suatu hari, Bram membawa pulang seorang wanita, mengaku sebagai sepupu jauh. Namun, kenyataannya, wanita itu adalah gundiknya, dan keluarganya mengetahui semuanya. Pengkhianatan itu berujung tragis—Jessy kecelakaan hingga tewas.
Namun takdir memberinya kesempatan kedua. Ia terbangun beberapa bulan sebelum kematiannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jessy Kecelakaan
Keesokan harinya, di dalam kamar, Jessy sedang bersantai di sofa sambil membaca buku. Hawa sejuk sedikit menenangkan pikirannya yang sudah penuh dengan berbagai rencana. Namun, ketenangannya terganggu ketika ponselnya bergetar di atas meja.
Nama Bram tertera di layar.
Dengan malas, Jessy mengangkatnya.
Bram suara terdengar datar, sedikit tergesa-gesa, "Sayang, nanti malam aku akan menunggumu di hotel tempat acara berlangsung. Aku nggak bisa menjemputmu, ada urusan yang harus aku selesaikan dulu."
Jessy menahan tawa sinis, tapi suaranya tetap lembut, "Oh, begitu? Baiklah."
Bram melanjutkan, "Oh ya, aku sudah mengirimkan pakaian yang harus kau pakai nanti malam. Pastikan kau memakainya, jangan sampai salah kostum."
Jessy melirik ke arah pintu. Sejak tadi pagi, ada paket yang dikirimkan ke rumah, kemungkinan besar itulah pakaian yang dimaksud Bram.
Jessy masih dengan nada santai, "Pakaian? Wah, perhatian sekali. Baiklah, aku akan melihatnya nanti."
Bram sedikit ragu, tapi tetap berbicara, "Ya... Pokoknya, jangan telat. Sampai ketemu nanti malam, ya Sayang."
Telepon pun terputus.
Jessy mendengus kecil, meletakkan ponselnya lalu berdiri. Ia berjalan ke arah paket yang ada di atas meja dan membukanya. Sebuah gaun elegan berwarna merah tua terlipat rapi di dalam kotak, lengkap dengan sepatu hak tinggi yang serasi.
Jessy menyeringai kecil. "Baiklah, Bram. Aku akan datang ke acara itu. Tapi bukan untuk menemanimu, tapi untuk mempermalukanmu."
Sebuah rencana mulai terbentuk dalam pikirannya.
Malam harinya, Jessy berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya. Gaun merah tua yang membalut tubuhnya memberikan kesan anggun dan berwibawa. Riasan wajahnya sempurna, menampilkan kecantikan yang tidak bisa diabaikan. Namun, sorot matanya yang tajam dan penuh determinasi menandakan bahwa malam ini bukan sekadar pesta biasa baginya.
Dengan tenang, ia mengambil tas tangan kecilnya, memastikan bahwa bukti perselingkuhan Bram tersimpan dengan aman di dalamnya. Malam ini, ia akan membuka segalanya.
"Sudah waktunya, Bram," gumamnya pelan, matanya berkilat penuh tekad.
Dengan langkah percaya diri, Jessy menuju mobilnya. Setelah duduk di balik kemudi, ia menghidupkan mesin dan melajukan mobilnya keluar dari rumah.
Di dalam mobil, Jessy bersenandung kecil, menikmati perjalanannya. Kecepatan mobilnya sedikit lebih tinggi dari biasanya, tapi ia tidak peduli. Perasaan puas membanjiri hatinya membayangkan ekspresi terkejut Bram nanti.
"Bagaimana ya ekspresi mereka saat aku menyerahkan bukti itu? Mungkin Fina akan menangis dan berpura-pura tidak tahu apa-apa. Mama Ella pasti langsung membelanya. Molly? Hah, dia pasti hanya akan diam sambil menonton."
Jessy tertawa kecil.
"Aku sudah terlalu lama diam dan membiarkan mereka menginjak-injak harga diriku. Sekarang giliran aku yang bersuara!"
Tapi tiba-tiba...
Ada yang aneh. Jessy mencoba menginjak rem, tapi tidak ada reaksi.
Matanya membelalak. "Apa ini?!"
Tangannya mencengkeram kemudi lebih erat, mencoba menekan pedal rem berkali-kali, tapi mobil tetap melaju dengan kecepatan tinggi.
"Jangan bercanda… Remnya tidak berfungsi?!"
Jessy mulai panik. Jalanan di depannya tidak terlalu ramai, tapi kecepatan mobilnya terus meningkat.
"Sial! Aku harus melakukan sesuatu!"
Jessy mencoba menarik rem tangan, tapi hasilnya nihil. Mobil terus melaju, semakin tak terkendali.
"Tenang, Jessy… Tenang… Jangan panik…" ia mencoba menenangkan dirinya, meskipun napasnya sudah memburu.
