Kayanara tidak tahu kalau kesediaannya menemui Janu ternyata akan menghasilkan misi baru: menaklukkan Narendra si bocah kematian yang doyan tantrum dan banyak tingkahnya.
Berbekal dukungan dari Michelle, sahabat baiknya, Kayanara maju tak gentar mengatur siasat untuk membuat Narendra bertekuk lutut.
Tetapi masalahnya, level ketantruman Narendra ternyata jauh sekali dari bayangan Kayanara. Selain itu, semakin jauh dia mengenal anak itu, Kayanara semakin merasa jalannya untuk bisa masuk ke dalam hidupnya justru semakin jauh.
Lantas, apakah Kayanara akan menyerah di tengah jalan, atau maju terus pantang mundur sampai Narendra berhasil takluk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 34
Derap langkah mengentak di koridor rumah sakit yang sibuk. Lampu neon di langit-langit berpendar ke seluruh arah, menambah kesan mencekam dan meningkatkan ketegangan. Aroma obat dan antiseptik bercampur, menusuk indra penciuman hingga menimbulkan mual. Siaran berita mengalun pelan di ruang tunggu IGD, kontras dengan sirine ambulans yang meraung-raung di luar gedung. Suara monitor, teriakan pasien, dan langkah cepat para perawat menjadi latar kekacauan yang semakin menyesakkan dada.
Kayanara melangkah terburu-buru dengan napas yang ngos-ngosan. Rambutnya yang terurai, jatuh menjuntai menutupi sebagian wajahnya yang basah oleh keringat. Pandangannya menyisir seluruh area IGD, mencari jejak keberadaan Eric dan Naren.
Di belakangnya, Tejas berlari menyusul. Berkali-kali lelaki itu memanggil nama Kayanara, namun sang empunya seakan tuli dan terus saja merajut langkahnya makin cepat.
“Kay, tunggu dulu—“ Tangan Tejas hampir menyentuh bahu Kayanara, namun perempuan itu sudah lebih dulu berhenti.
Sebuah suara datang dari salah satu bilik, keras dan putus asa.
Kayanara menolehkan kepalanya cepat. Tubuhnya seakan tertarik gravitasi dari bilik nomor delapan. Gorden putihnya tersibak sedikit, menampakkan satu kaki yang terjuntai jatuh dari ranjang. Kepala Eric muncul dari baliknya. Tangannya melambai-lambai heboh di udara.
“Di sini, Macan!” teriak anak itu. Suara kerasnya hampir teredam kebisingan lain dari bilik-bilik di sebelahnya.
Kaki Kayanara terayun kembali. Mengerahkan seluruh tenaga menghampiri.
“Apa yang terja—what the hell?” Mendadak histeris dia dibuat oleh penampakan Narendra. Telapak tangan kanannya dibebat perban, tampak menyakitkan.
"Ini kenapa?” tanyanya heboh. Disambarnya tangan Narendra, dibolak-balik, lalu beralih menggerayangi seluruh tubuh anak itu untuk mencari luka-luka lain yang mungkin tersembunyi dari penglihatannya.
Narendra yang dikuyel-kuyel begitu tak sempat berontak. Hanya bisa protes dengan berteriak.
“Muka gue jangan diobok-obok!” serunya heboh.
Barulah Kayanara berhenti. Dia menjauh sedikit, hanya untuk menelisik penampilan Narendra sekali lagi.
“Eric, ini kenapa?” tanyanya, beralih menatap Eric. Sorot matanya menuntut. Kesabarannya setipis tisu, tak mau kalau disuruh menunggu. “Ada apa? Kalian habis tawuran? Hampir dijambret? Apa? Kenapa?” cerocosnya.
Eric garuk-garuk kepala, bingung harus memulai dari mana karena Kayanara terlalu heboh.
“Macan ... Macan tenang dulu.” Dia menarik lembut pergelangan tangan Kayanara, menyuruhnya duduk.
Kayanara ikut saja, tapi tatapannya masih tak lepas dari Eric, mengikuti setiap gerak-geriknya.
Di sisi lain, Tejas yang tiba beberapa detik lebih lambat, hanya berdiri menyaksikan. Diam, tak bertanya apa-apa dan memilih mendengarkan untuk mencari tahu apa yang terjadi sebenarnya.
“Jadi...” Eric memulai. Kayanara mendengarkan dengan saksama, Tejas turut memperhatikan dengan tatapan yang jatuh lekat pada Kayanara.
Sementara Narendra, anak itu justru terpaku pada kehadiran Tejas. Laki-laki asing yang berdiri tak jauh di depannya itu menatap Kayanara dengan cara yang tak biasa. Terlalu berlebihan untuk dikategorikan sekadar teman.
“Jadi gitu, Macan.” Ketika Eric selesai bercerita, Naren mendapati Kayanara menatapnya dengan sorot mata yang terlampau sulit diartikan.
