Skaya merupakan siswi kelas XII yang di kenal sebagai siswi berprestasi, cantik, dan ramah. Banyak lelaki yang menyukai Skaya, tetapi hatinya justru terpesona oleh seseorang yang tidak pernah meliriknya sama sekali, lelaki dingin yang terkenal sebagai anggota geng motor yang disengani di kota nya.
Darren bukan tipe yang mudah didekat. Ia selalu bersikap dingin, bicara seperlunya, dan tidak tertarik oleh gosip yang ada di sekitarnya. Namun Skaya tidak peduli dengan itu malah yang ada ia selalu terpesona melihat Darren.
Suatu hari tanpa sengaja Skaya mengetahui rahasia Darren, ternyata semuanya tentang masalalu yang terjadi di kehidupan Darren, masalalu yang begitu menyakitkan dan di penuhi oleh janji yang tidak akan ia ingkar sampai kapanpun. Skaya sadar waktu begitu singkat untuk mendekati Darren.
Ditengah fikiran itu, Skaya berusaha mendekati Darren dengan caranya sendiri. Apakah usahanya akan berhasil? Ataukah waktu yang terbatas di sekolah akan membuat cinta itu hanya menjadi kisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azra amalina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Kaka Skaya yang Membuat Skaya Harus Memilih
Suasana di markas geng Darren mendadak berubah ketika suara deru motor besar bergema dari kejauhan. Beberapa anggota geng langsung menoleh ke arah suara itu. Dari kejauhan, sekelompok motor besar datang dengan kecepatan stabil. Sorot lampu mereka menusuk kegelapan malam, menciptakan aura yang mendominasi.
Darren menyipitkan mata, merasa ada sesuatu yang berbeda dari kedatangan geng ini. Bukan musuh, tapi juga bukan teman yang biasa mereka temui. Skaya yang duduk di sampingnya tiba-tiba menegang. Jantungnya berdetak lebih cepat saat ia mengenali motor yang ada di depan. "Gue tau motor itu..." bisik Skaya pelan.
Begitu motor-motor itu berhenti, seorang pria turun dari motor paling depan. Jaket kulit hitamnya bertuliskan nama geng motor dari Bandung yang cukup terkenal. Dia membuka helmnya perlahan, memperlihatkan wajah tajam dan tatapan dingin yang sangat familiar bagi Skaya. "Kak...." suara Skaya bergetar sedikit.
Orang itu menatap Skaya dengan ekspresi datar, lalu melangkah mendekat dengan tenang. "Jadi ini tempat lo sekarang?" tanyanya, suaranya dalam dan tegas.
Para anggota geng Darren mulai berbisik satu sama lain. Beberapa dari mereka tahu siapa pria ini, ketua geng motor paling disegani di Bandung. Darren berdiri, tubuhnya menegang. Ia bukan tipe orang yang mudah terintimidasi, tapi kali ini ia bisa merasakan aura berbeda dari pria di hadapannya. "Kak, kenapa lo ke sini?" tanya Skaya akhirnya, mencoba menjaga nada suaranya tetap stabil.
Kakaknya menatapnya sebentar sebelum mengalihkan pandangan ke Darren. "Lo yang namanya Darren?" tanyanya.
Darren tidak menjawab langsung, hanya menatap pria itu tajam sebelum akhirnya mengangguk. "Iya."
Kakak Skaya menyeringai tipis. "Gue udah denger banyak tentang lo. Dan tentang lo, Skaya." Tatapannya kembali ke adiknya. "Lo pikir gue gak bakal tahu kalau lo balik ke dunia ini?"
Skaya menelan ludah. "Gue punya alasan."
"Alasan lo atau karena lo udah jatuh ke dunia mereka?" tanyanya sambil melirik geng Darren.
Suasana semakin tegang. Beberapa anggota geng Darren mulai menggenggam erat jaket mereka, bersiap kalau ada hal yang tidak diinginkan terjadi. Tapi kemudian, kakak Skaya tertawa kecil, nada suaranya santai, tapi tetap tajam.