Di depan, lampu merah menyala. Ada beberapa mobil lain yang berhenti di persimpangan.
"Aku tidak bisa berhenti… Aku tidak bisa menghentikan mobil ini!"
Tangannya bergerak cepat, mencoba membanting setir ke arah lain agar tidak menabrak kendaraan di depannya.
"Aku tidak boleh mati di sini! Aku belum menyelesaikan semuanya!"
Tapi semuanya terjadi terlalu cepat—
Brakkkk!!!
Sebuah benturan keras mengguncang seluruh tubuhnya. Dunia terasa berputar begitu cepat, kaca mobil pecah berhamburan, suara gesekan besi memekakkan telinga. Tubuh Jessy terhantam ke samping, kepalanya membentur dashboard dengan keras. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya, darah hangat mengalir dari pelipisnya.
"Sial… Apa yang baru saja terjadi?"
Dengan susah payah, Jessy mencoba membuka matanya yang terasa berat. Pemandangan di depannya buram, tapi ia bisa melihat kaca depan mobilnya retak parah, dan asap mulai keluar dari mesin. Bau logam, bensin, dan sesuatu yang terbakar memenuhi udara.
"Aghh... aku harus keluar dari sini." Jessy mengerang, napasnya tersengal.
Jessy berusaha menggerakkan tubuhnya, tapi begitu mencoba mengangkat kakinya, ia langsung menggigit bibir menahan sakit.
"Tidak… Kaki aku…"
Ia menunduk, dan saat itulah ia menyadari, kakinya terjepit di antara bodi mobil yang ringsek!
"Tidak... Aku tidak bisa keluar..." bisiknya, mencoba menarik napas dalam-dalam.
Jessy menggigit bibir, menahan rasa sakit yang luar biasa. Tangannya gemetar saat mencoba meraih ponsel, tapi benda itu terjatuh entah ke mana akibat benturan tadi.
Di luar, suara langkah kaki dan teriakan orang-orang mulai terdengar mendekat. Mereka mulai berlari menuju mobilnya yang hancur di pinggir jalan. Beberapa orang berteriak, mungkin sedang meminta bantuan.
Namun, di tengah kekacauan itu, matanya menangkap sesuatu yang lain.
Jessy mengangkat kepalanya sedikit, mencoba melihat keadaan di luar. Dari kejauhan, sebuah mobil lain berhenti di lampu merah.
Di dalamnya, seorang pria yang sangat dikenalnya sedang tertawa bersama seorang wanita.
Bram. Dan wanita itu… Fina.
Jessy menahan napas. Matanya membelalak, hatinya mencelos.
"Apa aku sedang berhalusinasi?" gumamnya pelan.
Tidak. Itu nyata.
Suaminya sendiri, Bram, sedang tertawa bersama Fina, wanita yang kini tengah mengandung anaknya.
"Mereka tertawa. Bersenda gurau." ucap Jessy dengan lirih menahan rasa sakit.
Tanpa rasa peduli pada kecelakaan besar yang baru saja terjadi di depan mata mereka. Seolah… ini bukan masalah mereka. Seolah… mobil yang ringsek ini bukanlah milik istrinya sendiri.
Jessy menggigit bibirnya, sebuah senyum getir menghiasi wajahnya. "Jadi ini alasanmu tidak bisa menjemputku, Bram? Karena kau ada 'keperluan penting' dengan Fina?"
Darah yang mengalir dari keningnya mulai mengaburkan penglihatannya, tetapi ia tidak peduli. Dadanya jauh lebih sakit dibandingkan luka-luka di tubuhnya.
Air mata menggenang di sudut matanya, tapi ia menolaknya jatuh.
"Sial..." Jessy mengumpat pelan, berusaha menahan rasa sakit di hatinya.
Ia mencoba menarik kakinya dengan sisa tenaga, tetapi rasa nyeri yang luar biasa membuatnya hampir pingsan. "Tidak! Aku tidak bisa mati di sini Tidak sebelum aku menghancurkan mereka semua!"
Tangannya gemetar, Jessy meraba-raba tas kecil yang masih tersangkut di jok sampingnya. Di dalamnya, ada bukti perselingkuhan Bram dan Fina. "Tidak... Aku belum selesai, Bram..."
Ia menggigit bibirnya lebih keras. "Aku tidak akan mati sebelum aku menyelesaikan semuanya. Aku tidak akan membiarkan kalian berpesta di atas penderitaanku."
Suara sirene ambulans mulai terdengar di kejauhan, tetapi matanya masih menatap ke arah Bram.
Laki-laki itu tidak sedikit pun menoleh ke arah kecelakaan ini.
Jessy tertawa pelan, penuh kepahitan. "Bahkan saat aku hampir mati, kau tetap tidak peduli, padaku, mas?" bisiknya.
Matanya semakin berat. Kesadarannya perlahan memudar.
.mengecewakan