Lalu, sebelum dia sempat berkata apa pun, lengannya tiba-tiba saja diberi pukulan bertubi-tubi. Dia meronta, berteriak meminta agar Kayanara berhenti, tetapi yang ada perempuan itu malah semakin bersemangat memukuli.
“Sakit!”
“Nenek sihir gila, lengan gue bisa copot!”
“Eh! Eh! Sakit!”
"Stop!”
"Badan gue remuk!"
“Kayanara, stop!”
Kayanara berhenti memukul. Tatapannya berubah sendu, matanya memerah, dan napasnya memburu.
“Lain kali jangan nekat!” omelnya.
“Gue cuma mau nolongin orang, mana gue tahu kalau tu preman bawa pisau.” Naren tak mau kalah. Sudahlah telapak tangan kanannya dibebat, lengan kanannya kini ikutan terasa kebas karena ulah Kayanara.
“Nggak usah sampai ribut. Panggil keamanan aja langsung, emangnya nggak bisa?” Suara Kayanara meninggi, tetapi ada getaran samar yang tersembunyi.
Naren berdecak keras. Malas menanggapi ocehan Kayanara, dia menurunkan kedua kakinya dari ranjang dengan gerakan cepat dan menyambar tasnya dari lantai.
“Administrasi udah beres belum, Met?” tanyanya.
Eric agak gelagapan ditodong tiba-tiba, terapi dia tetap menganggukkan kepala.
Naren ikut mengangguk kecil. “Ayo balik, ranjangnya mau dipakai sama yang lain.” Sambil berlalu dengan tangan kirinya masuk ke saku celana.
“Nare—“
“Udah, Macan.” Eric menyentuh bahu Kayanara lembut, menenangkan. “Kita pulang.”
Kayanara hanya mengangguk. Dia berjalan cepat menyusul Naren yang sudah menghilang dari pandangan. Eric berjalan persis di belakangnya, sementara Tejas tertinggal beberapa detik di belakang. Lelaki itu terdiam cukup lama. Menatap kepergian Kayanara dengan banyak sekali tanda tanya yang salah satunya: siapa dua pemuda ini, dan kenapa Kayanara begitu panik dibuatnya?
...🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼
...
Di sepanjang jalan, tak ada yang bersuara. Eric fokus menyetir. Tejas anteng di jok depan sambil sesekali melirik ke belakang, memastikan keadaan Kayanara. Naren melemparkan pandangan ke luar jendela, mengamati apa saja yang mereka lalui sambil sesekali bersenandung kecil. Sedangkan Kayanara tak lepas memandangi tangan Naren yang terluka.
Tak bisa dipungkiri, dia merasa bersalah. Kalau saja dia tidak telat menjemput, mungkin kejadian ini bisa dihindari. Yang kali ini cukup beruntung karena Naren bisa menangkis serangan pisau sehingga hanya telapak tangannya yang terluka. Di lain waktu, dia mungkin tidak akan seberuntung ini. Segala andai mulai kembali berputar di kepalanya—kisruh. Sama seperti ketika dia menyalahkan diri sendiri atas kepergian Kelvin dulu.
“Bisa stop ngeliatin gue kayak gitu nggak? Gue nggak nyaman."
Kayanara menaikkan pandangan. Naren menatapnya jengah. Aura permusuhan tak kunjung enyah dari sana.
“Ini cuma luka kecil, nggak bakal bikin gue mati,” ketusnya. Lagi pula, kenapa harus heboh hanya karena luka sekecil ini sih? Dulu dia pernah jatuh dari sepeda sampai kakinya digips, tapi ayah dan abangnya tidak seheboh ini.
“Mau kecil kek, besar kek, bisa bikin mati kek, enggak kek, namanya luka ya tetep luka.” Kayanara balik mengomel.
Naren mendengus. “Terus mau gimana? Semuanya udah kejadian. Lo punya mesin waktu biar gue bisa balik ke beberapa jam lalu?” sarkasnya. Untuk beberapa detik kemudian menambahkan, “Enggak, kan? Ya udah, nggak usah heboh.” Lalu menarik tangan kanannya jauh ke atas pangkuan. Berusaha menyembunyikannya agar Kayanara tak bisa lagi melihatnya.
Tentu tak ada jawaban yang bisa Kayanara berikan. Karena kalau bisa, dia juga mau kembali ke masa lalu supaya Kelvin tidak meninggal dunia.
“Kalau nggak berhenti ngeliatin gue, gue lompat nih.” Tangan kiri Naren sudah menyentuh handle, meski tahu pintunya tak akan terbuka.
Tetapi ajaibnya, cara itu cukup ampuh untuk membuat Kayanara membuang muka.
Naren menghela napas lega, lalu kembali melemparkan pandangan ke luar jendela. Menikmati senja yang sedikit lagi habis sebelum malam datang menginvasi.
Sementara di sebelahnya, Kayanara mulai menangis. Air matanya jatuh diam-diam. Merembes di pipi tanpa ada yang menyadari.
Bersambung....