"Tenang. Gue gak ke sini buat cari masalah." Ia menatap adiknya dalam-dalam. "Gue cuma mau tahu... lo masih Darren, atau lo sekarang cuma cewek yang terjebak di dunia mereka?"
Skaya mengepalkan tangannya. Ia tahu kakaknya tidak akan mudah menerima keputusannya.
Darren melirik Skaya sebelum akhirnya bicara. "Dia bukan terjebak. Dia memilih."
Kakak Skaya menatap Darren lebih lama sebelum akhirnya tersenyum miring. "Gue mau lihat sendiri seberapa kuat pilihan lo, Skaya."
Tanpa berkata banyak lagi, kakaknya berbalik ke arah motornya. Tapi sebelum pergi, dia menatap Skaya sekali lagi. "Kalau lo masih Raven, lo tau harus ke mana kalau lo butuh gue." Dengan itu, suara motor kembali menggelegar, dan dalam sekejap mereka menghilang di jalanan malam.
Skaya menghela napas berat. Ia tahu ini belum berakhir. Dan kini, semua mata tertuju padanya, terutama mata Darren. "Jadi... siapa lo sebenarnya, Skaya?" tanyanya pelan, tapi tajam. Jantung Skaya berdetak lebih cepat. Dia tahu ini adalah momen di mana dia harus memilih.
-----
Pilihan Skaya: Raven atau Skaya?
Semua mata tertuju pada Skaya. Keheningan terasa begitu menekan, seakan-akan dunia menunggu jawaban dari mulutnya. Darren menatapnya dengan tajam, sorot matanya penuh dengan tuntutan. "Siapa lo sebenarnya, Skaya?"
Skaya menggigit bibir bawahnya. Dadanya naik turun cepat, mencoba menenangkan diri dari guncangan yang baru saja terjadi. Dia bisa merasakan bagaimana geng Darren kini menatapnya dengan cara berbeda. Mereka tidak hanya melihatnya sebagai gadis yang berani masuk ke dalam dunia mereka, tapi juga sebagai seseorang yang ternyata menyimpan sesuatu yang lebih besar.
"Gue... Gue dulu Raven," akhirnya Skaya mengaku dengan suara yang bergetar. Suasana seketika berubah. Beberapa anggota geng Darren membelalakkan mata, sementara yang lain mulai berbisik di antara mereka.
"Raven?" gumam salah satu dari mereka. "Raven yang dari Bandung?!"
Skaya mengangguk pelan. "Iya. Gue Raven. Dulu, gue hidup di dunia motor, di bawah bayangan kakak gue. Tapi gue ninggalin itu semua... atau setidaknya, gue pikir gue bisa ninggalinnya."
Darren mengamati wajahnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Kenapa lo ninggalin?" tanyanya, suaranya lebih tenang sekarang, tapi tetap penuh rasa ingin tahu.
Skaya menatap tanah, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Karena gue gak mau hidup dalam bayang-bayang kakak gue terus. Gue gak mau cuma jadi 'adik ketua geng'. Gue pengen hidup dengan pilihan gue sendiri."
Sejenak, keheningan kembali menyelimuti mereka. Sampai akhirnya Gio bersenandung pelan. "Gila. Jadi kita punya legenda di sini."
Skaya mendongak dan menatap Gio dengan bingung. "Apa?"
Gio menyeringai. "Lo tau gak sih, lo dulu jadi perbincangan di kalangan anak motor? Anak perempuan yang bisa ngalahin banyak pembalap di jalanan. Gue pernah dengar nama lo waktu masih di Bandung. Tapi gak nyangka kalau lo adalah Skaya yang ini."
Anggota geng lainnya mulai bereaksi, beberapa mengangguk setuju, beberapa masih terkejut. Darren tetap diam. Matanya tidak pernah lepas dari Skaya. Setelah beberapa saat, dia melangkah mendekat, berdiri tepat di hadapannya. "Jadi, lo sekarang mau balik jadi Raven lagi?"
Skaya terdiam. Ia tahu ini adalah pertanyaan besar. Jika dia mengatakan "iya", maka dia harus menerima semua konsekuensinya. Jika dia mengatakan "tidak", maka masa lalunya mungkin akan mengejarnya lebih lama lagi.
Akhirnya, dengan suara yang mantap, dia menjawab. "Gue gak pernah benar-benar ninggalin Raven. Tapi gue juga gak mau hanya jadi bayangan masa lalu gue. Gue tetap Skaya, tapi gue juga Raven. Gue akan jalanin ini dengan cara gue sendiri."
Darren mengamati wajahnya, lalu akhirnya menghela napas. Ada sesuatu di matanya yang melunak. "Kalau itu pilihan lo... Gue bakal ada di sini buat lo."
Skaya terkejut, tidak menyangka bahwa Darren akan mengatakan itu. "Lo gak masalah?". Darren mengangkat satu bahu. "Gue gak peduli lo Raven atau Skaya. Yang gue peduliin cuma lo. Selama lo tahu apa yang lo lakuin, gue bakal jagain lo."
Dada Skaya terasa hangat. Senyum kecil muncul di wajahnya. "Makasih, Darren."
Gio tertawa kecil. "Gila, nih pasangan makin bikin iri aja." Tawa kecil pecah di antara geng mereka. Namun di hati Skaya, dia tahu bahwa ini bukan akhir. Justru ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Dan dia siap menghadapinya.
------
Kedatangan Kakak Skaya: Pilihan yang Harus Diambil
Malam itu, deru mesin motor memenuhi udara. Suara knalpot khas motor-motor besar bergema di jalanan, menggema di dada setiap orang yang mendengarnya.
Skaya berdiri di depan markas geng Darren, jantungnya berdetak cepat. Dia tahu suara itu. Dia mengenali pola gas yang dimainkan dengan sengaja. Dan benar saja.
Dari kejauhan, sebuah motor sport berwarna hitam mengarah ke tempat mereka, diikuti beberapa motor lain di belakangnya. Lampu-lampu mereka berpendar di gelapnya malam, menciptakan bayangan yang mengancam dan berwibawa.
Saat motor utama berhenti, seorang pria dengan jaket kulit bertuliskan "BLACK HAWKS" turun dari motor.
"Raven." Suara itu dalam dan tegas.
Skaya mengangkat wajahnya, menatap pria yang kini berdiri di hadapannya. "Kak Ibra."
Kakaknya menatapnya tajam, lalu mengedarkan pandangannya ke sekitar. Beberapa anggota geng Darren yang mengenali nama "Black Hawks" tampak tegang. Semua orang tahu, Black Hawks adalah geng motor besar yang menguasai Bandung.
Darren maju selangkah, berdiri di samping Skaya. "Ada urusan apa lo ke sini?"
Ibra menyipitkan matanya ke arah Darren. "Gue harusnya yang nanya itu. Apa yang lo lakuin sama adik gue?"
Skaya menghela napas panjang. "Kak, gue yang milih ada di sini. Ini gak ada hubungannya sama mereka."
Ibra menatapnya dalam, seolah mencari kebenaran di balik kata-katanya. "Jadi bener, lo udah balik ke dunia ini?"
Skaya mengepalkan tangannya. "Gue gak pernah benar-benar ninggalin dunia ini. Gue cuma...." Dia menoleh ke arah Darren sebentar, lalu kembali menatap kakaknya. "Gue cuma gak mau dikenal sebagai 'adik Ibra' terus. Gue mau dikenal sebagai diri gue sendiri."
Ibra mendengus kecil. "Lo pikir lo bisa?"
Skaya menatap kakaknya tajam. "Gue akan buktiin."
Sejenak, keheningan menyelimuti mereka. Lalu, Ibra menyeringai kecil. "Kalau gitu, buktikan di lintasan."
Skaya mengerutkan kening. "Maksud kakak?"
Ibra melangkah mendekat, menatapnya langsung di mata. "Satu balapan. Kalau lo menang, gue bakal nganggep lo udah bisa berdiri sendiri. Kalau lo kalah.... Lo pulang ke Bandung sama gue." Semua orang langsung bereaksi.
"Gila, ini taruhan yang berat."
"Kalau Skaya kalah, berarti dia harus ninggalin semua ini?"
Darren menatap tajam ke arah Ibra. "Lo gak bisa maksa dia."
Ibra hanya tersenyum tipis. "Gue gak maksa. Gue kasih dia pilihan."
Skaya menelan ludahnya. Pilihan ini lebih berat dari yang dia kira. Dia menatap Darren, mencari jawaban dalam tatapan pria itu. Namun, yang dia temukan hanya keyakinan. Akhirnya, dia menghela napas, lalu mengangkat dagunya. "Baik. Gue terima tantangan itu."
Darren mengatupkan rahangnya, jelas tidak suka dengan keputusan itu. Tapi dia tahu, ini adalah sesuatu yang harus Skaya hadapi sendiri. "Kapan?" Skaya bertanya.
Ibra menyeringai. "Sabtu malam. Lintasan lama di pinggir kota. Kita selesaikan ini sekali untuk selamanya."
------
Sabtu Malam: Balapan Penentuan
Suasana di lintasan lama di pinggir kota terasa lebih panas dari biasanya. Puluhan motor berjejer, para pembalap berkumpul di sepanjang jalan, dan suara mesin meraung-raung memecah malam.
Di tengah kerumunan, Skaya berdiri dengan helm di tangannya, tatapannya lurus ke depan. Jaket kulitnya yang khas dengan motif hitam-merah berkibar tertiup angin malam. Di sekelilingnya, geng Darren berdiri dengan wajah serius, sementara di sisi lain, geng Black Hawks dipimpin oleh Ibra, yang tampak santai namun penuh wibawa.
"Lo yakin bisa menang, Raven?" tanya salah satu anggota Black Hawks.
Skaya menyeringai. "Gue gak pernah ragu di lintasan."
Darren yang berdiri di sampingnya mengepalkan tangannya. Dia benci melihat Skaya harus bertaruh dengan masa depannya seperti ini. Tapi dia juga tahu, ini adalah bagian dari siapa Skaya sebenarnya. "Hati-hati," kata Darren pelan.
Skaya menoleh, menatapnya sebentar sebelum tersenyum kecil. "Tenang aja, gue gak bakal kalah."
"Gue bakal ada di garis finis," lanjut Darren.
"Kalau lo sampai kenapa-napa, gue yang bakal jemput lo."
Jantung Skaya berdebar. Ada sesuatu di tatapan Darren yang membuatnya merasa lebih kuat. Dia mengangguk, lalu mengenakan helmnya.
---
Balapan Dimulai
Dua motor berdiri sejajar di garis start, Skaya dengan motor sport berwarna hitamnya, dan Ibra dengan motor besarnya yang lebih garang.
"Siap?" teriak seorang penanda start.
Skaya dan Ibra sama-sama mengangguk.
"Tiga… dua… satu… GO!"
Secepat kilat, mereka melesat.
Angin menampar wajah Skaya dari celah helmnya. Jalanan kosong terbuka di depannya, dengan Ibra di sampingnya. Balapan ini bukan hanya soal kecepatan, tapi juga strategi. Lintasan ini penuh dengan tikungan tajam, jalanan kasar, dan beberapa bagian yang gelap.
Di belakang, geng Darren dan Black Hawks mengikuti dengan motor mereka, menyaksikan pertarungan sengit ini.
Di tikungan pertama, Ibra mengambil posisi dalam, berusaha memblokir Skaya. Tapi Skaya sudah hafal teknik seperti ini. Dengan cekatan, dia mengurangi gas, lalu mengambil jalur luar, melesat di sisi lain dengan kecepatan penuh.
"Gila, dia nekat banget!" seru salah satu anggota geng Darren.
Namun, Ibra tidak tinggal diam. Dia menambah kecepatan, untuk mendekati Skaya lagi. Kilatan cahaya lampu di sekitar membuat bayangan mereka berdua seolah menari di aspal.
Di tikungan terakhir sebelum garis finis, Ibra mencoba menutup jalur Skaya. Tapi Skaya sudah memperhitungkan semuanya. Dengan gerakan tiba-tiba, dia menarik gas penuh, lalu menyalip Ibra di celah sempit di antara motor dan pembatas jalan. "Sialan!" Ibra berusaha mengejar, tapi sudah terlambat.
Skaya melewati garis finis lebih dulu!. Sorak-sorai langsung pecah dari geng Darren. Skaya mengangkat tangannya, merasakan kemenangan yang begitu manis. Dia menoleh ke belakang, melihat Ibra yang baru saja melintasi garis finis dengan ekspresi tidak percaya.
-----
Setelah Balapan: Keputusan Ibra
Ibra turun dari motornya, menatap Skaya dalam diam. Skaya membuka helmnya, napasnya masih memburu. "Jadi.... Kak?, Lo masih mau maksa gue pulang?" Keheningan menyelimuti mereka.
Lalu, perlahan, Ibra tersenyum tipis. "Gue gak bisa ngelawan fakta. Lo menang." Skaya menghela napas lega.
Ibra melangkah maju, menepuk bahunya. "Tapi satu hal yang harus lo inget, Raven. Dunia ini keras. Jangan lengah."
"Gue tahu, Kak."
Ibra menatap Darren yang berdiri di belakang Skaya. "Jaga dia."
Darren, yang biasanya dingin, mengangguk tegas. "Gue gak bakal biarin dia kenapa-napa."
Senyum kecil terukir di wajah Skaya. Malam itu, Skaya telah membuktikan siapa dirinya. Dan untuk pertama kalinya, dia merasa benar-benar bebas.
-----
Malam Kemenangan: Darren dan Skaya
Setelah semua euforia kemenangan mereda, Skaya berdiri di pinggir jalan, memandang langit malam yang dipenuhi bintang. Angin dingin menyapu wajahnya, membuatnya sadar bahwa semua ini nyata, dia menang, dia tetap menjadi Raven, dan dia akhirnya bisa berdiri sejajar dengan semua orang tanpa ada yang menyangsikan dirinya lagi.
Darren menghampirinya, menyandarkan punggung ke motor di sampingnya. Tatapannya lurus ke depan, tapi dari sudut matanya, dia terus mengamati Skaya. "Lo beneran gila," gumam Darren.
skaya menoleh dan tersenyum kecil. "Lo baru sadar?"
Darren menghela napas, menoleh padanya. "Gue tau lo hebat, Sky. Tapi setiap kali lo ngelakuin hal kayak tadi, gue selalu kepikiran... Gimana kalau sesuatu terjadi ke lo?"
Skaya menatapnya lama. "Tapi gue baik-baik aja, kan?"
Darren mendekat selangkah, ekspresinya lebih serius dari sebelumnya. "Lo gak ngerti… Setiap kali lo ada di lintasan, gue ngerasa kayak... Gue gak bisa ngontrol apa yang bakal terjadi ke lo. Gue gak suka perasaan itu."
Skaya tertawa kecil. "Jadi, lo khawatir?"
Darren mendengus, lalu tiba-tiba menarik tangan Skaya, membuat gadis itu sedikit tersentak. "Lo lebih dari sekadar penting buat gue," kata Darren dengan suara rendah. "Gue gak bisa bayangin kalau lo kenapa-napa."
Jantung Skaya berdetak lebih cepat. "Darren..."
Darren mengangkat tangannya, menyentuh wajah Skaya dengan lembut. "Gue gak terbiasa ngomong soal perasaan gue. Tapi.... Lo adalah orang pertama yang bisa bikin gue peduli sejauh ini."
Sejenak, mereka hanya saling menatap. Di bawah cahaya remang-remang dari lampu jalan, di tengah suara bising motor yang mulai berangsur sepi, hanya ada mereka berdua. Tanpa peringatan, Darren mencondongkan tubuhnya, mendekat. Napasnya hangat saat menyentuh wajah Skaya. "Lo tau gak, sejak awal lo gangguin hidup gue, gue udah kalah."
Sebelum Skaya bisa menjawab, Darren menempelkan bibirnya ke bibir Skaya, lembut, dalam, dan penuh emosi yang selama ini dia tahan. Tidak ada yang bersuara. Waktu seakan berhenti.
Saat mereka akhirnya melepaskan diri, Skaya menatapnya dengan mata berbinar. "Kalau gitu, gue bakal terus gangguin lo seumur hidup."
Darren tersenyum kecil. "Gue bakal biarin." Di kejauhan, teman-teman mereka bersorak riuh, menyaksikan momen itu. Beberapa dari mereka berteriak minta traktiran, yang lainnya hanya menertawakan bagaimana akhirnya Darren tunduk pada perasaannya sendiri.
Dan malam itu, di bawah langit malam yang penuh bintang, Skaya dan Darren tahu bahwa mereka telah menemukan tempat mereka di dunia ini, bersama satu sama lain.
-----
Perjalanan Pulang: Awal Baru untuk Darren dan Skaya
Setelah semua kegaduhan dan sorakan teman-teman mereka mereda, geng motor mulai bersiap untuk pulang. Skaya berdiri di samping motornya, mengencangkan sarung tangan dengan ekspresi puas. Darren, yang baru saja menyelesaikan pembicaraan singkat dengan Gio, mendekatinya.
"Kali ini, gue yang boncengin lo," kata Darren, menepuk jok belakang motornya.
Skaya mengangkat alis. "Kenapa? Gue bisa bawa motor sendiri."
Darren menghela napas. "Bukan soal bisa atau enggak. Gue cuma.... Pengen lo deket gue."
Seketika, Skaya tersenyum miring, menikmati bagaimana Darren mulai lebih terbuka. Tanpa membantah, dia naik ke motor Darren, melingkarkan tangannya di pinggang lelaki itu. "Kalau gitu, jangan ngebut," bisiknya tepat di telinga Darren, membuat lelaki itu tersenyum tipis.
Mereka melaju di jalanan malam, bersama rombongan geng mereka. Angin malam berembus lembut, membawa kelegaan setelah segala konflik dan ketegangan yang mereka lalui. Tidak ada lagi rahasia, tidak ada lagi kebohongan, hanya ada mereka, bersama.
Di tengah perjalanan, mereka berhenti di sebuah tempat dengan pemandangan kota yang indah dari ketinggian. Beberapa anggota geng mulai turun dari motor dan mengeluarkan ponsel mereka untuk mengabadikan momen itu.
"Ayo foto," ajak salah satu teman mereka.
Skaya, yang masih duduk di motor Darren, menoleh ke belakang. "Lo mau foto juga?" tanyanya pada Darren.
Darren menggeleng. "Gue udah cukup puas ngeliatin lo."
Skaya menghela napas dengan pura-pura kesal. "Gombal."
Tapi sebelum dia bisa melanjutkan, Darren meraih ponselnya dan mengabadikan foto mereka berdua, Skaya yang sedang tersenyum dengan latar belakang kota yang berkelap-kelip. "Sekarang gue punya kenangan," kata Darren pelan, membuat Skaya menatapnya lebih lama.
Sejenak, tidak ada yang berbicara. Mereka hanya menikmati kebersamaan itu, tahu bahwa ini adalah awal dari perjalanan panjang mereka bersama.